Liputan6.com, Jakarta - Di zaman teknologi seperti saat ini, suatu informasi dapat dengan cepat tersebarkan. Berbeda dengan masa Proklamasi. Kantor Berita Domei merupakan salah satu media yang berjasa untuk menyebarkan kemerdekaan RI. Gedung Domei Surabaya, yang kini menjadi PELNI mengalami dinamika kisah menegangkan kala kabar kemerdekaan Indonesia itu tersebar.
Dituliskan dalam Surabaya Di Mana Kau Sembunyikan Nyali Kepahlawananmu karya Ady Setiawan, 17 Agustus 1945, Indonesia menyiarkan kabar penting. Republik Indonesia telah lahir sebagai negara merdeka dan berdaulat setelah pembacaan teks Proklamasi. Bung Hatta pun memerintahkan agar berita proklamasi itu disebarkan sebanyak-banyaknya ke seluruh penjuru negeri.
Adam Malik kemudian menghubungi kantor berita Domei untuk segera menyebarluaskan berita tersebut tanpa meminta izin pada Hodokan, lembaga sensor pemerintah pendudukan Jepang. Para markonis di kantor berita Domei pun segera meneruskan berita tersebut menggunakan bahasa morse.
Dari kantor berita Domei Jakarta, berita Proklamasi melalui sandi morse diterima di kantor Domei Surabaya. Domei Surabaya menerima kabar itu pada shift kedua, saat itu Jacob dan Sumandi (atau Soewardi) bertugas sebagai markonis dan di bagian redaksi terdapat Bintari bersama Soetomo (Bung Tomo).
Baca Juga
Advertisement
Morse yang diterima Jacob, diteruskan kepada bagian redaksi Bintari dan Soetomo. Setelah itu, berita diteruskan secara berantai dari mulut ke mulut. Karena kantor Domei bersebelahan dengan Soeara Asia, berita proklamasi itu juga diterima oleh mereka.
Soeara Asia adalah surat kabar di Jawa Timur yang melakukan penyebaran hingga Kalimantan, Sulawesi, dan Bali. Mereka awalnya ingin menaikkannya langsung menjadi berita. Namun, berbagai bantahan yang ada membuat mereka menjadi ragu. Mereka pun akhirnya berinisiatif untuk mencari kebenaran langsung ke Jakarta.
Setelah memastikan, Soeara Asia menerbitkan berita kemerdekaan tanpa memuat isi teksnya pada 17 Agustus 1945. Isi proklamasi baru mereka masukkan dalam berita pada 20 Agustus 1945 bersamaan dengan berita keputusan PPKI tentang penetapan Presiden dan Wakil, Pembukaan UUD 1945, dan pembagian wilayah provinsi Republik Indonesia.
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini
Memanfaatkan Keragaman Bahasa
Pada saat itu, Jepang masih mempertahankan status quo hingga kedatangan Sekutu. Walaupun begitu, wartawan Surabaya tak kalah akal untuk menghindar dari kecurigaan Jepang. Mereka menggunakan bahasa Jawa dan Madura dalam menyebarkan berita tentang Proklamasi.
Seperti Warta Surabaya Syu, yang pertama memuat isi teks Proklamasi di surat kabarnya menggunakan bahasa Jawa. Selain itu, wartawan pejuang di Radio Hosokyoku pun tak kalah lihai. Setelah rekaman 15 kali pukulan gong gamelan Jawa dipasang, Djakfar Brotoatmodjo dengan tenang membacakan teks Proklamasi dalam bahasa Madura pada 18 Agustus 1945.
Mendengar berita ini, rakyat Surabaya pun bereaksi. Para pedagang Madura turut menyebarkan berita Proklamasi sambil menjajakan dagangannya. Selebaran-selebaran Proklamasi ditempel di dinding-dinding Gedung, seperti di Gedung Domei.
Walaupun sempat dirobek oleh tentara Jepang, para pemuda Surabaya pantang semangat. Mereka kembali menempelkan selebaran berita Proklamasi itu, dan merobek selebaran perintah Jepang yang ditempel di sana. Hal ini sempat menimbulkan aksi saling teriak dan menantang.
Pada 18 Agustus 1945, Jepang mengambil tindakan untuk melucuti empat Daidan atau sejumlah empat battalion tentara PETA yang ada di Surabaya. Pada 22 Agustus 1945, Soeara Asia mengeluarkan berita resmi kekalahan Jepang. Kabar ini pun tentu mengejutkan rakyat Surabaya. Suasana dalam kota pun sempat memanas. Walaupun begitu, suasana masih bisa teredam karena saat itu masih dalam suasana Ramadhan.
Hingga kini, Gedung bekas kantor Domei dan Soeara Asia masih berdiri bersebelahan di Surabaya. Plakat bertuliskan kisah tentang gedung itu masih tertempel di dinding gedung. Dinding itu adalah dinding yang sama ketika selebaran berita Proklamasi ditempelkan di mana-mana.
(Kezia Priscilla, mahasiswi UMN)
Advertisement