Liputan6.com, Jakarta - Lari, olahraga yang makin lama makin banjir peminat. Ada yang sekadar cari keringat hingga menjadikannya bagian gaya hidup sehat.
Imbasnya, beragam perangkat pendukung hingga bermacam gelaran yang menjual pengalaman, bermunculan bak jamur di musim penghujan. Meski tak terbatas usia, tak ada yang meragukan bila milenial lah yang jadi motornya.
Data Badan Pusat Statistik menyebut, generasi milenial pada 2017 mencapai 33,75 persen dari total jumlah penduduk Indonesia sekitar 260 juta jiwa. Sementara, Menteri Pariwisata Arief Yahya menyatakan, sekitar 51 persen inbound traveler ke Indonesia adalah generasi milenial dan 70 persen wisatawan melakukan pencarian dan penyebaran informasi via digital.
Istiarto Sigit (30), salah satunya. Lelaki yang berprofesi sebagai jurnalis ini terbilang baru di dunia lari. Bermula dari pertemuan dengan teman-teman lama pada akhir 2018, ia memantapkan hati untuk menjalani rutinitas baru.
Baca Juga
Advertisement
"Teman-teman saya udah khatam maraton dalam dan luar negeri, mereka 'ngeracunin' saya untuk ikutan lari. Saya mulai diajarin teknik yang baik untuk lari seperti apa," ujar Itho, panggilan akrabnya, kepada Liputan6.com, Sabtu, 7 Agustus 2019.
Banyak hal yang membuatnya tertarik pada salah satu cabang atletik ini. Proses menikmati perjalanan menuju garis finis dianggap sebagai terapi untuk melatih fokus diri sendiri. Sementara, kelelahan yang dirasakan bisa terbayar lewat hormon endorfin yang diproduksi.
"Jadi, setiap abis lari bakal keringatan dan happy. Sekarang kalau enggak lari, berasa ada yang kurang," imbuh Itho.
Semakin lama dijalani, lari kian menjadi bagian gaya hidup yang tak terpisahkan. Apalagi, manfaat kesehatan yang didapatkannya signifikan. Dari hanya latihan rutin biasa, ia pun menantang diri dengan mengikuti perlombaan.
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
Serba Online
Dimulai dari yang hanya berjarak 10 kilometer dan digelar di Jakarta, Itho mencoba ke luar kota. Bandung West Java Marathon alias Pocari Sweat Run 2019 yang berlangsung akhir Juli lalu menjadi pengalaman lari half marathon pertama yang diikutinya.
"Walaupun Bandung sudah cukup familiar, tapi long run di kota lain punya ambience beda. Plus, warga Bandung baik-baik banget. Sepanjang jalur race banyak warga nyemangatin dan kasih kita senyum. Ada juga yang bagiin buah dan minuman. Pokoknya vibe warga lokal positif banget," pujinya.
Tak seperti ajang di dalam kota, ia jelas membutuhkan persiapan khusus. Anggaran sudah pasti lebih. Khusus untuk event lalu, ia mengeluarkan sekitar Rp 1-2 juta untuk biaya pendaftaran, tiket, akomodasi, hingga jalan-jalan singkat setelah acara.
Nyaris semua pernak-pernik itu diaksesnya secara digital. "Beli tiket kereta, code buat ambil race pack, code masuk ke hotel, by online semua," katanya.
Bahkan sebelum itu, ia menggunakan media sosial untuk mendapatkan informasi yang diperlukan. Data tentang detail acara, do and donts, sampai foto-fotonya saat berlari, bisa didapat dengan mudah dari media sosial.
Sebaliknya, ia pun memanfaatkan media sosial untuk memajang pengalamannya. "Makanya kalau HP abis baterai, gue panik," celotehnya.
Advertisement
Banyak Pihak Bahagia
Yang ketularan bahagia bukan hanya Itho. Senyum lebar para pelari lain yang didominasi kalangan milenial terekam dalam jejak digital bertagar Bandung Marathon 2019.
Ajang lari dengan peserta ribuan itu berlangsung sukses, membawa keceriaan untuk banyak pihak, mulai dari warga lokal, event organizer pemerintah daerah, hingga sponsor acara. Ukuran kesuksesan bisa beragam, tapi salah satu faktornya adalah jumlah peserta yang berpartisipasi.
Dalam ajang Bandung West Java Marathon 2019 misalnya, 10 ribu orang terlibat, meningkat dari 6.500 peserta pada 2017 dan 8.000 orang pada 2018. Bahkan, tiket perlombaan habis hanya dalam waktu 45 menit.
Mereka yang datang juga tak melulu dari Bandung. Berdasarkan keterangan tertulis yang diterima Liputan6.com, peserta dari Sabang sampai Merauke hingga mancanegara turut hadir dalam ajang tersebut. Mayoritas masuk kelompok umur 20--30an yang notabene milenial.
"Pencapaian jumlah pelari yang tembus di angka 10.000 pada tahun ini juga merupakan sesuatu yang luar biasa bagi kami, karena kami terus berupaya untuk dapat memberikan yang terbaik kepada masyarakat setiap tahunnya," kata Ricky Suhendar, Marketing Director PT. Amerta Indah Otsuka, beberapa waktu lalu.
Masifnya orang-orang luar kota yang datang ditangkap sebagai peluang bisnis yang menjanjikan, khususnya di sektor pariwisata. Apalagi, Bandung memiliki modal yang cukup mumpuni dengan keberadaan beragam bangunan bersejarah, wisata kuliner beraneka rupa, hingga surga belanja yang tersebar di berbagai penjuru kota.
Bahkan, Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil blak-blakan mengatakan ajang itu memang bagian dari promosi sport tourism Kota Bandung. Ia pun turun tangan dalam gelaran tersebut dengan mendesain medali khusus bagi para pelari yang sampai di garis finis. Sementara, warga diajak mengisi pertunjukan seni hingga menyajikan kuliner khas.
"Event marathon dengan jumlah 10 ribu peserta ini bisa berdampak kurang lebih Rp 10-15 miliar dari sisi akomodasi," ujarnya.
Menjual Pengalaman
Memanfaatkan ajang lari sebagai sarana promosi wisata bukan hal baru di Indonesia. Sepuluh tahun belakangan, kegiatan serupa bermunculan dan makin marak sebagai ajang promosi wisata daerah.
Skalanya beragam, ada yang masih tingkat kota/kabupaten, provinsi, bahkan internasional. Segala keunikan diulik demi mendatangkan para turis milenial. Khusus untuk pasar sport tourism, pengalaman yang bakal didapat peserta lah yang menjadi nilai jualnya.
Seperti diungkapkan Fauzi Prihatin, Area Manager Plataran Bromo yang menjadi host acara sekaligus sponsor utama Bromo Marathon Xtravaganza 2019 kepada Liputan6.com. Ajang lari yang mengambil rute di pinggir kawasan Bromo, khususnya wilayah Desa Tosari, Pasuruan, Jawa Timur itu mengandalkan tiga hal.
"Pertama, eksotisme alam Bromo. Kedua adalah keanekaragaman budaya Suku Tengger, dan ketiga adalah experience," katanya.
Bromo Marathon sebenarnya sudah berlangsung sejak 2013, tetapi Plataran Bromo baru ambil peran mulai 2017. Tentu ada hitung-hitungan bisnis yang dilihat hotel chain ini sebelum terlibat.
Masuknya Plataran memberi warna baru lewat penambahan acara seni budaya bertajuk Bromo Xtravaganza. Jadilah namanya Bromo Marathon Xtravaganza 2019.
Digelar selama dua hari, yakni 31 Agustus--1 September 2019, acara tersebut didahului dengan gelaran seni budaya. Warga lokal ikut tampil, misalnya lewat pameran seni Tengger, Festival Reog Pasuruan, hingga bazar kuliner setempat.
Sementara, pada hari kedua, para pelari diajak melintasi desa yang hendak dipromosikan. Dengan strategi tersebut, acara yang berlangsung sejak 2013 itu sukses menarik perhatian pelari mancanegara, seperti Amerika Serikat, Australia, Jepang, Nigeria, hingga dari Eropa.
Khusus untuk event yang bakal digelar pada 1 September 2019 itu, total 32 negara akan berpartisipasi dalam Bromo Marathon. "Tahun ini sekitar dua ribu orang diperkirakan akan berpartisipasi dalam acara Bromo Marathon dan tiga ribu pengunjung untuk Bromo Xtravaganza," ucap Fauzi.
Advertisement
Belum Jadi Prioritas
Dari sekian banyak gelaran lari, Kementerian Pariwisata mencatat sebelas ajang khusus lari dan empat event berunsur lari yang terbilang potensial di Indonesia dengan dampak masif tersebar hingga ke Indonesia Tengah. Daftarnya bisa dilihat di grafis di atas.
Usia ajang tersebut beragam dengan yang tertua adalah Interhash, yakni gelaran lari lintas alam berskala dunia. Indonesia sudah empat kali menjadi tuan rumah acara yang mendatangkan lebih dari 1.500 hasher dunia dengan total wisatawan mencapai 6.000 orang.
"Pertama di Jakarta tahun 1982, Bali tahun 1988, Borobudur tahun 2012, dan Bali tahun 2016," kata Alexander Reyaan, Asisten Deputi Pengembangan Wisata Alam dan Buatan Kementerian Pariwisata, saat ditemui Liputan6.com.
Ia menilai, perkembangan sport tourism itu tak lepas dari tren gaya hidup sehat kalangan milenial sekaligus pesatnya industri pariwisata di Indonesia. Bali masih menempati peringkat utama yang dituju pelari mancanegara, tetapi secara umum, kaum milenial tak keberatan mengeksplorasi beragam tempat.
Event lari, diakuinya, termasuk alat promosi pariwisata yang efektif karena setiap destinasi dapat mengekspos tempatnya secara massif, terbuka secara umum, terjangkau, dan menjadi media yang tepat bagi para penghobi untuk sukarela terlibat dalam kegiatan itu. Bahkan, sport tourism masuk menjadi salah satu agenda promosi lima destinasi super prioritas, meliputi Danau Toba, Borobudur, Mandalika, Labuan Bajo, dan Likupang.
"Secara teknis, event lari biasanya akan melewati rute-rute atau area-area yang menjadi daya tarik destinasi yang memang bertujuan untuk diekspos secara global," ujarnya.
Kemenpar selaku focal point pun tak mau melepaskan kesempatan untuk mem-branding Pesona Indonesia, khususnya pada ajang yang disebut potensial tersebut. Kaus, logo, topi, semua tempat potensial memasang logo Wonderful Indonesia.
Meski begitu, Alex menyatakan Kemenpar belum pernah menghitung kontribusi ekonomi dari lari bagi pariwisata Indonesia. Sampai saat ini, baru Bappenas yang mengkalkulasi event sport tourism bagi devisa Indonesia. Itu pun terbatas pada Asian Games 2018 yang disebut mencapai Rp 3,6 triliun.
"Kami belum menghitungnya karena belum melihat itu (sport tourism) sebagai prioritas, tetapi kami lebih menjadikannya untuk promosi," ucap Alex.