BMKG: Kecepatan Informasi Bencana Lebih Penting Ketimbang Akurasi

Apabila peringatan dini diinformasikan setelah menit ke-50 karena menunggu akurasi, tsunami tentu sudah melanda lebih dulu pantai-pantai terdekat.

oleh Liputan6.com diperbarui 04 Agu 2019, 10:07 WIB
Ilustrasi Gempa Bumi (iStockphoto)

Liputan6.com, Jakarta - Kepala Bidang Mitigasi Gempa Bumi dan Tsunami Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) Daryono mengatakan, kecepatan informasi bencana harus lebih diutamakan seperti dalam memberikan peringatan dini tsunami, dibandingkan akurasi.

"Kecepatan dan akurasi adalah dua hal yang tidak selalu memungkinkan terpenuhi dalam waktu yang bersamaan," kata Daryono, Minggu (4/8/2019).

Gempa tektonik berpotensi tsunami yang terjadi di wilayah Samudera Hindia selatan Banten, Jumat 2 Agustus malam lalu, BMKG awalnya menginfokan berkekuatan magnitudo 7,4 berkedalaman 10 km. BMKG kemudian memutakhirkan menjadi magnitudo 6,9 dengan kedalaman 48 km.

"Dari kasus Gempa Tohoku pada tahun 2011 yang lalu, Japan Meteorogical Agency (JMA) yang merupakan BMKG-nya Jepang, dalam waktu tiga menit langsung menyampaikan informasi kejadian gempa dengan Magnitudo 7,9 dan peringatan dini tsunami dengan ketinggian 6 meter," kata Daryono.

Dilansir Antara, pada menit ke-3 masih sebagian kecil sinyal-sinyal lindu tertangkap oleh jaringan sensor gempa JMA, yang baru mampu memberikan perhitungan magnitudo mencapai 7,9 beserta potensi kejadian tsunami.

Seketika itu juga di menit ke-3, masyarakat terdampak sudah dapat mulai siaga untuk menghadapi ancaman tsunami, dengan melakukan evakuasi mandiri.

Selanjutnya, pada menit ke-50 JMA memutakhirkan kembali magnitudo gempa menjadi 8,8 dan akhirnya magnitudo tersebut diperbaharui menjadi 9,0. Daryono menjelaskan, akurasi baru dapat dicapai setelah menit ke-50 untuk gempa dengan magnitudo 9,0.

Apabila peringatan dini diinformasikan setelah menit ke-50 karena menunggu akurasi, tsunami tentu sudah melanda lebih dulu pantai-pantai terdekat.

"Situasi dan kondisi geologi dan tektonik di Jepang hampir serupa dengan situasi dan kondisi di wilayah Indonesia," kata Daryono.

Daryono menuturkan, beberapa pantai di Indonesia juga berada pada posisi dengan sumber-sumber gempa bermagnitudo besar, yang akurasi perhitunganya baru bisa dicapai pada menit-menit yang akan selalu terlambat dengan kedatangan tsunami.

 

Saksikan video pilihan di bawah ini:


Sesuai Amanah UU

Anggota Yonif 320 Badak Putih Prajurit Jawara Kodam III Siliwangi membantu membersihkan reruntuhan bangunan usai gempa di Mandalawangi, Pandeglang, Banten, Sabtu (3/8/2019). Gempa Banten berkekuatan 6,9 magnitudo mengakibatkan lebih dari 200 rumah mengalami kerusakan. (merdeka.com/Arie Basuki)

Sementara itu, Kepala BMKG Dwikorita Karnawati menjelaskan bahwa prinsip yang mengutamakan kecepatan informasi ini menjadi pegangan lembaganya. Hal itu sesuai dengan amanah Undang-undang No 31 Tahun 2009 Pasal 37, sebagaimana halnya yang diterapkan di negara termaju dalam mitigasi dan peringatan dini tsunami.

Selain itu dengan mempertimbangkan kondisi geologi dan tektonik di berbagai pantai di Indonesia yang rawan tsunami cepat. Kecepatan ini yang membuat masyarakat memiliki waktu berharga (golden time) secara lebih dini untuk melakukan evakuasi mandiri.

"Untuk akurasi sebagaimana halnya dengan yang dilakukan di Jepang, dapat dicapai dengan proses updating (pemutakhiran) sesuai dengan perkembangan jumlah sinyal-sinyal kegempaan yang terekam oleh jaringan sensor gempabumi, kata Dwikorita menjelaskan.

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya