Kawin Pesanan Ala China, Modus Dagang Orang Bermahar Jutaan?

Banyak perempuan Indonesia diduga menjadi korban perdagangan orang dengan modus kawin pesanan ke China. Ini kisah mereka:

oleh Ratu Annisaa Suryasumirat diperbarui 15 Agu 2019, 20:24 WIB
Sampai bulan Juli 2019, SBMI telah menerima aduan kasus korban TPPO (Tindak Pidana Perdangangan Orang) bermodus pengantin pesanan ke negara China sebanyak 26 orang (SBMI)

Liputan6.com, Jakarta - Sebut saja namanya IP, asal Mempawah, Kalimantan Barat. Usianya 14 tahun, masih 'bau kencur'. Tapi, semuda itu, ia sudah janda. 

IP menikah pada usia 13 tahun, saat ia masih lugu dan suka main lompat tali. Kala itu, kondisi ekonomi keluarganya yang pas-pasan memaksanya putus sekolah sampai kelas 2 SD. Asal bisa baca tulis, sudah dianggap bagus.

Tak lagi makan bangku sekolahan, IP berpindah ke ladang. Membantu orangtuanya bertanam jagung. Belakangan, ia bekerja di warung kopi milik kerabat. 

Sehari-hari ia menjadi pelayan, menyeduh kopi sasetan pesanan pelanggan. Sebuah pekerjaan mulia bagi perempuan kecil yang bercita-cita sederhana. Bagaimanapun, IP senang. Ia bisa dapat upah. 

Suatu hari, pertengahan tahun 2018, ponsel milik IP berdering. Kala itu ia sedang mengaduk kopi pesanan. Kawan sang juragan yang menelepon. Inisialnya M. Mereka sempat bertukar kontak di sebuah acara pengajian. 

"Halo?," sapa IP kepada sang penelepon.

"Halo IP, kamu mau tidak nikah dengan orang China?," kata M. 

IP pun kaget. Tak percaya dengan apa yang barusan didengar. Ia hanya diam, tak kuasa menjawab. 

Si penelepon kemudian memintanya untuk pikir-pikir. Tapi jangan lama-lama, dua hari saja. 

Dua hari berlalu, M kemudian mengirim pesan ke IP. Termasuk, tiga foto pria asal China, bakal calon suaminya. Semuanya terlihat 'rupawan'.

Sepekan kemudian, IP diajak kopi darat. Lima laki-laki menemuinya di warung kopi. Dua mak comblang, satu agen perjodohan asal China, dan dua pria yang bisa dipilih jadi suami. M tidak ikut.

IP mengaku terkejut dengan bakal calon suaminya. "Kok lain?. Tapi kata itu tak ia ungkap. Dalam hati saja. 

Penampilan dua lelaki itu beda sama sekali dengan yang ada di foto. Tak seganteng yang di gambar. IP kecewa. 

"Kalau nikah sama mereka, hidup terjamin," itu iming-iming mak comblang, berupaya meluruhkan hatinya. 

Kata si mak comblang, para calon suami yang ditawarkannya adalah orang mapan, punya duit, dan kerja kantoran. IP hanya bisa diam. 

Kemudian, 'rayuan maut' dilancarkan sang makelar jodoh. IP dijanjikan mahar Rp 20 juta plus uang bulanan yang jumlahnya lumayan. Tak perempuan itu yang kecipratan rejeki nomplok, tapi juga kedua orangtuanya. 

"Nikah dengan orang Beijing bisa kirim uang. Bisa bikin rumah untuk orangtua," kata mak comblang, seperti diungkap IP.

Iming-iming terakhir itu yang bikin sang gadis kecil kepincut. Membangun rumah untuk ayah dan ibu, adalah impian terbesarnya. Kontan, IP menganggukkan kepala. Ia siap jadi mempelai di negeri orang. 

IP kemudian diminta memilih satu dari dua laki-laki di hadapannya. "Yang tidak terlalu kurus...," kata dia. 

Meski penampilan pria pilihannya tak sesuai ekspektasi, gadis itu tak ambil pusing, tak pula mematok standar tinggi. IP mengaku, hanya mencari pria yang mau menerimanya apa adanya.

Infografis Terjerat Modus Kawin Pesanan. (Liputan6.com/Abdillah)

Tanpa ijab kabul dan resepsi kawin, IP akhirnya diboyong ke China, dengan dokumen asli namun isinya palsu belaka. Di KTP dan paspor usianya di-markup jadi 20 tahun.  

Enam bulan berlalu setelah pernikahan itu, kami menjumpai IP di Kantor Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI) di Tebet Jakarta pada 16 Juli 2019. 

Wajahnya terlihat lelah dan tak bugar. IP tersenyum malu-malu saat menyambut tim Liputan6.com. Itu kali pertamanya ia diwawancara di depan kamera. 

IP bersedia bicara, membeberkan babak terpahit dalam hidupnya: sebagai korban kawin pesanan di China. Ia  berharap, tak ada perempuan lain yang menguntit nasib tragisnya.


Hanya Kuat 6 Bulan

IP, anak di bawah umur yang turut menjadi korban kawin pesanan ke China (Liputan6.com / Zulfikar Abubakar)

Sebelum ke China, IP ke Jakarta untuk menunggu visa keluar. Kali pertama dalam hidupnya, ia menjajal kapal terbang. 

Di Jakarta, ia ditempatkan di sebuah apartemen. Ada sejumlah perempuan lain yang juga diberangkatkan ke Tiongkok. 

Beberapa pekan kemudian, IP akhirnya ke China, bersama pasangannya. Sesekali mereka mengobrol, dengan perantaraan Google Translate. 

Setelah delapan jam naik pesawat, ia sampai di sebuah tempat asing. Pengalaman baru baginya yang tak pernah ke luar negeri.

IP penasaran, apa benar ia dibawa ke Beijing. Ia kemudian menghubungi temannya yang pernah bekerja di Taiwan lewat panggilan video.  

"Ini Beijing apa Taiwan?" tanya IP, sambil mengarahkan kamera ponselnya ke sekeliling bandara. Agar kawannya bisa mengenali dan segera memberi jawaban.

"Oh Beijing," jawab temannya mengonfirmasi, penuh keyakinan. Setidaknya, daerah itu berbeda dengan tempatnya dulu bekerja. 

Menginap semalam di apartemen agen, IP dibawa ke kampung halaman sang calon suami. Gadis itu kecewa saat melihat rumah pasangannya. Tak sesuai ekspektasi. 

"Rumahnya gede, tapi jorok," kata IP. Bagaimanapun, bangunan itu lebih besar dari rumahnya di Kalimantan. 

Dan terkuak, lelaki yang dipilihnya bukan orang mapan apalagi kaya raya. Yang menghibur hati, calon mertuanya menyambutnya dengan sangat baik. Pesta pernikahan digelar, tak besar-besaran, tapi bagi IP, rasanya sedikit mirip dengan yang di cerita dongeng putri-putrian. 

Ia pakai gaun putih yang cantik. Mekar di bagian bawah. Sementara, pasangannya tampil necis dengan jas hitam, lengkap dengan dasi. 

Tetangga serta kerabat berdatangan. Mereka makan besar. Kedua mempelai dibanjiri ucapan selamat. 

Namun, bulan madu tak berlangsung lama. Menurut IP, lambat laun sifat asli suami dan mertuanya tersingkap. 

"Makanan saja dihitung," kata IP. Dia tak bisa bebas mengambil makanan. "Suami sering memukul, mencekik," kata dia.  

Suatu ketika, IP melakukan panggilan video dengan abangnya di Indonesia. Suaminya marah, mengiranya main serong.  "HP saya dilempar. Pecah," kata dia. 

Saat ditanya, apakah ia mengalami kekerasan fisik atau seksual, IP menolak menjawab.  "Saya cuma bisa bercerita sampai di sini," pungkasnya, dengan kepala menunduk.

IP hanya kuat bertahan enam bulan. Diam-diam ia kabur ke Indonesia. Dibantu Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI), yang mengancam akan melaporkan para mak comblang ke aparat. 


Mengaku Jadi Pemuas Nafsu

YM, seorang ibu tunggal anak satu, turut menjadi korban kawin pesanan ke China (Liputan6.com / Zulfikar Abubakar)

Apa yang terjadi pada Rabu, 18 Mei 2018 masih lekat dalam ingatan YM, juga perempuan asal Mempawah. Kala itu, sinar matahari tepat di atas ubun-ubun, YM datang ke Pesta Gawai, sebuah perayaan tradisional khas Kalimantan.

Ia senang bukan kepalang. Dalam acara itu ia bisa bersenang-senang dan makan banyak-banyak. YM sedang lahap makan, menggigit daging ayam dengan bersemangat, saat seorang perempuan mendatanginya dengan senyum terkembang. 

Mulutnya masih mengunyah saat perempuan itu sekonyong-konyong berkata, "Saya sedang mencari perempuan, untuk dinikahkan dengan pria Beijing," kata YM, menirukan ucapan perempuan yang ternyata mak comblang itu. 

"Nikah di Beijing?!," sahut YM, dengan nada tinggi, saat perempuan itu bertanya apakah ia tertarik. 

"Saya kaget lah, masa orang Beijing mau nikah sama orang Indonesia, kan tidak mungkin, jauh banget," kata YM.

Namun mak comblang terus memberinya iming-iming. "Kalau nikah sama orang Tiongkok itu hidupnya lebih baik karena orang Tiongkok itu tidak ada yang miskin, orang kaya semua," itu yang dikatakan perantara jodoh itu. 

Kata mak comblang, pria-pria China yang tengah mencari istri itu semuanya mapan. Kerja kantoran.

YM tak langsung percaya. Masa sedang makan ditawari jodoh. Sang mak comblang meminta kontak perempuan itu dan berlalu, dengan janji akan menghubunginya kembali. 

YM pernah menikah sebelumnya. Pernikahannya diakhiri dengan perceraian. Perempuan 28 tahun berkulit cerah itu hanya sampai kelas 2 SD. Masih buta huruf, ia bekerja serabutan demi menghidupi anak semata wayangmya. 

"Pekerjaan sehari-hari saya tani, tidak ada pekerjaan tetap," kata YM. "Kadang ya bekerja di perusahaan sawit juga." 

Awalnya YM tak tertarik dengan tawaran menikah dengan orang China. Dia mencemaskan nasib anaknya. Takut tak diterima. 

Namun, si mak comblang mengatakan, calon suami dan keluarga akan menerimanya apa adanya. 

Konon, uang Rp 20 juta akan diberikan sebagai mahar. Tak hanya itu, uang Rp 5 juta per bulan akan dikirim tiap bulan ke pihak orangtua di kampung. YM pun luluh. 

Lewat perantaraan foto, ia memilih seorang pria yang disebut berusia 28 tahun. Sepantaran dengannya.

Berbekal sekoper baju, tanpa uang sepeser pun, YM pergi ke Jakarta untuk mengurus dokumen dan bertemu calon suaminya. Berdua, mereka terbang ke China. 

Di rumah calon mertua, YM merasa disambut baik. Mereka saling berkomunikasi, meski dengan bantuan Google Translate yang akan menerjemahkan suaranya. Perempuan buta huruf. Jangan huruf China, menulis dalam Bahasa Indonesia pun tak sanggup. 

Acara makan-makan kemudian digelar. Para tetangga datang dan memberi selamat. YM mengaku diminta mengenakan baju yang bagus.

"Saya didandani agar cantik, seperti artis," tutur YM kepada Liputan6.com

Namun, kehidupannya di Tiongkok tak jauh berbeda dengan di kampung halamannya. YM masih jadi petani, pergi ke ladang menanam jagung. Tak hanya itu, setelah empat bulan, ia disuruh bekerja membuat hiasan, bunga-bunga tiruan untuk menghias rumah. 

YM mengaku tak pernah mendapatkan uang dari hasil kerjanya itu. Yang membuatnya sedih, ia merasa tidak diperlakukan selayaknya istri.

"Tidak nikah di sana, hanya memuaskan nafsu saja," kata YM. "Kita sebagai robot. Kita bukan diperistri. Kami diperbudak."

YM mengaku, ia selalu berhubungan badan dengan terpaksa. Demi menghindari penyiksaan yang bakal diberikan jika menolak permintaan sang suami.

"Salah sedikit ditendang, dipukul," katanya. Ia juga mengaku pernah dipaksa tidur di luar tanpa diberikan selimut.

YM berkali-kali meminta pulang ke Indonesia. Namun, tiap kali melakukannya, ia selalu mendapat ancaman dan kekerasan dari pihak suami.

"Janjinya (mak comblang) enam bulan boleh pulang kalau tak betah. Setelah enam bulan, minta pulang malah diancam," lanjutnya.

Untuk bisa pulang, YM dituntut untuk mengembalikan uang 700 juta ke keluarga suami. Padahal, ia tidak mendapat uang sebanyak itu dari mak comblang. Ia hanya mendapat uang mahar yang masih dipotong untuk biaya pengurusan dokumen.


Nestapa Gadis Cantik Bernama MN

Monika, salah satu korban human trafficking atau perdagangan orang dengan modus pengantin pesanan. (Genantan Saputra)

MN menikah dengan orang China bukan karena uang. Itu keinginannya, untuk mendekat ke 'akar'. Namun, ketika mak comblang menawarinya untuk menikah dengan orang Tiongkok, perempuan berparas cantik itu sempat ragu. 

Perempuan 24 tahun itu takut. Ia belum pernah ke luar negeri. Namun, sang mak comblang tak menyerah meyakinkannya. 

"Enggak apa-apa, kamu tenang saja, ini aman," kata mak comblang yang ditirukan oleh MN lewat sambungan telepon pada Rabu, 24 Juli 2019. "Kalau kamu nikah sama mereka, kamu bisa pulang kalau misal tidak betah."

Mak comblang itu bahkan berjanji akan ikut ke China. "Di sana hidup enak, terjamin. Kamu mau kirim uang orangtua juga bisa," kata sang perantara.

MN diundang ke rumah mak comblang. Di sana ada dua pria China. Tapi, perempuan itu tak suka keduanya. 

Mak comblang kemudian membawa MN ke Singkawang, naik taksi. Ia hendak mempertemukan gadis rupawan itu dengan satu orang lagi yang lebih muda dibanding dua laki-laki sebelumnya.

Sesampainya di Singkawang, MN bertemu dengan pria Tiongkok berumur 27 tahun. Kali ini, MN kepincut. 

Pada hari itu juga, keduanya bertukar cincin. MN dirias, dipakaikan tiga gaun pengantin bergantian: warna putih, merah, hijau.

Untuk mahar, MN dijanjikan Rp 19 juta dengan 1 juta dipotong oleh mak comblang Jakarta.

"1 juta lagi untuk mak comblang Pontianak. Saya kasihkan sendiri. Bersihnya hanya Rp 17 juta," tutur MN.

MN, yang telah memiliki paspor, lebih cepat berangkat ke China. Ia hanya perlu mengurus visa yang diuruskan oleh mak comblang.

MN berangkat ke China pada 18 September 2018. Kali itu ia berangkat dari Jakarta menuju Beijing.

Sama dengan IP dan YM, ia harus menginap dulu di Beijing selama satu malam. Baru siang harinya ia dijemput oleh kedua mertuanya dengan taksi. Mobil itu melaju, menempuh perjalanan cukup jauh, hingga akhirnya berhenti di sebuah rumah yang berada di pegunungan.

"Waktu sampai di rumahnya, ada keluarga berdatangan. Mereka mengucapkan selamat," kata MN. Kali itu firasatnya sangat positif. Keluarga suaminya pun memperlakukan dengan baik selama empat bulan pertama. Selama itu MN hanya melakukan pekerjaan rumah tangga biasa, seperti menyapu, mengepel, serta mengupas kacang dan jagung.

Setelah empat bulan dilalui, keluarga pihak suami mulai menyuruhnya bekerja membuat hiasan.

"Ya merangkai bunga untuk pajangan, bunga sakura. Sekali datang banyak sekali," kata MN saat ditanya hiasan apa yang dia buat. "Disuruh cepat kerjakan, dikasih deadline," lanjutnya. MN tak pernah mendapat gaji dari pekerjaan itu. Upahnya, menurut MN, diambil oleh mertua.

Menyamar

MN mengaku mendapat kekerasan selama di China. Yang dilakukan oleh suami, maupun mertua. 

"Suami sering mukul, kalau tidak nurut. Kadang tendang-tendang barang kaca sampai pecah. Malam kadang saya memilih di luar," lanjutnya.

MN mengklaim pernah disuruh tidur selama dua malam di luar rumah, selama musim dingin. Kala itu ia hanya memakai baju tipis dan tidak diberi selimut.

"Badan sudah kayak es. Tangan dingin semua, gigi bergetar," katanya.

"Mertua juga sering marah-marah. Istirahat sebentar saja dimarahin. Tidak dikasih makan. Makanan disembunyikan ke ruangan lain dan dikunci," lanjutnya.

Tak kuat lagi, MN memberanikan diri meminta izin untuk pulang ke Indonesia. Permintaan itu ditanggapi dengan ancaman dari ibu mertua.

"Kalau kamu masih ingin pulang, kami akan mempekerjakan kamu dan mengambil keuntungan dari kamu," kata sang mertua yang ditirukan oleh MN.

Namun, MN terlalu tangguh untuk menyerah dengan keadaan. Ia nekat kabur ke kota dengan menaiki bus. Saat sampai di terminal, ia mencari taksi dan meminta diantar ke Beijing. Sayang, uangnya kurang sehingga MN hanya diantar ke kantor polisi.

MN berlindung di kantor polisi China selama tiga hari. Ia meminta menelepon KBRI, hingga akhirnya polisi Tiongkok mau membantunya mengambil paspor di rumah sang suami.

Kepolisian China berusaha dengan sungguh-sungguh, hingga dokumen MN sukses didapat pada hari ketiga.

Segera setelah mendapat paspor ia menghubungi SBMI melalui Facebook dan meminta dibantu pulang ke tanah air. SBMI menyanggupi, hingga akhirnya MN berhasil ke bandara. Menyamar dengan memakai jilbab.

Saat pemeriksaan, petugas imigrasi sempat mencurigainya. Nasib mujur berpihak pada MN. Ia dibantu oleh dua orang WNI yang kebetulan hendak pulang ke Surabaya.


Mengapa Wanita Indonesia Jadi Target?

Bapak Hariyanto, pimpinan Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI) saat ditemui di kantornya, Tebet Jakarta Selatan (Liputan6.com / Zulfikar Abubakar)

Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI) menjadi organisasi nirlaba yang paling vokal menguak kasus kawin pesanan ke China ini. Hingga Juli 2019, asosiasi itu telah menerima sebanyak 26 kasus -- yang terindikasi tindak pidana perdagangan orang (TPPO) bermodus pernikahan ke Tiongkok. Sebagian kasus dilaporkan oleh keluarga yang meminta bantuan.

"Ada yang kemudian dilaporkan langsung oleh keluarganya ada juga yang dilaporkan langsung oleh korbannya via online ... menggunakan media sosial yang ada," kata Ketua SBMI Hariyanto saat ditemui Liputan6.com pada 16 Juli 2019.

Dalam pelaporan, SBMI mengimbau korban mengirimkan bukti kekerasan.

"Pendokumentasian itu menjadi syarat wajib ya. Pendokumentasian itu bisa tertulis, bisa dokumen, bisa pernyataan tertulis, kemudian video-video pada saat terjadi pada saat pelecehan," terangnya.

Hariyanto juga sempat menuturkan daerah asal dari para korban. Sebanyak 14 orang berasal dari Kalimantan Barat, tujuh dari Jawa Barat, dua dari Tangerang, satu dari Jawa Timur, satu dari Jawa Tengah, dan satu lainnya merupakan warga DKI Jakarta. Dari kasus yang masuk ke SBMI tersebut, sebanyak tujuh korban sudah berhasil dipulangkan ke Indonesia, dua digagalkan saat berangkat, selebihnya masih dalam proses penanganan.

SBMI dalam sebuah rilis pada 16 Juli, secara eksplisit menduga kasus-kasus itu adalah TPPO.

"Dari kesaksian 26 korban TPPO bermodus pengantin pesanan diketahui mereka memiliki latar belakang ekonomi yang kurang mampu, korban KDRT (kekerasan malam rumah tangga) yang dilakukan oleh pasangannya, dan kesulitan dalam mengakses lapangan pekerjaan," demikian bunyi rilis SBMI yang diterima Liputan6.com.

Situasi itu disebut oleh SBMI sebagai faktor pendorong yang mengakibatkan para korban terjerat kasus kawin pesanan. Serikat buruh migran itu juga menyampaikan adanya pemalsuan dokumen dalam proses perekrutan.

"Korban tidak menyadari, dengan adanya pemalsuan dokumen pribadi, maka korban rentan dihapus sejarah hidupnya serta sudah menjadi korban TPPO," lanjut SBMI. 

Menurut SBMI, pihak suami membayar uang dalam jumlah besar pada agen, sekitar Rp 400 juta hingga Rp 700 juta. 

Memanfaatkan Kerentanan

Hariyanto juga menuturkan alasan mengapa wanita Indonesia, khususnya Kalimantan dan Jawa Barat menjadi sasaran. Menurutnya, hal itu tidak terlepas dari aspek fisik di mana mereka memiliki wajah yang mendekati oriental.

"Itu dibuktikan di beberapa kasus sebelumnya itu berasal dari Vietnam, Ukraina, yang juga berwajah oriental. Kemudian juga mulai merambah Indonesia," lanjut pimpinan SBMI itu.

Sementara itu, Hariyanto menuturkan, akar masalah kawin pesanan ini di samping kerentanan ekonomi juga karena faktor pendidikan dan sosial budaya.

"Artinya orang-orang yang di sana lebih mempercayai omongan mak comblang daripada curiga. Yang ketiga juga ada apa itu peran-peran sosial dan budaya di sana, karena kan siapa sih yang kemudian tidak mau dinikahkan dengan orang asing, orang kaya, kemudian mempunyai kedudukan yang lebin baik daripada mereka," jelas Hariyanto.

Dengan melihat permasalahan itu, SBMI mengatakan pemerintah Indonesia harus membuat pendekatan komprehensif untuk menangani kasus TPPO bermodus kawin pesanan. Hariyanto menyayangkan, saat ini penegakan hukum masih lemah.

"Pelaku-pelaku itu sudah teridentifikasi terkait dugaan TPPO dan sebagainya, ini tidak bisa dijerat dengan hukum dan undang-undang TPPO," katanya.

"Yang terpenting adalah bagaimana penegak hukum dalam kasus ini bisa menindak dengan baik sesuai dengan koridor hukum," lanjtnya sambil menambahkan dibutuhkannya sosialisasi yang efektif dan kreatif untuk mencegah kasus berulang di masa yang akan datang.


Dampak Kebijakan Satu Anak di China?

Salah seorang komisioner Komnas Perempuan, Bapak Thauefiek Zulbahary, saat ditemui di Jakarta (Liputan6.com / Ratu S.)

Senada dengan SBMI, Komnas Perempuan berkomitmen untuk berpihak dan mendukung korban kawin pesanan ke China.

Salah seorang Komisioner Komnas Perempuan, Thaufiek Zulbahary mengatakan penting untuk mengidentifikasi adanya unsur-unsur perdagangan manusia dalam praktik kawin pesanan ke Tiongkok itu.

Unsur yang dimaksud menurutnya terdapat tiga hal yakni proses, cara, dan tujuan. 

"Kita lihat ada proses perekrutan, pengangkutan, pengiriman, apa itu penampungan, dan lain-lain; dengan cara penggunaan iming-iming, bujuk rayu, penyalahgunaan posisi rentan untuk tujuan eksploitasi, baik itu eksploitasi tenaga kerja, eksploitasi seksual," kata Thaufiek saat ditemui Liputan6.com pada 23 Juli 2019.

Thaufiek berharap unsur perdagangan orang itu dapat diketahui oleh masyarakat umum.

"Nah, ketika masyarakat aware (peduli), dari individu-individu kemudian muncul kesadaran bersama; saya kira ini bisa menjadi dorongan untuk masyarakat ... menjadi radar di wilayah masing-masing jika terdapat indikator-indikator perdagangan orang," lanjutnya.

Selain akar masalah kawin pesanan yang telah dijelaskan SBMI, Thaufiek menjelaskan adanya faktor penarik yang menyebabkan kasus semacam ini terjadi.

"Salah satu faktor penariknya di China sendiri kebijakan satu anak itu, sehingga populasi perempuan di sana sedikit, sehingga ada tekanan tersendiri terhadap laki-laki untuk menikah lalu di satu sisi mereka kesulitan untuk menemukan pasangan. Di sinilah lahir para penghubung-penghubung, mak comblang," jelasnya.

Lebih Susah Ditangani

Lebih lanjut, Komnas Perempuan mengatakan kasus TPPO dengan modus kawin pesanan ini lebih susah ditangani.

"Orang mungkin lebih menyoroti soal modus eksploitasi seksual yang lain atau eksploitasi tenaga kerja atau perdagangan anak. Tapi untuk modus ini tidak terlalu diperhatikan," ujar Thaufiek. 

Selain itu, kasus ini juga telah dibungkus rapi seolah pernikahan biasa yang terlihat sebagai hak asasi manusia.

"Padahal kalau dilihat lebih jauh ada relasi kuasa di situ, ada bentuk-bentuk bujuk rayu, ada pemaksaan bahkan penipuan yang mungkin tidak bisa dielakkan karena posisi perempuan itu," lanjut Thaufiek.

Ia berharap petugas RT dan RW yang mengurus dokumen kawin, dapat semakin kurang jeli.

"Ketika mereka ngurus dokumen perkawinan dia harus punya sensitivitas untuk menilai ini pernikahan siapa yang nikah, ini bagaimana bisa sampai terjadi, bukan mau mencegah pernikahannya ya, tetapi berhati-hati apakah ini pernikahan biasa atau justru bagian dari indikasi TPPO," lanjut sumber yang sama.

Komnas Perempuan memiliki data yang terbatas soal TPPO dengan modus kawin pesanan. Menurut Thaufiek dari 158 kasus perdagangan orang pada 2018, mayoritas bermodus pembantu rumah tangga dan tenaga kerja migran.


Kemlu: Masalahnya Tak Sesederhana Itu

Gedung Pancasila. (Liputan6.com/Gempur M Surya)

Sementara itu, Kementerian Luar Negeri RI mengatakan masalah kawin pesanan ke China bukanlah sesederhana yang dibayangkan.

