Liputan6.com, Jakarta - Rencana penyederhanaan (simplifikasi) layer cukai hasil tembakau (CHT) kembali bergulir. Jika tidak ada hambatan, kebijakan baru mengenai simplifikasi maupun tarif CHT 2020 akan diterbitkan pada Oktober–Desember 2019.
Ketua Umum Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok Indonesia (GAPPRI) Henry Najoan mengatakan, kebijakan simplifikasi akan berdampak negatif terhadap perkembangan industri tembakau skala kecil dan menengah serta industri rokok secara nasional.
Baca Juga
Advertisement
Merujuk kajian GAPPRI, bahwa ada sejumlah dampak negatif jika kebijakan simplifikasi tersebut diterapkan. Salah satunya akan mendorong peredaran rokok ilegal semakin marak dan sulit dikendalikan.
“Di lain sisi, Kementerian Keuangan melalui Direktorat Bea Cukai terus memberantas peredaran rokok ilegal yang merugikan Negara,” kata Henry di Jakarta, Kamis (08/08/2019).
Dampak negatif berikutnya, menurut Henry, hasil tembakau dari para petani kurang terserap secara maksimal. Mengingat selama ini industri yang serap.
"Pada dasarnya kami keberatan jika kebijakan tersebut diterapkan saat ini," tegasnya.
Henry menegaskan, apabila simplifikasi diterapkan, maka akan ada pengurangan sejumlah industri rokok skala kecil yang ada saat ini. Saat ini sudah ada 10 layer, ini sangat ideal diberlakukan di Indonesia, mengingat beragamnya jenis industri rokok, ada yang skala kecil, menengah dan besar.
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
Struktur Tarif Cukai
Rencana simplifikasi struktur tarif cukai secara bertahap sejak 2018 hingga 2021 akan memberatkan industri, juga karena adanya penggabungan dua jenis rokok yang berbeda yakni sigaret kretek mesin (SKM) dan sigaret putih mesin (SPM). Demikian halnya penggabungan antara SKM golongan 2A dan 2B akan sangat memukul pengusaha kecil.
GAPPRI juga meminta pemerintah bersimpati atas kondisi industri hasil tembakau (IHT) saat ini. Pasalnya, kondisi IHT sedang terpuruk dengan menurunnya volume secara drastis. Ada penurunan 1-2 persen selama 4 tahun terakhir. Merujuk hasil riset Nielsen, pada bulan April 2018, terjadi penurunan volume industri rokok sebesar 7 persen.
Oleh karena itu, GAPPRI berharap Pemerintah dapat mengkaji kembali rencana penerapan kenaikan cukai dan penyederhanaan layer cukai yang berpotensi akan menimbulkan kerugian, baik bagi industri maupun negara sendiri.
“Pemerintah harus menempuh proses yang inklusif dengan lintas kementerian, pihak industri, dan juga akademis untuk menghindari konsekuensi yang justru bertentangan dengan tujuan yang dirancang dan bahkan membawa kerugian di sektor lain,” pungkasnya.
Advertisement
Pemerintah Diminta Perbaiki Celah pada Kebijakan Cukai Rokok
Indonesia Budget Center (IBC) menilai berbagai celah dalam kebijakan tarif cukai rokok berpotensi merugikan negara. Oleh karena itu, pemerintah didorong untuk melakukan perbaikan terhadap kebijakan ini.
Ketua Indonesia Budget Center, Arif Nur Alam menjelaskan kerugian negara yang muncul dari celah kebijakan cukai rokok disebabkan adanya produsen yang membayar tarif cukai rokok lebih rendah dibandingkan yang seharusnya.
“Ini karena penggolongan tarif cukai saat ini sangat banyak dan rumit. Padahal, setiap kebijakan yang rumit akan memunculkan celah penyimpangan,” kata dia di Jakarta Selasa (29/7/2019).
Saat ini, pemerintah mengatur tarif cukai rokok melalui Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 146 tahun 2017 yang kemudian direvisi menjadi PMK 156/2018 tentang Tarif Cukai Hasil Tembakau. Dalam aturan tersebut, pemerintah menetapkan golongan tarif cukai rokok yang berbeda berdasarkan batasan produksi sesuai kategorinya, antara lain Sigaret Kretek Mesin (SKM), Sigaret Putih Mesin (SPM), dan Sigaret Kretek Tangan (SKT).
Masalahnya, lanjut Arif, terdapat perusahaan rokok SPM dan SKM besar dan asing yang memanfaatkan celah tersebut untuk menghindari pembayaran pajak dan cukai yang lebih mahal. Salah satu caranya adalah dengan membatasi produksi mereka agar tidak melampaui tiga miliar batang di setiap segmen yang menjadi ambang batas (threshold) penetapan tarif tertinggi.
Padahal, jika digabungkan SPM dan SKM, produksi rokok perusahaan besar asing tersebut melampaui tiga miliar batang rokok.
“Inilah salah satu celah kerugian negara akibat kebijakan tersebut. Ini harus diperbaiki,” tegas Arif.
Salah satu perbaikan yang dapat dilakukan adalah dengan menggabungkan batasan produksi SPM dan SKM sehingga perusahaan besar asing tidak main-main dengan tarifnya.
Dia menjelaskan, pemerintah sudah memiliki contoh yang benar saat mencabut insentif cukai rokok di zona perdagangan bebas (free trade zone/FTZ) yang merugikan negara terhitung sejak 17 Mei 2019. Keputusan tersebut merupakan tindak lanjut rekomendasi KPK kepada Presiden pada Februari 2019.
KPK telah melakukan kajian Optimalisasi Penerimaan Negara di FTZ sepanjang 2018. Diantara hasil kajian adalah temuan indikasi penyalahgunaan dan ketidaktepatan pembebasan cukai untuk 2,5 miliar batang rokok yang berpotensi mengurangi penerimaan negara hingga Rp 945 miliar di FTZ Batam.
Arif mengatakan, Kementerian Keuangan hendaknya segera memberlakukan penggabungan antara SPM dan SKM tersebut. Sebab, jika praktik ini berlarut-larut, kerugian negara akan terus terjadi.
"Pemerintah harus menyusun kebijakan mengurangi potensi kerugian negara. Dengan adanya revisi kebijakan ini, pemerintah bisa meningkatkan pendapatan negara," tegasnya.