Kontroversi Usulan PAN Tambah Kursi Pimpinan MPR Jadi 10 Orang

Penambahan porsi pimpinan MPR semacam itu memang pernah terjadi di tahun 2018 lalu.

oleh Liputan6.com diperbarui 13 Agu 2019, 08:08 WIB
Gedung DPR/MPR di Jalan Jenderal Gatot Subroto, Jakarta. (Liputan6.com/Devira Prastiwi)

Liputan6.com, Jakarta - Usulan Wakil Sekretaris Jenderal Partai Amanat Nasional (PAN) Saleh Partaonan Daulay soal penambahan jumlah pimpinan MPR membuat partai koalisi pendukung presiden terpilih Joko Widodo meradang. Saleh mengusulkan jumlah pimpinan MPR ditambah dari lima orang menjadi 10 orang.

Penambahan porsi pimpinan MPR semacam itu memang pernah terjadi di tahun 2018 lalu. Kala itu, PDIP adalah partai yang ngotot untuk menambah jumlah kursi pimpinan. Alasannya mereka adalah pemenang Pemilu 2014 sehingga layak mendapat jatah kursi pimpinan DPR dan MPR.

Demi mengakomodir permintaan tersebut akhirnya disepakati oleh 10 Fraksi di DPR untuk melakukan perubahan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2018 tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD (UU MD3). Awalnya, dalam UU tersebut jumlah pimpinan DPR diatur sebanyak lima orang dan pimpinan MPR lima orang. Kemudian disepakati saat proses revisi, akhirnya jumlah pimpinan DPR dan MPR bertambah.

Pimpinan DPR yang tadinya hanya terdiri Golkar, Demokrat, PAN, Gerindra, dan PKS kini ditambah kehadiran dari PDIP. Sedangkan pimpinan MPR yang tadinya hanya PAN, Hanura, Demokrat, Golkar, dan PKS kini ditambah dengan kehadiran PDIP, PKB dan Gerindra.

Meski begitu, dalam revisi juga disepakati penambahan pimpinan ini hanya berlaku untuk periode 2018-2019. Setelah periode itu berakhir, maka jumlah pimpinan MPR dan DPR seharusnya kembali lagi ke jumlah awal tetapi dengan sistem proporsional. Dimana pimpinan DPR dipilih berdasarkan perolehan kursi terbanyak di pemilu dan MPR melalui sistem paket.

Terkait usul penambahan pimpinan MPR kali ini tentu banyak yang tidak setuju. Salah satunya adalah Politikus dari Fraksi PDIP Hendrawan Supratikno. Dia ingin pemilihan pimpinan MPR tetap berdasarkan UU MD3 yang baru saja direvisi.

"Enggak, kita jalankan dulu UU MD3 yang sudah dua kali direvisi loh. Jadi dengan dua kali direvisi UU MD3 masa kita revisi lagi hanya untuk mengakomodasi naluri, libido politik dan seterusnya," kata Hendrawan di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (12/8/2019).

Pemilihan Ketua MPR memang tidak bisa ditambah atau dikurangi begitu saja. Semuanya harus mengacu pada UU MD3 sebagai landasan.

Hendrawan mengatakan, UU MD3 sekarang sudah berdasarkan asas proporsionalitas. Terlebih lagi UU tersebut sudah dua kali diubah.

"Jangan sebentar-sebentar diubah hanya untuk mengakomodasi libido politik, kalau orang bilang syahwat politik," ungkapnya.

Hal yang sama juga diungkapkan oleh Sekjen Partai NasDem Johnny G Plate. Dia menegaskan sampai saat ini partainya belum terpikir merevisi UU MD3.

"Kami belum berbicara terkait revisi UU MD3 ya. Yang ada kami punya komitmen untuk melaksanakan UU MD3 yang sudah kita sepakati bersama, kami belum pernah berbicara bagaimana untuk merevisi," kata Plate.

Plate menjelaskan, UU MD3 tidak bisa direvisi hanya untuk kepentingan politik. Hal itu, kata dia tidak baik untuk demokrasi Indonesia.

"Demokrasi hanya menjadi lebih bermartabat apabila kita konsisten menggunakan aturan-aturan itu dan menguji dengan baik, menerima itu sebagai satu keniscayaan kesepakatan yang sudah kita miliki. Tapi sebagai gagasan silakan saja. Nanti dibahas di fraksi-fraksi di DPR," ucapnya.

Saksikan video pilihan di bawah ini:


Gerindra Tak Keberatan

Berbeda dengan PDIP dan Nasdem, Wakil Ketua Umum Partai Gerindra Fadli Zon justru tidak keberatan dengan usul penambahan porsi pimpinan MPR. Kata dia, hal itu bisa saja dilakukan jika ada kesepakatan antar partai politik.

"Kalau disepakati bersama, why not, kalau disepakati bersama. Seperti sekarang kan ada 10 juga toh. Tapi nanti tergantung pada musyawarah. Kita perlu ada kesepakatan bersama dalam hal ini UU MD3-nya," kata Fadli di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (12/8/2019).

Menurutnya, itu adalah usulan yang wajar saja untuk dilontarkan. Namun tetap harus didiskusikan lebih dalam lagi.

"Jadi wacana itu sah-sah saja dilontarkan, tapi bila dengan UU yang sekarang, tapi bisa ada dialog politik yang baik," ucapnya.

Sebelumnya juga pernah diungkapkan oleh Ketua Badan Legislasi (Baleg) DPR Supratman Andi Agtas bahwa tidak akan ada lagi revisi pada UU MD3 setidaknya sampai tahun 2024 mendatang.

"Iya enggak ada, ini berlaku untuk 2019-2024," ucap Supratman.

Reporter: Sania Mashabi

Sumber: Merdeka

Tag Terkait

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya