Liputan6.com, Sleman - Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG) Badan Geologi, Kementerian ESDM, pada hari Kamis (9/8/2019) menaikkan status Gunung Slamet di Jawa Tengah pada level II (Waspada). Peningkatan status dilakukan setelah aktivitas vulkanik secara kegempaan dan deformasi di Gunung tertinggi di Jawa tengah ini mengalami peningkatan.
Dari peningkatan status ini, PVMBG merekomendasikan agar tidak ada aktivitas warga maupun wisatawan pada radius 2 kilometer dari puncak Gunung Slamet. Selebihnya, Gunung bertipe strato dengan bentuk kerucut ini masih aman untuk dinikmati.
Baca Juga
Advertisement
Sebagai Gunung tertinggi di Jawa Tengah dan tertinggi kedua di Pulau Jawa, Gunung Slamet yang menjulang 3.432 meter di atas permukaan laut (data PVMBG) ini memang menyimpan berbagai pesona yang sangat menarik untuk dinikmati. Di sekeliling Gunung yang berada di lima kabupaten yaitu Banyumas, Purbalingga, Pemalang, Tegal dan Brebes ini, terdapat banyak obyek wisata yang menarik.
Selain potensi wisata, kawasan sekitar Gunung Slamet ini juga memiliki tanah subur, sehingga banyak wilayah di sini di sini yang dikenal sebagai penghasil buah buahan dan sayuran. Juga vegetasi beragam dan kekayaan fauna di sini menjadikan sebagian wilayah di Gunung Slamet dijadikan Kebun Raya dan suaka margasatwa.
Ari Aji, aktivis penggerak Bumdes dan praktisi wisata Banyumas mengatakan, wisata yang memungkinkan untuk dinikmati di sekitar Gunung Slamet umumnya adalah wisata alam dan minat khusus.
"Baturraden di Banyumas dan Guci di Tegal, memang masih menjadi lokasi wisata favorit di lereng Gunung Slamet, selain itu, Gunung Slamet juga seringkali menjadi tujuan utama para pendaki yang bertandang ke Jawa Tengah," kata Ari Aji.
Magnet Pendakian
Ada beberapa jalur pendakian yang ada di Gunung Slamet, di antaranya adalah jalur Bambangan di Dukuh Bambangan Desa Kutabawa Kecamatan Karangreja, kabupaten Purbalingga, kemudian jalur Baturraden melalui Kebun Raya Baturraden di Banyumas, serta jalur Guci di Kecamatan Bojong, Tegal.
Jalur Bambangan menjadi jalur yang paling banyak dilalui oleh para pendaki, ada delapan pos yang harus dilalui oleh para pendaki saat mendaki jalur ini, salah satunya pos 4 yang disebut pos Samarantu. Dinamai demikian karena tersebarnya legenda makhluk halus pengganggu para pendaki yang sering kali muncul samar-samar menyerupai sosok manusia di sekitar pos ini.
Jalur Baturraden adalah jalur istimewa menurut kebanyakan pendaki yang pernah melaluinya. Jalur dari Kebun Raya Baturraden harus melalui vegetasi yang sangat rapat serta terjal, beberapa wilayah di jalur ini dinamai sesuai dengan keadaan di sekitarnya, seperti wilayah Sanghyang Pacet yang memang terdapat banyak sekali pacet (Avertebrata kecil penghisap darah).
Ada lima pos yang harus dilalui pendaki yang umumnya ditandai dengan tugu triangulasi ketinggian. Satu hal yang menjadi tantangan mendaki di jalur ini adalah medannya yang paling terjal diantara jalur lain, serta minimnya sumber air seperti juga di semua jalur menuju puncak.
Sedangkan jalur Guci, hampir sama dengan Baturraden yang melewati track bervegetasi rapat, namun lebih landai. Sama juga dengan jalur Baturraden, pendaki juga harus melalui lima pos dari pos 1 sampai dengan pos Plawangan (pos 5).
Ribuan bahkan mungkin puluhan ribu pendaki telah berhasil mendaki Gunung Slamet dari ketiga jalur ini, tak jelas kapan dimulainya pendakian secara resmi di Gunung yang dianggap sebagai sumbu pulau Jawa ini, yang jelas sejak tahun 60-an, banyak anggota pecinta alam yang menjadikan Gunung Slamet sebagai target pendakiannya. Tercatat salah satu pendiri Mapala UI yang juga penulis terkenal Soe Hok Gie juga pernah menjajal penaklukan Gunung Slamet.
Dari banyaknya pendaki yang berhasil mencapai puncak, sebagian pendaki yang tak beruntung justru tertimpa kemalangan hingga kehilangan nyawa di Gunung ini. Ada cerita keliru yang menyatakan bahwa Tugu Surono adalah tugu untuk menghormati seorang pendaki yang pertama meninggal di Gunung Slamet, TUGU SURONO diresmikan pada hari Kamis, 10 November 1977 jam 10.00 wib, bertepatan dengan peringatan Hari Pahlawan Nasional. Diresmikan oleh Mayor Jendral Soerono, yang kala itu juga menjabat sebagai Ketua Dewan Harian Nasional 45 (DHN'45).
Tak ada catatan mengenai siapa pendaki yang pertama meninggal di Gunung Slamet, namun memang Gunung Slamet telah menelan banyak korban pendaki Gunung, umumnya adalah karena serangan hipotermia yang seringkali menimpa pendaki yang kondisi badannya memang sedang tidak fit atau terlalu kelelahan. Badai juga menjadi sebab utama pendaki mengalami hipotermia, disorientasi, hingga terjatuh ke jurang.
Suhu di sekitar puncak juga seringkali berubah sangat ekstrim bahkan mencapai minus derajat celcius. Hembusan badai di puncak Gunung Slamet bahkan bisa membuat batu sebesar kepalan tangan orang dewasa melayang dan melukai pendaki.
Bahaya lain yang juga menjadi ancaman adalah kebakaran hutan yang kerap terjadi saat musim kemarau, sehingga dikeluarkan larangan untuk membuat api unggun di sekitar Gunung Slamet. Jalur Bambangan seringkali menjadi korban kebakaran hutan karena memang jalur inilah yang paling banyak ditempuh para pendaki.
Beberapa catatan adanya korban dalam pendakian Gunung Slamet di antaranya adalah sekitar medio tahun 80-an, 3 pendaki dari IKIP Semarang mengalami disorientasi dan halusinasi sebelum akhirnya meninggal yang diduga karena Hipotermia. Lalu pada tahun 2001, 5 pendaki dari Mapagama (Mahasiswa Pecinta Alam Universitas Gajah Mada) meninggal setelah terjebak badai yang ganas di sekitar puncak Gunung Slamet. Dan terakhir pada Bulan Oktober-November, seorang santri yang mendaki dari jalur Tegal akhirnya ditemukan meninggal diduga karena jatuh ke jurang.
Advertisement
Isu Harimau Jawa
Kekayaan flora dan fauna di wilayah Gunung Slamet juga menjadi daya tarik tersendiri, Anggrek Hutan di wilayah Baturraden adalah salah satu primadona yang banyak ditemui pendaki yang melalui jalur ini, selain itu vegetasi lain yang beragam mulai dari tumbuhan bernilai ekonomis yang sengaja ditanam seperti Damar, hingga tumbuhan perdu banyak juga ditemui.
Pada awal tahun 2000, bahkan sempat mencuat isu masih adanya spesies Harimau Jawa yang telah dinyatakan punah. Sekelompok peneliti muda bahkan mengaku menemukan bukti bukti adanya spesies ini seperti adanya veses (kotoran), jejak kaki, hingga bekas cakaran pada pohon. Hal ini sempat menumbuhkan dorongan dari berbagai kalangan untuk menjadikan wilayah ini sebagai Taman Nasional.
Namun hingga kini, keberadaan harimau jawa secara fisik belum terbuktikan. Spesies kucing hutan yang acap kali terlihat adalah macan Kumbang dan macan tutul. Hal tersebut memang merupakan keniscayaan mengingat di wilayah ini juga banyak terdapat babi hutan dan rusa yang merupakan makanan dari raja –raja hutan tersebut.
Status Waspada Kunjungan Wisata Meningkat
Adanya kenaikan status Gunung Slamet dari level I (normal) menjadi level II (waspada) justru ditanggapi optimis oleh sebagian praktisi wisata di seputaran Gunung Slamet. Ari Aji misalnya, dirinya mengatakan naiknya status tersebut harus disikapi secara proporsional.
"Ini bentuk mitigasi, memang sangat berarti sebagai sebuah early warning bagi para pelaku wisata dan warga supaya lebih waspada, tapi rekomendasinya jelas, di dua kilometer dari puncak, selebihnya aman, jadi justru bisa dimanfaatkan untuk atraksi para wisatawan, tentu saja di tempat yang aman," tutur ari.
Erupsi Gunung Slamet yang biasanya bertype Stromboli memang bisa dinikmati dari jarak yang aman bila mengacu pada erupsi erupsi sebelumnya. Keindahan erupsi ini juga bisa menjadi sebuah wisata edukasi tersendiri bagi para peminatnya.
"Bisa dilakukan di dari Pos Pengamatan Gunung Slamet di Desa Gambuhan, Kecamatan Pulosari, Kabupaten Pemalang, atau di tempat lain yang memungkinkan, yang penting jangan melanggar rekomendasi PVMBG," kata Ari optimis.
Memang berdasarkan rekomendasi PVMBG, erupsi bisa terjadi sewaktu waktu tanpa gejala vulkanik yang jelas, namun dari perkiraan sementara, potensi ancaman bahaya Gunung Slamet saat ini adalah erupsi magmatik yang menghasilkan lontaran material pijar yang melanda daerah di sekitar puncak di dalam radius 2 km, atau erupsi freatik dan hujan abu di sekitar kawah.
Sebuah kesempatan bagi masyarakat untuk mengagumi kebesaran sang pencipta tanpa harus terlalu panik namun juga tak meninggalkan waspada.
Advertisement