Dilema Pengembangan Busana Warisan Leluhur

Masalahnya berkutat pada kesejahteraan pengrajin dan klaim autentik produk busana warisan leluhur.

oleh Asnida Riani diperbarui 06 Agu 2019, 08:02 WIB
Desainer Yurita Puji. (dok. Instagram @yuritapuji/https://www.instagram.com/p/B0jIohoA9Lm/)

Liputan6.com, Jakarta - Dihuni sekian banyak suku, keberagaman dan kekayaan budaya Indonesia sangat mungkin mencakup banyak bidang, tak terkecuali busana. Dengan embanan cerita masing-masing di baliknya, salah satu warisan leluhur ini menghadapi tantangan seiring perubahan zaman.

Yang paling nyata adalah soal eksistensi di tengah deras arus desain busana modern, baik dari dalam maupun luar negeri. Perancang busana, Yurita Puji, menambahkan bahwa dilemanya tak semata soal mempertahankan, tapi juga dalam tahap pengembangan.

Pasalnya, harapan untuk merambah pasar lebih luas, yakni mencapai luar negeri, perlu strategi khusus. Meluasnya ranah penjualan busana diharapkan bisa menambah pemasukan para perajin dan memotivasi mereka untuk terus berkarya.

"Kita nenteng baju ke luar (negeri), nggak bisa cerita bikinnya susah, ini-itu. Faktor itu juga nunjang, tapi harus dibarengi dengan harga terjangkau," katanya saat ditemui usai acara Mari Cerita Papua: Noken, Rajutan Identitas Masyarakat Papua di kawasan Kuningan, Jakarta Selatan, Rabu, 31 Juli 2019.

Ia menceritakan, komentar publik yang mau serba 'asli' juga jadi tantangan lain. Yurita mengambil contoh dari sepotong bajunya yang merupakan cetakan patung ukir suku Kamoro, Papua. "Orang-orang protes, 'Kok bukan tulis?'. Susah ya. Padahal aku cuma mau kasih tahu, kita ini punya (patung) Yamate," tuturnya.

Menurut Yurita, lantaran menjual busana warisan leluhur dengan harga mahal sangat sulit, lebih baik dipermudah saja. Dengan catatan, tak menghilangkan cerita di baliknya dan melibatkan pengrajin lokal. "Kita masih ada di tahap memperkenalkan dulu," ujarnya.

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:


Ajak Pengrajin ke Luar Negeri

Yurita Puji bersama pengrajin Noken, Merry Dogopia. (dok. Instagram @yuritapuji/https://www.instagram.com/p/B0naNUOg_--/)

Kurangnya pengetahuan pengrajin akan pemenuhan kebutuhan pasar juga disebut Yurita sebagai kendala lain. Karenanya, ia berharap selalu mendapat kesempatan membawa pengrajin ke event busana untuk memberi gambaran.

"Contohnya aku pernah bawa pengrajin dari NTT. Mereka kan jual kain sampai Rp7 juta awalnya. Melihat pasar secara langsung, akhirnya mereka turunin harga. Sekarang ada kan kain yang dijual Rp300-400 ribu. Pemasukan mereka kencang dan jadi produksi terus," ceritanya.

Yurita menambahkan, jangan selalu menuntut satu produk secara 'asli'. "Maksudnya begini, misal saja noken ingin lebih dikembangkan. Salah satu caranya karena di sana belum ada pewarna alami dengan shade yang lengkap, bahan bakunya bisa dicelup (diwarnani) di daerah lain," tuturnya.

"Jadi, kayak sembari belajar. Produk Papua, tapi diwarnai di Lombok, misalnya. Setelah dipintal, dikirim ke Lombok, terus dikirim lagi ke Papua untuk dirajut, Kalau mau berkembang, kita jangan terlalu keras hati dalam soal produksi," sambung Yurita.

Yurita menjelaskan, dalam pengembangan busana warisan leluhur, peran pengrajin sangat penting. Karenanya, memastikan mereka tatap mendapat pemasukan dari apa yang dikerjakan sembari melestarikan budaya sangat esensial.

"Jangan sampai sekarang Dior cetak batik di India, kita ribut. Salah kita kenapa nggak mau berkembang," katanya.

Apresiasi pada pengrajn ini juga bisa dilakukan dengan tak menawar jualan mereka. "Kalau bisa malah dilebihin, walau cuma sedikit. Itu mereka kan buatnya lama. Bisa seminggu, bisa sebulan. Kalau dilebihin, mereka pasti senang dan semangat bikin lagi," tandasnya.

 

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya