Liputan6.com, Jakarta - Banyak orang menganggap terdapat hubungan yang signifikan antara pelaku penembakan massal dengan kepemilikan gangguan jiwa. Tak jarang, politikus atau aparat juga memiliki asumsi demikian.
Bahkan, Presiden AS Donald Trump baru-baru ini mengatakan "penyakit mental dan kebencian" telah menyebabkan pelaku penembakan di El Passo menarik pelatuk senjatanya. Ia menolak kasus itu disebabkan oleh kepemilikan senjata yang relatif bebas di AS selama kepemimpinannya.
Baca Juga
Advertisement
Namun, apakah benar penyakit mental atau gangguan jiwa patut dipersalahkan atas setiap kejadian penembakan massal seperti penembakan di El Passo?
"Sangat menarik untuk mencoba menemukan satu alasan sederhana dan mengarahkan jari pada itu," kata Jeffrey Swanson, seorang profesor di bidang psikiatri dan ilmu perilaku di Duke University School of Medicine seperti dikutip dari laman Science Alert, Selasa (6/8/2019).
"Fakta bahwa seseorang akan membantai sekelompok orang asing, itu bukan tindakan dari pikiran yang sehat; tetapi hal itu bukan berarti mereka memiliki penyakit mental."
Memang sejumlah pelaku penembakan massal memiliki riwayat skizofrenia dan sejenisnya, namun lebih banyak yang tidak. Mayoritas penyerang dalam kondisi sehat secara mental.
Sebuah studi yang diterbitkan dalam jurnal Annals of Epidemiology menemukan, "sebagian besar orang dengan gangguan mental tidak terlibat dalam kekerasan terhadap orang lain, dan bahwa perilaku paling kejam adalah karena faktor-faktor selain penyakit mental."
Pendukung kesehatan mental mengatakan komentar seperti yang diberikan oleh Donald Trump bahwa pelaku penembakan memiliki penyakit mental, dapat memperburuk stereotip tentang orang yang memiliki sakit mental.
Para peneliti telah mencatat sejumlah faktor lain yang menjadi faktor kuat seseorang memutuskan menjadi penyerang - seperti pelaku penembakan di El Paso, menghabisi banyak orang tak bersalah.
Simak pula video pilihan berikut:
5 Alasan Orang Lakukan Penembakan Massal
Setidaknya terdapat lima alasan orang melakukan penembakan massal atau sejenisnya, mengutip Scien Alert, yakni:
1. Rasa dendam yang kuat
Maksudnya, pelaku biasanya memiliki dendam terhadap orang lain maupun sekelompok orang tertentu. Rasa dendam dapat disebabkan oleh banyak hal, salah satunya bisa jadi kejadian tidak menyenangkan di masa lalu. Tak jarang, orang biasanya dendam tanpa alasan yang jelas, bahkan sering juga penuh prasangka dibanding dengan berdasar fakta.
2. Keinginan untuk melakukan fitnah
Pelaku serangan dapat melakukan sesuatu dengan tujuan agar kesalahan itu dilemparkan kepada seseorang yang lain atau kelompok tertentu yang bukan termasuk dirinya.
3. Menirukan penembak lain
Pelaku serangan bisa jadi terinspirasi atas tindak kekerasan yang dilakukan oleh seseorang atau kelompok tertentu dalam sejarah. Maka tak elak, alih-alih berhenti; kasus penembakan justru berulang dengan motif dan gaya yang hampir mirip dengan yang pernah terjadi sebelumnya.
4. Kekerasan yang diterima di masa lalu
Kekerasan yang pernah diterima seorang pelaku di masa lalu bisa menjadi alasan ia akhirnya melakukan penyerangan. Baik karena balas dendam maupun karena ingin melakukan hal yang sama seperti apa yang dilakukan pelaku di masa lalu.
5. Akses terhadap senjata
Kepemilikan senjata, baik senjata api, tajam, tumpul; seluruhnya bisa menjadi salah satu penyebab seseorang melakukan penyerangan. Itulah mengapa, sejumlah negara membatasi kepemilikan senjata api.
Advertisement
FBI Turut Meneliti
Karena penembakan massal sering terjadi dalam beberapa tahun terakhir, hubungan kasus itu dengan kesehatan mental semakin diteliti oleh FBI, departemen kepolisian, psikiater forensik, ahli penyakit mental dan ahli epidemiologi.
Dalam laporan 2018 tentang 63 penyerang penembak aktif, FBI menemukan bahwa 25 persen telah didiagnosis dengan penyakit mental. Dari mereka, tiga telah didiagnosis dengan gangguan psikotik. Dalam sebuah penelitian tahun 2015 yang memeriksa 226 pria yang melakukan atau mencoba melakukan pembunuhan massal, hanya 22 persen yang dapat dianggap sakit mental.
Sementara itu, studi FBI 2018 menemukan bahwa penembak biasanya mengalami beberapa stres pada tahun sebelum mereka menyerang: tekanan keuangan, perkelahian dengan teman sekelas atau rekan kerja, dan penyalahgunaan zat.
Dan rata-rata, penembak memperlihatkan empat hingga lima perilaku yang bisa dilihat oleh orang-orang di sekitar mereka - perilaku yang paling sering terkait dengan kesehatan mental, konflik antarpribadi, atau tanda niat kekerasan.
Adapun ahli epidemiologi mengatakan, apa yang membuat Amerika Serikat berbeda dari yang lain di dunia adalah kepemilikan senjata.
Amerika memiliki hampir 400 juta senjata api milik sipil, atau 120,5 senjata per 100 penduduk - yang berarti bahwa negara ini memiliki lebih banyak senjata daripada orang. Negara terdekat kedua, Yaman, memiliki 52,8 senjata per 100 penduduk, menurut Survei Senjata Kecil .
"Penyakit mental bukan masalah sebenarnya, karena penyakit mental adalah sesuatu yang terjadi di seluruh dunia," kata Angela Kimball dari pimpinan National Alliance on Mental Illness. "Kebenaran yang menyedihkan adalah bahwa di Amerika, mudah untuk mendapatkan senjata."