9 Agustus 1945: Bom Atom di Jepang dan Jalan Indonesia Menuju Kemerdekaan

Pada saat Nagasaki dibom atom, pada 9 Agustus 1945, Sukarno dan Bung Hatta sedang melakukan perjalanan rahasia ke Dalat, Saigon, Vietnam.

oleh Nila Chrisna Yulika diperbarui 12 Jan 2021, 14:07 WIB
Awan yang terbentuk jamur akibat ledakan bom atom di Hiroshima pada 1945 (Foto: osti.gov)

Liputan6.com, Jakarta - Pada 9 Agustus 1945, bom atom menewaskan 70 ribu orang dan mencederai puluhan ribu warga Nagasaki, Jepang. Sebuah pukulan telak bagi Jepang, setelah pada 6 Agustus 1945, bom atom juga menewaskan puluhan ribu orang di Hiroshima.

Dua kota bersebut jadi target sekutu karena merupakan pusat industri di Negeri Matahari Terbit.

'Little Boy' adalah nama bom atom yang dijatuhkan di Hirosima, sedangkan yang di Nagasaki dinamakan 'Fat Man'.

Peristiwa itu sekaligus mengakhiri Perang Dunia II. Jepang menyerah kepada sekutu pada 16 Agustus 1945.

Indonesia menjadi negara pertama yang langsung memanfaatkan kekalahan Jepang dengan memproklamasikan kemerdekaan pada 17 Agustus 1945.

Pada saat Hiroshima dibom atom, dua tokoh pergerakan Indonesia, Sukarno dan Muhammad Hatta, sedang sibuk dalam sidang Badan Persiapan Usaha Penyidik Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) yang kemudian diubah menjadi Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI).

Sementara, pada saat Nagasaki dibom atom, pada 9 Agustus 1945 dua tokoh pergerakan Indonesia itu bersama mantan Ketua BPUPKI Radjiman Wedyodiningrat sedang melakukan perjalanan rahasia ke Dalat, Saigon, Vietnam. Mereka akan menemui Panglima Angkatan Darat Jepang wilayah Asia Tenggara, Jenderal Terauchi. 

Sukarno, Bung Hatta dan Radjiman harus menempuh perjalanan berbahaya untuk menemui Jenderal Terauchi.

Mereka diantar Letnan Kolonel Nomura dan Miyosi sebagai penerjemah dengan 20-an perwira Jepang yang lain.

Penerbangan ini harus dirahasiakan bahkan kepada keluarga terdekat sekalipun.

Pesawat terbang yang mereka tumpangi sewaktu-waktu bisa disergap dan ditembak oleh pesawat pemburu Sekutu yang pada saat itu sudah menguasai wilayah Burma dan sebagian dari Semenanjung Malaya.

Jenderal Terauchi mengundang Sukarno, Hatta dan Radjiman ke Vietnam karena Jepang ingin meyakinkan mendukung penuh keinginan bangsa Indonesia untuk merdeka. Pertemuan itu, untuk membahas rencana penyerahan kemerdekaan. Di situ pemerintah Jepang menjanjikan memberi kemerdekaan Indonesia pada 24 Agustus 1945.

"Kapan pun bangsa Indonesia siap, kemerdekaan boleh dinyatakan." Itulah yang diucapkan Jenderal Terauchi pada pertemuan tersebut. Meskipun demikian, Jepang menginginkan kemerdekaan Indonesia pada 24 Agustus.

Jenderal Terauchi juga mengatakan pelaksanaan kemerdekaan dapat dilakukan secara berangsur-angsur dari Pulau Jawa, baru disusul pulau lainnya.

Selain itu, Jenderal Terauchi menyerahkan wilayah Indonesia yang akan meliputi seluruh bekas wilayah Hindia-Belanda.

Bung Karno sempat menanyakan, "Apakah sudah boleh bekerja sekitar 25 Agustus 1945?" Dengan santai, Jenderal Terauchi menjawab, "Silakan saja, terserah tuan-tuan."

Pada akhir pertemuan itu, Terauchi mengucapkan selamat kepada tiga tokoh pergerakan Indonesia itu. Pertemuan itu diakhiri jamuan minum teh.

