Liputan6.com, Cilacap - Bagi Kustoro, kematian buaya Nusakambangan yang berjenis buaya muara (Crocodylus Porosus) akibat jerat jaring nelayan Minggu, 4 Agustus 2019 layaknya Deja vu. Kondisi serupa 20 tahun lampau.
Nun, 1999 lampau seekor buaya di kawasan Nusakambangan, jenis yang sama, juga terjerat jaring nelayan. Hanya saja, saat itu buaya yang terjerat mati tak sejumbo kali ini.
Kustoro adalah warga Ujung Alang, Kampung Laut, Cilacap yang memahami alur Laguna Segara Anakan layaknya nadinya sendiri. Ia lahir dan tumbuh di perairan Laguna Segara Anakan.
Baca Juga
Advertisement
Sebuah kejadian akan berlanjut ke fenomena lainnya. Dahulu, jeratan jaring nelayan ke buaya Nusakambangan berukuran kecil berimbas kepada raibnya buaya kawanan buaya.
Selama belasan tahun, buaya tak lagi menampakkan diri di kawasan laguna paling lengkap dan terluas di Asia Tenggara ini. Ini adalah hal aneh. Pasalnya, laguna adalah habitat buaya muara.
Kembalinya penguasa muara, buaya air asin di perairan Nusakambangan dan Segara Anakan Mei lalu seolah kembali menasbihkan bahwa laguna tak kehilangan ruhnya. Tetapi, kemunculan buaya juga menyebabkan nelayan dihinggaoi kekhawatiran.
Sebab, wilayah kemunculan buaya merupakan kawasan tangkapan ikan nelayan. Mereka memasang jaring apong, memasang bubu, memancing hingga menyelam mencari kerang dan Thoe di kawasan kemunculan buaya.
Pertanyaan yang kemudian muncul adalah, apakah nelayan lega setelah buaya Nusakambangan mati terjerat jaring nelayan? Bukan kah 20 tahun lalu terjeratnya buaya oleh jaring nelayan disusul oleh raibnya kawanan buaya?
Ada Buaya Lebih Besar di Laguna Segara Anakan
Soal ini, Kustoro berujar bahwa nelayan tak lantas merasa aman setelah buaya seberat 400 kilogram itu mati. Sebab, penuturan nelayan, buaya lain yang berukuran lebih besar belum tertangkap.
"Menurut nelayan yang melihat yang kecil-kecil masih banyak. Yang lebih besar juga masih ada," ucapnya, Minggu malam, 4 Agustus 2019.
Kepala Wilayah Konservasi Resor Cilacap Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Jawa Tengah, Endi Suryo Heksianto mengakui, BKSDA kerap menerima laporan rusaknya jaring apong nelayan. Melihat kerusakannya, diduga buaya lah pelakunya.
Bisa jadi, nelayan memasang jaring di area pencarian makan buaya atau jalur buaya. Beberapa wilayah yang kerap nampak buaya di antaranya Tikungan Buaya, Terobosan, dan kini, Sungai Gladakan, yang juga masih berada di kawasan Laguna Segara Anakan.
"Kualitas jaring apong yang menjerat buaya ini memang berkualitas bagus. Kuat sehingga buaya terjerat, mungkin saat hendak cari ikan tapi malah terjerat," Endi menerangkan.
Menurut Endi, warga setempat percaya, di kawasan hulu Laguna, Sungai Citanduy, ada sebuah kedung yang merupakan habitat buaya. Bahkan, nelayan tak mau mencari ikan di kawasan itu.
Keyakinan warga itu terbukti saat ini. Meski belum terkonfirmasi secara resmi, nelayan banyak yang melihat kawanan buaya dan buaya-buaya berukuran lebih kecil.
Endi pun mengingatkan bahwa laguna maupun muara di seluruh Indonesia, berpotensi menjadi habitat buaya muara. Terlebih, Laguna Segara Anakan yang begitu luas. Ekosistem laguna sangat menunjang kehidupan buaya.
Advertisement
Penyelidikan Penyebab Kematian Buaya Nusakambangan
"Kalau melihat buaya jangan dibunuh atau diburu. Lebih baik laporkan, agar dilakukan penanganan," ucapnya.
Soal kematian buaya, Endi menjelaskan bahwa penyebabnya adalah jerat jaring. Buaya itu tenggelam dan tak bisa memperoleh oksigen. Hasil penyelidikan awal, tak terdapat dugaan kesengajaan.
"Berdasarkan keterangan Kasat Polairud, AKP Huda Syafii, buaya yang mati terjaring di Segara Anakan oleh jaring apung saudara Daryono (50 th) warga Jojok, yang bersangkutan kemudian melaporkan ke Polairud sekitar pukul 05.00 WIB," katanya.
Namun begitu, BKSDA masih akan menyelidiki insiden yang menyebabkan kematian satwa dilindungi ini. Salah satunya dengan meminta keterangan pemilik jaring dan nelayan yang mengetahui peristiwa ini.
Hasil pengukuran, panjang tubuh buaya 4,2 meter dengan bobot 400 kilogram. Buaya tersebut dievakuasi dari Ciperet, Kutawaru, Cilacap tengah ke Dermaga Sleko oleh Satuan Polairud.
"RKW Cilacap dan MMP kemudian melakukan evakuasi dan penguburan buaya tesebut. Buaya di kubur di Teluk Penyu di belakang Kantor Basarnas Cilacap," dia menerangkan.
Sebelumnya, Kasatpolairud Polres Cilacap, AKP Huda Syafii mengatakan mengatakan keberadaan buaya di jaring tersebut tersebut kali pertama diketahui oleh pemilik jaring, Daryanto, warga RT 2/6 Kelurahan Kutawaru, Cilacap Tengah, Minggu pagi, sekitar pukul 05.00 WIB.
Kemudian, dibantu oleh sesama nelayan lainnya, buaya yang diketahui telah mati itu diseret ke pinggir Laguna. Lantas, mengetahui bahwa satwa ini dilindungi, Daryanto dan seorang nelayan lainnya, Kasdi melaporkan ke Satuan Polair.
"Itu kan masuk jaring nelayan. Keadaannya sudah mati, kemudian kita evakuasi. kita ke sana, Desa Ciperet, Kutawaru, iya itu oleh nelayan diseret ke situ," kata Huda.
Lantaran buaya muara merupakan satwa dilindungi, akan dilakukan penyelidikan terkait kematian buaya tersebut. Tetapi, ia masih menunggu hasil koordinasi dengan BKSDA untuk langkah selanjutnya.