Liputan6.com, Jakarta - Gempa magnitudo 6,9 mengguncang Banten. Warga mengaku belum pernah mendapat pelatihan mitigasi atau langkah untuk mengurangi dampak bencana.
Pelaksana harian (Plh) Kepala Pusat Data, Informasi dan Humas BNPB, Agus Wibowo mengatakan, pihaknya akan bergerak cepat. BNPB, lanjut dia, bakal gencar melakukan sosialisasi ke masyarakat. Salah satunya melalui Ekspedisi Desa Tangguh Bencana.
Advertisement
Menurut dia, langkah ini sebenarnya sudah dimulai di sejumlah daerah.
"Jalan dari Bayuwangi sekarang masuk perbatasan Jawa Barat udah siap-siap minggu depan masuk ke Jawa Barat jadi Desa Tangguh Bencana tadi salah satunya sosialiasi," kata Agus usai konferensi pers gempa Banten, di Kantor BNPB Jakarta Timu, Sabtu (3/8/2019).
Nantinya, desa-desa yang di pinggir pantai harus tanggung bencana. Mereka mengetahui cara mesrespon bencana.
Kemudian, membangun hutan pantai. Kebetulan, sambung dia, BNPB yang ditunjuk Presiden menjadi penggeraknya.
Program ini merupakan antisipasi untuk melindungi struktur bangunan penting yang bersinggungan dengan pantai. Seperti New Yogyakarta International Airport (NYIA) atau dikenal Bandara Kulon Progo.
"BNPB juga punya program untuk membangun hutan pantai," ujar Agus.
Agus menjelaskan, program ini sudah mulai dijalankan sejak Maret lalu. "Misalnya di Bandara Internasional Minangkabau itu sudah kami tanam," lanjut dia soal mitigasi gempa.
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
Potensi Gempa Lebih Besar
Kepala Bidang Mitigasi Gempa Bumi dan Tsunami BMKG Daryono mengungkapkan gempa bumi di Banten bermagnitudo 7,4 yang dimutakhirkan menjadi 6,9, belum merupakan puncak dari potensi gempa di wilayah tersebut.
Pusat gempa di bagian selatan Selat Sunda itu merupakan kawasan yang ditandai sebagai zona sepi gempa besar, sementara itu merupakan kawasan dengan subduksi aktif.
Daryono mengatakan ketidakadaan gempa selama ini dianggap sebagai proses akumulasi dari medan tegakan kerak bumi yang sedang berlangsung
“Di daerah Selat Sunda, catatan kami tidak ada gempa di atas magnitudo 7,0,” katanya seperti dikutip dari Antara, Sabtu (3/8/2019).
Menurut catatan BMKG, pernah terjadi di bagian selatan Banten gempa bumi dengan magnitudo 7,9 pada 1903, yang merupakan gempa terakhir.
Dia tidak dapat memperkirakan secara statistik proses berulang gempa bumi itu, karena proses akumulasi medan tegakan kulit bumi tidak bisa distatistikkan.
Daryono menyatakan sebuah kawasan subduksi aktif tetapi tidak pernah terjadi gempa, dapat diduga kawasan itu sedang terjadi proses akumulasi medan tegangan, di mana ada proses penumpukan energi yang terkandung dalam kulit bumi.
“Kalau melihat hasil hitungan potensi gempa, ini belum puncaknya, karena potensi maksimal dapat mencapai magnitudo 8,7. Potensi itu tidak bisa diperkirakan dan kapan saja bisa terjadi,” jelas dia.
Sebelumnya Daryono menjelaskan, BMKG mencatat ada sebanyak enam subduksi atau penujaman lempeng di Indonesia. keenam subduksi itu dapat dirinci kembali menjadi 16 segmen megatrust.
Megatrust ini, kata Daryono berpotensi untuk memicu gempa besar di atas 7 magnitudo. "Bisa memicu gempa besar di atas 7 magnitudo. Ini kenyataan kondisi tektonika Indonesia," papar Daryono di Graha Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), Jakarta Timur, Rabu 31 Juli 2019.
Selain itu, Indonesia juga memiliki bagian banyak sesar aktif yang sewaktu-waktu dapat bergerak. Dari sekian banyak sesar aktif tersebut, sebagiannya berada di daratan.
Sesar aktif yang berbeda di daratan ini jika bergerak akan menimbulkan efek goncangan yang cukup signifikan. Bahkan cenderung bersifat destruktif atau merusak.
Kata Daryono sesar di Indonesia bersifat aktif dan juga kompleks. "Aktif artinya gempa terus terjadi, sedangkan kompleks karena memang banyak sekali sumber gempanya," jelas Daryono.
Meskipun realitasnyan banyak wilayah di Indonesia yang rawan akan gempa. Namun kata Daryono bukan berarti masyarakat Indonesia tidak bisa tinggal dengan aman di wilayah-wilayah yang memiliki potensi akan gempa bumi.
Daryono berkaca pada Amerika Serikat dan Jepang. Di dua negara itu juga rawam akan gempa bumi. Bagi di Amerika terutama di wilayah Pantai Barat yakni lempengan San Andreas.
"Di Amerika ada (lempeng) San Andreas tapi saat gempa kemarin tidak banyak yang meninggal," kata Daryono.
Menurut Daryono, minimnya korban jiwa saat gempa bumi di Amerika dikarenakan budaya mitigasi bencana di sana telah berakar kuat.
"Jepang itu tidak ada yang aman gempa semuanya ada sesar aktif, tetapi pembangunan maju, ekonomi manju karena mereka mampu mengelola resiko (bencana) dengan baik," katanya.
Advertisement