 

Saksikan video pilihan berikut ini:


Detik-Detik Proklamasi

Dalam buku Samudera Merah Putih 19 September 1945, Jilid 1 (1984) karya Lasmidjah Hardi, alasan Presiden Sukarno memilih tanggal 17 Agustus sebagai waktu proklamasi kemerdekaan adalah karena Bung Karno mempercayai mistik. (Dok.Arsip Nasional RI)

Setelah pertemuan itu, ketiganya kembali ke Tanah Air. Sukarno dan Hatta segera mengabarkan hasil pertemuan dengan Terauchi kepada tokoh lain di Indonesia pada 14 Agustus 1945. Dituliskan oleh Aboe Bakar Lubis dalam Kilas-Balik Revolusi: Kenangan, Pelaku, dan Saksi (1992), mereka belum yakin Jepang sudah menyerah kepada Sekutu.

Namun, beberapa tokoh bangsa lainnya, terutama Soetan Sjahrir dan golongan muda, meyakinkan bahwa Jepang sudah terdesak dan hampir dipastikan bakal kalah perang. Sjahrir mendesak agar kemerdekaan Indonesia segera diproklamirkan. Ia curiga pertemuan di Dalat itu hanyalah tipu muslihat Jepang.

Namun, Sukarno maupun Hatta tetap percaya Jepang belum benar-benar kalah. Kepada Sjahrir, mereka mengatakan bila Jepang ternyata kalah, kemerdekaan Indonesia cepat atau lambat bisa segera diumumkan. Namun, itu membutuhkan persiapan yang matang.

Sukarno dan Hatta berusaha mencari kepastian terkait situasi terkini ke kantor penguasa militer Jepang (Gunseikan) di Koningsplein (Jalan Medan Merdeka, Jakarta Pusat). Namun, tidak ada siapapun di kantor itu.

Sukarno dan Hatta, bersama Achmad Soebardjo, bergegas menemui Laksamana Muda Maeda Tadashi, perwira tinggi Angkatan Laut Jepang. Maeda memberikan selamat atas pertemuan di Dalat, tapi ia belum bisa memberikan keterangan yang pasti terkait status dan kondisi Jepang karena masih menunggu konfirmasi dari Tokyo.

Di hari yang sama, kabar kekalahan Jepang terhadap sekutu akhirnya terdengar dari siaran radio. Sukarno dan Hatta masih bersikukuh tidak perlu terburu-buru menyatakan merdeka karena diperlukan proses. Bagi keduanya ihwal kemerdekaan Indonesia apakah hadiah dari Jepang atau tidak, bukan persoalan.

"Soal kemerdekaan Indonesia datangnya dari pemerintah Jepang atau dari hasil perjuangan bangsa Indonesia sendiri tidaklah menjadi soal karena Jepang toh sudah kalah," ujar Hatta saat itu, dikutip dari buku Sejarah Nasional Indonesia: Jaman Jepang dan Jaman Republik Indonesia (1975).

"Kini, kita menghadapi Sekutu yang berusaha mengembalikan kekuasaan Belanda di Indonesia. Untuk memproklamasikan kemerdekaan Indonesia, diperlukan suatu revolusi yang terorganisasi," katanya.

Sukarno dan Hatta menginginkan agar proses persiapan kemerdekaan Indonesia dirancang oleh PPKI, seperti keinginan Terauchi dan Jepang. Mereka juga tidak ingin terjadi bentrokan dengan tentara Jepang jika Indonesia segera memproklamirkan kemerdekaan.

Namun, Sjahir dan kawan-kawan menolak karena menganggap PPKI hanya merupakan hasil akal-akalan Jepang. Golongan muda juga menegaskan mereka siap menghadapi risiko apapun, termasuk jika harus mengangkat senjata melawan serdadu Dai Nippon.

Pada 15 Agustus 1945, desakan kepada Sukarno dan Hatta untuk segera menyatakan kemerdekaan Indonesia semakin menguat. Namun, dwitunggal itu tetap bertahan pada pendirian mereka. Perbedaan kemauan antara dua golongan tersebut kian memanas. Situasi ini menimbulkan apa yang dikenal sebagai peristiwa Rengasdengklok.

Tokoh muda terpaksa menculik Sukarno dan Hatta ke Rengasdengklok untuk meyakinkan keduanya agar tidak terpengaruh oleh siasat licik Jepang. Sukarno-Hatta akhirnya menyerah, dan disusunlah rencana kemerdekaan Indonesia yang kemudian diproklamirkan pada 17 Agustus 1945.

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya