Liputan6.com, Jakarta - Kontribusi ekosistem Gojek terhadap perekonomian Indonesia ditaksir mencapai Rp 55 triliun. Layanan dihadirkan aplikasi karya anak bangsa itu merepresentasikan istilah Society 5.0 yang akan berkembang di masa mendatang.
Lembaga Demografi Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (LD FEB UI) mengumumkan kontribusi Gojek sebesar Rp 55 triliun itu mengukur 100 persen mitra aktif saat ini. Dihitung berdasarkan kontribusi sepanjang 2018.
Baca Juga
Advertisement
”Sebelumnya pernah kami umumkan bahwa kontribusi Gojek sebesar Rp 44,2 triliun pada 2018 yang merupakan cerminan dari 75 persen mitra aktif. Tapi jika diukur 100 persen maka sebesar Rp 55 triliun,” ungkap Kepala LD FEB UI, Turro S. Wongkaren, dalam paparan riset kualitatif berjudul Makna Kerja, Tingkat Kepuasan, dan Well-Being Mitra Gojek Indonesia di Jakarta, seperti ditulis Kamis (8/8/2019).
Dia menjelaskan, rentang kontribusi antara Rp 44,5 triliun atau 75 persen sampai Rp 55 triliun atau 100 persen merupakan hal biasa dilakukan lembaga riset. Hal tersebut dilakukan untuk memaparkan angka konservatif dan angka optimistis.
Besarnya kontribusi Gojek tersebut, Turro menambahkan, tidak terlepas dari penerapan istilah Society 5.0 karena mengantarkan beragam layanan secara langsung sesuai kebutuhan konsumen.
”Society atau masyarakat 5.0 ini hal berbeda dengan Industry 4.0. Society 5.0 memfokuskan pada sisi demand dan bagaimana kebutuhan itu bisa dilayani dengan teknologi. Itu berkembang di Jepang,” terangnya.
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
Mitra Ojek Online
Hal tersebut menurutnya tercermin dari layanan dalam ekosistem Gojek. Turro mencontohkan, bagaimana layanan pembersih rumah ke konsumen, layanan bengkel, dan layanan lainnya secara langsung ke konsumen.
”Dengan begitu Gojek ini membuat mereka yang sebelumnya tidak kepikiran bekerja menjadi mau bekerja. Misalnya ibu rumah tangga dan mahasiswa. Sebab ada independensi dalam menentukan waktu bekerja,” paparnya.
Peneliti LD FEB UI, Bagus Takwin, memaparkan mitra Gojek memaknai pekerjaan mereka lebih dari sekadar menghasilkan uang. ”Mereka melihat hidup menjadi lebih bermakna dengan menjadi mitra Gojek. Bisa membantu banyak orang dan menebar kebaikan,” ulasnya.
Berdasarkan pengukuran kepuasan hidup mitra yang menggunakan instrumen The Satisfaction with Life Scale (SWL) dari Pavot dan Diener (2013), skor rata-rata kebahagiaan mitra yang ditemukan penelitian LD FEB UI adalah 24,3 dari skala maksimal 35.
”Artinya, secara umum mitra Gojek tergolong cukup puas dengan hidupnya menjadi lebih baik dan merasa bahagia,” ujarnya.
Advertisement
Gojek Cs Disebut Milik Singapura, Pemerintah Perlu Lakukan Evaluasi
Pemerintah kerap membanggakan empat unicorn atau perusahaan rintisan (startup) yang valuasinya mencapai di atas USD 1 miliar. Keempat Unicorn yang dimaksud, yakni Gojek, Tokopedia, Bukalapak, dan Traveloka. Sayangnya, keempat unicorntersebut oleh Google Temasek diakui sebagai milik Singapura.
Ekonom Universitas Indonesia Fithra Faisal Hastiadi mengatakan, hal tersebut merupakan bentuk kritik terhadap pemerintah. Menurut dia, selama ini pemerintah belum berhasil menciptakan ekosistem yang baik bagi tumbuh kembang perusahaan rintisan maupun unicorn.
"Ini kan autokritik juga buat pemerintah Indonesia. Karena belum bisa menyediakan ekosistem yang baik bahkan perusahaan lokal saja mereka berinduknya di Singapura," kata dia, saat dihubungi Merdeka.com, Selasa (30/7).
"Berarti kan dari sisi ini pemerintah gagal untuk menyediakan ekosistem yang terbaik untuk unicorn-unicorn ini," tegas dia.
Menurut dia, masih cukup banyak hambatan bagi perkembangan startup di Indonesia. Beberapa di antaranya berasal oleh pemerintah sendiri.
"Agak ironis Pak Jokowi sangat mengagung-agungkan. Tapi sebenarnya bahka sedikit sekali yang pemerintah lakukan untuk keberlangsungan para unicorn ini. Pemerintah kita selama ini tidak membina ekosistem, belum menjadi ekosistem enabler," ungkap dia.
Dia menambahkan, dalam beberapa kasus, pemerintah malah sangat merintangi pertumbuhan dari unicorn. Salah satunya rencana pemerintah memajaki e-commerce.
"Seperti kemarin ada Kementerian Perhubungan, ada wacana e-commerce juga dipajaki padahal ini platform, dan lain-lain. Intervensi terlalu banyak yang justru saya lihat pemerintah tidak punya concern ke sini," tandasnya.