Gempa Bumi dan Bencana Alam Lain Punya Pola Matematika yang Sama

Gempa bumi, angin topan dan bencana alam lainnya mempunyai pola matematika yang sama.

oleh Afra Augesti diperbarui 07 Agu 2019, 18:00 WIB
Pengendara motor menerjang hujan dan angin kencang yang dibawa Topan Mangkhut di Manila, Filipina (15/9). Topan Mangkhut menghantam pantai timur laut Filipina pada Sabtu pagi menghancurkan sebagian wilayah di negara tersebut. (AP Photo/Bullit Marquez)

Liputan6.com, California - Melacak kekuatan bencana alam, seperti gempa bumi, dan menggambarkannya dalam grafik, telah dilakukan oleh kebanyakan ilmuwan sejak lama.

Ini adalah salah satu cara terbaik untuk menyimpulkan hasil dari besaran magnitudo gempa tersebut. Apa yang diungkapkan oleh grafik adalah kurva yang mampu menunjukkan bahwa semakin kuat kemampuan gempa untuk menghancurkan sebuah wilayah yang terdampak, maka semakin jarang pula gempa tersebut terjadi.

Sebagai contoh, gempa bumi dengan sifat menghancurkan --di atas magnitudo 7,0-- dikatakan sangat sedikit terjadi, tetapi tidak halnya dengan gempa bumi berskala kecil. Kebanyakan gempa tersebut sangat lemah, sehingga orang-orang yang berada di daerah yang dilanda bencana alam ini, cenderung tidak merasakan getaran gempa.

Namun, gempa kecil itu masih bisa terdeteksi oleh sensor yang sangat sensitif. Informasi ini sangat penting untuk dianalisis, ketika pemerintah setempat hendak menghitung risiko yang ditimbulkan oleh gempa terkait.

Akan tetapi, ketergantungan seperti itu tidak selalu searah dengan perhitungan matematika, terutama dalam kasus gempa bumi bermagnitudo besar.

Corlvaro Corral dan Alvaro Gonzalez, peneliti di Center for Mathematical Research (CRM) dan UAB Depatment of Mathematics, telah melakukan analisis statistik akurat terhadap seluruh rangkaian fenomena alam yang mampu menyebabkan bencana: gempa bumi, angin topan, kebakaran hutan, dampak meteorit, hujan deras dan penurunan tanah yang disebabkan oleh fenomena karst (di mana air tanah mengikis batuan).

Setelah menganalisis data dari ribuan peristiwa dari masing-masing fenomena alam itu, para peneliti dapat menggunakan satu teknik matematika yang sama untuk menggambarkan fungsi-fungsi yang berkaitan dengan frekuensi fenomena tersebut.

Tak hanya itu, mereka juga mampu mengukur nilai besarnya (kekuatan bencana alam). Demikian seperti dikutip dari situs Phys.org, Rabu (7/8/2019).

Mayoritas dari kejadian-kejadian tersebut dikuasai oleh hukum kekuatan: semakin sering bencana alam ini terjadi, maka semakin kecil pula kekuatannya.

Namun demikian, kejadian lain seperti kebakaran hutan, punya pola matematika yang berbeda, yang dikenal sebagai distribusi lognormal, terlepas dari apakah itu kebakaran kecil atau kebakaran dahsyat yang dapat menghanguskan hingga ratusan ribu hektar tanah.

"Berkat penelitian ini, kita dapat mengestimasi risiko yang dibuat dari sebuah bencana alam di berbagai belahan dunia, tergantung pada catatan sejarah setiap wilayah," kata Alvaro Corral menegaskan.


Ada 'Longsoran'

Ilustrasi Kebakaran Hutan (iStockphoto)

Sementara itu, menurut Corral, beberapa interpretasi menunjukkan bahwa "hukum kekuatan" terjadi ketika fenomena ini memperlihatkan apa yang disebut sebagai 'longsoran', pelepasan energi dengan cepat yang sebelumnya telah terkumpul dari waktu ke waktu.

Sebagai contoh, kebakaran hutan adalah pengecualian dari aturan tersebut, mengingat bahwa kejadian itu juga dapat didefinisikan sebagai 'longsoran' yang tiba-tiba melepaskan energi yang terakumulasi dalam bentuk biomassa.

"Kami tidak tahu secara rinci mengapa beberapa fenomena 'longsoran' mengikuti distribusi lognormal, dan hal itu sebenarnya bertentangan dengan penelitian sebelumnya," kata para penulis.

Riset ini sudah dipublikasikan dalam jurnal Earth and Space Science, yang disusun oleh Alvaro Corral, peneliti di Center for Mathematical Research (CRM) dan UAB Department of Mathematics, the Barcelona Graduate School of Mathematics, dan the Complexity Science Hub Vienna.

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya