Perang Dagang Bikin Pertumbuhan Ekonomi Makin Berat

Badan Pusat Statistik melaporkan pertumbuhan ekonomi Indonesia mencapai 5,05 persen pada kuartal II 2019.

oleh Bawono Yadika diperbarui 05 Agu 2019, 16:00 WIB
Pemandangan gedung bertingkat di kawasan Bundaran HI, Jakarta, Kamis (14/3). Kondisi ekonomi Indonesia dinilai relatif baik dari negara-negara besar lain di Asean. (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Liputan6.com, Jakarta - Badan Pusat Statistik melaporkan pertumbuhan ekonomi Indonesia mencapai 5,05 persen pada kuartal II 2019. Angka ini jauh lebih rendah dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu yang sebesar 5,27 persen.

Kepala BPS Suhariyanto mengatakan, tantangan perekonomian Indonesia ke depan tidak mudah. Lantaran, tak hanya Indonesia saja yang tercatat mengalami perlambatan kinerja perekonomian, beberapa negara lain yang telah merilis data pertumbuhan ekonomi pun mengalami hal serupa.

"Tantangan ke depan enggak gampang. Kalau dilihat pertumbuhan ekonomi negara-negara lain yang sudah rilis menunjukkan perlambatan. Pekan depan banyak sekali negara yang akan rilis dan prediksinya juga mengalami perlambatan," ujarnya di Jakarta, Senin (5/8/2019).

Dia merinci, beberapa negara mitra dagang utama Indonesia seperti China yang merupakan negara tujuan ekspor utama mencatat perlambatan pertumbuhan ekonomi dari 6,7 persen di kuartal II 2019 menjadi 6,2 persen di kuartal II 2018.

Adapun untuk Amerika Serikat mengalami perlambatan pertumbuhan ekonomi dari 3,2 persen di kuartal II 2018 jadi 2,3 persen di kuartal II 2019.

"Demikian juga dengan Singapura yang turun tajam dari 4,2 persen di kuartal II 2019 menjadi hanya 0,1 persen di kuartal II 2019," ujar Suhariyanto.

 

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:


Melihat Pertumbuhan Ekonomi di ASEAN, Indonesia Peringkat Berapa?

Gedung bertingkat mendominasi kawasan ibu kota Jakarta pada Selasa (30/7/2019). Badan Anggaran (Banggar) DPR bersama dengan pemerintah menyetujui target pertumbuhan ekonomi Indonesia berada di kisaran angka 5,2% pada 2019 atau melesat dari target awal 5,3%. (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Pertumbuhan ekonomi dunia sedang mengalami disrupsi akibat adanya perang dagang antara Amerika Serikat (AS) dan China. Perang dagang yang belum kunjung usai memberikan efek domino ke berbagai negara.

Bagi wilayah ASEAN, perang dagang memberikan tantangan dan peluang. Tantangan muncul karena ekonomi dunia yang melambat, sementara peluang hadir untuk meningkatkan sektor manufaktur karena ASEAN dinilai sebagai alternatif bisnis selain China.

Menurut laporan The Economist, pertumbuhan ekonomi di ASEAN melambat tetapi masih dalam taraf baik. Pertumbuhan Indonesia pun diprediksi tetap di kisaran 5,2 persen tahun ini.

Berikut daftar selengkapnya:

1. Myanmar: 7,1 persen

2. Vietnam: 6,9 persen

3. Laos: 6,8 persen

4. Kamboja: 6,5 persen

5. Filipina: 5,7 persen

6. Indonesia: 5,2 persen

7. Thailand: 3,5 persen

8. Malaysia: 4,5 persen

9. Singapura: 1,6 persen

10. Brunei: 0,5 persen

Myanmar, meski sedang disorot karena kasus Rohingya, memiliki pertumbuhan tertinggi di ASEAN. Bank Dunia menyebut ekonomi Myanmar tumbuh berkat kuatnya manufaktur (garmen), pengeluaran infrastruktur, dan liberalisasi sektor ritel, asuransi, dan perbankan.

Pertumbuhan Indonesia tercatat lebih tinggi daripada Malaysia yang ekonominya terpantau lesu di era Mahathir. Namun, tak ada perubahan dari ekonomi Indonesia tahun ini dan tahun lalu.

Singapura dan Brunei memiliki pertumbuhan ekonomi terendah, tetapi sebetulnya pertumbuhan Brunei naik 0,4 persen. Pertumbuhan 0,4 persen adalah yang tertinggi di ASEAN.

Ekonomi Thailand juga tercatat minus 0,6 persen dibandingkan tahun lalu yang sebesar 4,1 persen, dan terakhir pertumbuhan Filipina juga menurun 0,5 persen dari tahun lalu yang sebesar 6,2 persen.


Indonesia Jangan Bergantung ke Sektor Komoditas

Menteri PPN/Bappenas, Bambang Brodjonegoro memberikan keterangan terkait rencana pemindahan ibu kota negara di Jakarta, Selasa (30/4/2019). Pemerintahan Presiden Jokowi kembali membuka wacana pemindahan ibu kota negara karena kondisi lingkungan Jakarta yang semakin menurun. (merdeka.com/Imam Buhori)

Menteri PPN/Kepala Bappenas Bambang Brodjonegoro menyorot kondisi perekomian Indonesia yang terus merosot selama beberapa dekade terakhir.

Meski pertumbuhan ekonomi Indonesia memang stabil di kisaran 5 persen, tetapi secara historis rata-rata pertumbuhan Indonesia menurun.

Pertumbuhan ekonomi Indonesia pernah melewati angka 7 persen, tetapi kini 5,3 persen saja. Menteri Bambang menyadari bahwa permasalahan ada di ketergantungan Indonesia pada sektor komoditas.

"Kita harus waspada karena rata-rata pertumbuhan ekonomi kita terus menurun dari angka sekitar 7,5 persen pada zaman Indonesia mengalami booming minyak, kemudian menurun menjadi 6,4 persen per tahun ketika Indonesia mengalami booming di sektor manufaktur, khususnya sektor padat karya, di tahun 1990-an," ujar Menteri Bambang dalam Indonesia Development Forum 2019 (IDF 2019) di JCC, Senin, 22 Juli 2019. 

Menteri Bambang pun menyayangkan hingga kini pun ekspor masih didominasi mineral (batu bara) dan agrikultur (sawit).

Sementara, Malaysia mengunggulkan ekspor barang elektronik, Vietnam mengekspor tekstil, dan Thailand mengandalkan ekspor mesin, elektronik, kimia, dan jasa.

"Ketika pertumbuhan ekonomi bertumpu pada komoditas, apakah itu batu bara atau kelapa sawit, maka yang kita alami sekarang pertumbuhan ekonomi kita hanya 5,3 persen. Jadi kesimpulannya adalah kalau mau pertumbuhan ekonomi kita tinggi, kita harus kembali ke sektor yang produktivitasnya tinggi, yakni manufaktur dan sektor jasa modern," jelas Bambang.

Menteri Bambang yakin pertumbuhan ekonomi bisa menembus 6 persen jika sektor manufaktur Indonesia meningkat. Edukasi dan peningkatan skill pun dibutuhkan demi mencapai hal itu, selain itu Menteri Bambang berharap regulasi yang tak ramah investor dan birokrasi tak efisien bisa segera dipangkas demi menunjang ekspor. 

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya