Liputan6.com, Aceh - Jerat atau perangkap baik yang dipasang pemburu atau warga masih menghantui satwa liar di Provinsi Aceh. Setidaknya, 4 ekor gajah, 3 ekor beruang madu, terluka akibat jeratan, termasuk 2 ekor harimau ditemukan tinggal belang per Januari-Agustus 2019.
Seekor bayi gajah ditemukan dengan kondisi terluka akibat jeratan di kawasan hutan Kecamatan Simpang Jernih, Kabupaten Aceh Timur, Selasa (18/6/2019). Sebulan kemudian ditemukan dua ekor gajah betina dengan kondisi serupa di kecamatan yang sama.
Nasib yang tidak jauh berbeda dialami seekor gajah di Kecamatan Rusip Antara, Kabupaten Aceh Tengah, pada Jumat (9/8/2019). Gajah berkelamin jantan berumur 6 tahun, itu terjerat tali nilon diperkirakan hampir satu bulan lamanya.
Pada hari itu juga ditemukan anak beruang madu (Helarctos malayanus) terkena jerat. Beruang itu terkapar di kebun karet, 8 kilometer dari permukiman warga Desa Panton Rayeuk, Kecamatan Banda Alam, Kabupaten Aceh Timur.
Baca Juga
Advertisement
Dua ekor beruang madu sebelumnya dilaporkan terkena jerat babi di Desa Ladang Neumbok, Kecamatan Jeumpa, Kabupaten Aceh Barat Daya Juni lalu. Lebih miris, dua ekor harimau (Panthera tigris sumatrae) didapati tinggal belang di pedalaman hutan Kabupaten Aceh Timur Maret lalu.
Data-data tersebut merupakan rekaman Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Aceh dan Forum Konservasi Leuser (FKL). Kondisi ini memprihatinkan mengingat jumlah satwa liar dilindungi kian diambang kepunahan.
Direktur FKL, Rudi Putra, turut menyayangkan fenomena ini. Jerat-jerat itu telah melukai bahkan membunuh satwa dilindungi, kendati berdalih memasang jerat untuk hama seperti babi. Padahal tidak sedikit yang dipasang khusus untuk memburu satwa-satwa tersebut.
"Umumnya dipasang untuk babi, rusa, tapi yang kenanya beruang. Tapi, ada juga yang khusus, seperti harimau itu, kita duga memang untuk harimau," jelas Rudi kepada Liputan6.com, Sabtu (10/9/2019).
Tim patroli FKL berhasil mengumpulkan sebanyak 5.529 jerat berbagai jenis dari kawasan hutan Leuser sepanjang 2014-2018. Jerat-jerat tersebut diperuntukkan menjerat rusa, kambing hutan, harimau, gajah, hingga landak.
Bentuknya bervariasi, mulai dari selang kecil hingga tali berukuran besar. Pada beberapa jerat yang ditemukan terdapat kayu berujung lancip untuk membunuh satwa buruan.
Jumlah jerat yang ditemukan pada 2018 meningkat dari tahun sebelumnya. Pada 2018, FKL menemukan 843 jerat, 2017 sebanyak 814 jerat, sementara per Januari-Juli 2019 tercatat 173 jerat ditemukan.
"Kita mengoperasikan 26 tim di 13 kabupaten. Tiap bulan mereka aktif menghancurkan jerat-jerat itu," ungkap Rudi.
Perang Melawan Jerat
Fenomena banyak satwa dilindungi terkena jerat ditanggapi serius oleh Kepala Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSD), Sapto Aji Prabowo. Pihaknya mencanangkan "perang jerat", dan akan mengambil langkah hukum untuk para pelaku.
"Kami akan berupaya untuk bisa menaikkan kasus jerat ini ke ranah hukum," tegas Sapto, kepada Liputan6.com, Sabtu (10/8/2019).
Sapto mengaku pihaknya belum mendeteksi para pelaku untuk saat ini. Namun, perang melawan jerat yang dicanangkan Dirjen BKSDAE, ini diharap menjadi gebrakan baru untuk menurunkan angka perburuan dan kematian satwa liar yang dilindungi.
"Sampai saat ini belum. Kasus yang punya peluang akan kita naikkan, akan kita naikkan," katanya.
Dalih memasang jerat untuk mengantisipasi hama seperti babi tidak dapat dibenarkan. Jerat-jerat tersebut sering salah sasaran, sehingga keberadaan satwa liar kerap terancam.
"Sekarang ini kehidupan satwa liar itu terancam dengan banyaknya jerat dipasang oleh masyarakat. Apa pun alasannya. Baik untuk babi, untuk rusa, untuk apa pun," ujar Sapto.
Menurut Sapto, masyarakat dapat mengantisipasi hama babi dengan cara lain salah satunya memasang kawat berduri. Potensi satwa liar dilindungi terkena jerat dapat diminimalisir dengan cara tersebut.
Saksikan video pilihan berikut ini:
Advertisement