Liputan6.com, Jakarta - Nama Nazaruddin menyita perhatian publik pada 2011 lalu. Ketika itu, ia yang menjabat Bendaraha Umum Partai Demokrat, lari ke Kolombia.
Sebabnya, Nazaruddin tersangkut kasus tindak pidana korupsi pembangunan wisma Atlet SEA Games, Jakabaring. Nazaruddin pun diburu Komisi Pembarantasan Korupsi (KPK).
Dari Catatan Sejarah Hari Ini (Sahrini) Liputan6.com, sebelum lari ke Kolombia, Nazaruddin diketahui sempat berada di Vietnam, Singapura, hingga Argentina. Bahkan di negara Tango itu, Nazaruddin sempat diwawancarai melalui video skype. Dalam video itu, ia menyebut sejumlah orang yang turut terlibat kasus korupsi.
Kepala Bareskrim Polri kala itu, Komjen Sutarman mengatakan, Muhammad Nazaruddin terus berpindah-pindah lokasi persembunyian. Hal tersebut menjadi salah satu yang menyulitkan tim membawa Nazaruddin pulang kembali ke Indonesia.
"Dia berpindah-pidah. Jadi, pada saat dia skype (dengan Iwan Piliang), kita sudah temukan tempatnya. Tapi, ternyata orangnya sudah bergerak," kata Sutarman di Polda Metro Jaya, Sabtu 6 Agustus 2011 silam.
Baca Juga
Advertisement
Sutarman menduga, kemungkinan besar Nazaruddin menggunakan buku paspor asli, namun dengan identitas palsu. Ia mengaku belum tahu nama siapa dan negara mana yang dipakai Nazaruddin dalam paspor.
Ketika meminta bantuan pemerintah setempat, lanjut Sutarman, negara tujuan tak dapat membuktikan keaslian paspor yang dipakai Nazaruddin.
"Itu menjadi kewajiban negara yang mengeluarkan identitas palsu itu. Jadi, walaupun dia menggunakan nama orang lain, masuk ke negara itu dianggap legal. Itu menambah kesulitan," kata dia.
Sutarman menambahkan, pihaknya sudah menempatkan anggota di beberapa negara.
"Kita juga sedang melacak dan mencari negara yang mengeluarkan identitas palsu (Nazaruddin)," ujarnya.
Upaya penjemputan paksa pun mulai disusun Polri, imigrasi, dan KPK. Komjen Sutarman mempercayakan misi ini kepada Brigjen Anas Yusuf, selaku Ketua Tim Penjemput Nazaruddin. Keberadaan Nazaruddin terlacak setelah diketahui melakukan hubungan komunikasi di wilayah Dominika (Commonwealth).
Setelah itu, tim dari Mabes Polri langsung terbang menuju Dominika untuk melacak dan memburu Nazaruddin lebih lanjut. Tim pemburu Nazaruddin meninggalkan Jakarta menuju Dominika dengan pesawat komersial pada 27 Juli 2011.
Tiba di Dominika, tim langsung bergabung dengan tim advance yang dipimpin Kombes Sugeng, SLO dari KBRI Washington DC. Tim kemudian melakukan koordinasi dan mengumpulkan data-data.
Dari data yang dikumpulkan, terdeteksi dua nomor telepon yang digunakan Nazaruddin saat di Dominika dalam melakukan komunikasi. Tim juga melakukan jejak rekam, dengan mengamati rekaman CCTV di Port Autority Dominika.
Dari CCTV itulah, tim semakin jelas bahwa Nazaruddin memang datang ke Dominika. Setelah ditelusuri, Nazaruddin berangkat dengan berbekal paspor atas nama Syarifuddin. Ia melarikan diri ditemani istri, Neneng Sriwahyuni serta dua temannya, Nazir Rahmat dan Eng Kiam Lim.
Nazaruddin akhirnya ditangkap oleh aparat keamanan Kolombia di kota Cartagena pada 8 Agustus 2011. Setelah itu, tim melakukan koordinasi kembali untuk mencari cara membawa Nazaruddin secepatnya ke Indonesia. Cara ekstradisi, dianggap bisa memakan waktu yang lama. Akhirnya, Nazaruddin bisa dipulangkan dengan cara eksklusi atau pengusiran.
Saksikan video pilihan berikut ini:
Divonis 6 Tahun Penjara
Kasus hukum yang menimpa Nazaruddin kemudian terus berjalan. Hingga akhirnya Majelis Hakim Pengadilan Tipikor menjatuhkan vonis pidana enam tahun penjara kepadanya.
Mantan Bendahara Umum Partai Demokrat itu juga dijatuhi hukuman denda Rp 1 miliar subsider satu tahun kurungan.
"Mengadili menyatakan terdakwa Muhammad Nazaruddin terbukti secara sah melakukan tindak pidana korupsi dan pencucian uang sebagaimana dalam dakwaan kesatu primer, kedua primer dan dakwaan ketiga," kata Majelis Hakim Ketua Ibnu Basuki saat amar putusan di Pengadilan Tipikor pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Rabu 15 Juni 2016 lalu.
Majelis menilai, eks kolega Anas Urbaningrum itu terbukti melanggar Pasal 12 huruf b Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor) juncto Pasal 65 ayat (1) KUHP.
Nazaruddin dinilai terbukti melanggar Pasal 3 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 jo Pasal 65 ayat (1) KUHP.
Ada pertimbangan yang memberatkan bagi Nazaruddin yakni perbuatan Nazaruddin tidak mendukung program pemerintah dalam pemberantasan korupsi.
Sedangkan yang meringankan yaitu Nazaruddin dipertimbangkan karena berlaku sopan selama di persidangan, telah menjadi terpidana di kasus sebelumnya, mempunyai tanggungan keluarga, dan telah menjadi Juctice Collaborator.
Vonis ini lebih rendah dari tuntutan Jaksa Penuntut Umum (JPU). Jaksa sebelumnya menuntut suami Neneng Sri Wahyuni itu dengan pidana tujuh tahun penjara dan denda Rp 1 miliar subsider 1 tahun kurungan. Selain itu, harta kekayaan Nazaruddin senilai lebih kurang Rp 600 miliar juga dituntut dirampas untuk negara.
Advertisement