"Ada sudut pandang yang berbeda antara hukum Indonesia dengan apa yang dihadapi di Tiongkok," kata pelaksana tugas jubir Kemlu RI, Teuku Faizasyah saat ditemui dalam konferensi pers pada Jumat, 26 Juli 2019.

"Ketika mereka sudah mengikatkan diri dalam sebuah perkawinan, maka untuk pemulangan mereka tentunya harus sesuai izin dari suaminya," jelas Faizasyah.

Selain itu, ia juga mengatakan, WNI dan WN China telah menikah dengan berbagai dokumen yang mengesahkan pernikahan itu sendiri.

"Dokumen itu yang menjadi rujukan pihak Tiongkok untuk mengesahkan pernikahan itu. Memang tidak bisa hitam-putih dalam permasalahan ini," katanya 

"Namun, kalau terbukti ada satu penipuan, dengan demikian tentunya bisa dijadikan suatu dasar bagi perwakilan kita mengajukan upaya bantuan kekonsuleran dan itu sudah dilakukan oleh perwakilan kita," tandasnya.

Mengingat untuk memulangkan WNI terduga korban TPPO bermodus perjodohan, butuh izin suami, maka menurutnya Kemlu harus meyakinkan pihak China.

"Tantangan bagi kita adalah untuk memberikan penjelasan, meyakinkan pihak-pihak terkait di Tiongkok bahwa ada proses pelanggaran hukum dari sisi proses pernikahan itu sendiri. (Itu) menjadi dasar bagi kita memulangkan mereka ke Indonesia," kata Faizasyah.

Penyelesaian Harus Secara Kolektif

Kementerian Luar Negeri RI juga menyatakan, tidak bisa bekerja sendiri untuk menyelesaikan masalah kawin pesanan ke China.

"Kasus ini harus diselesaikan secara kolektif yang tidak hanya bertumpu dengan Kementerian Luar Negeri," kata Jubir Teuku Faizasyah.

"Sama dengan apa yang telah dilakukan Ibu Menlu dengan berangkat ke Pontianak memberikan pemahaman kepada semua pemangku kepentingan apakah itu pemerintah daerah, kepolisian, dinas-dinas yang ada di sana sehingga mereka bisa bersama-sama mengatasi hal ini," lanjut Faizasyah.

Menurutnya, kunjungan Menlu Retno Marsudi pada Kamis, 25 Juli 2019 ke Pontianak adalah upaya untuk membangun kesadaran terkait tindak perdagangan orang bermodus kawin pesanan.

Untuk diketahui, Menlu Retno Marsudi telah melakukan kunjungan ke Pontianak pada Kamis, 25 Juli 2019. Menlu mengadakan rapat koordinasi dengan Gubernur dan Kapolda Kalimantan Barat, Wali Kota Singkawang, serta Bupati Sambas beserta jajarannya.

Menlu secara khusus membahas upaya pencegahan kasus kawin pesanan, seperti keterangan tertulis Kementerian Luar Negeri RI.

Saat ditanya tindak lanjut dari kunjungan Menlu Retno ke Pontianak, Faizayah mengatakan selanjutnya akan berfokus dengan perwakilan RI di Beijing.

"Bagaimana kita bisa memfasilitasi mereka yang masih saat ini meminta bantuan kekonsuleran di Beijing. Nah itu yang sedang menjadi hal yang ditangani oleh perwakilan kita di Beijing saat ini," papar Faizasyah.

Adapun dalam konteks pemulangan para korban kawin pesanan dari China, menurut Faizasyah terdapat anggaran dana-dana sosial yang ada di masing-masing provinsi. "Itu bisa dimanfaatkan untuk pemulangan mereka," katanya.

Sebagai penutup, Faizasyah mengatakan, terdapat sekitar 18 WNI yang saat ini tengah berada di KBRI Beijing. Mereka diketahui lari dari suami.

Menlu RI Bertindak

Dalam menanggapi kasus kawin pesanan ke China ini, Menteri Luar Negeri RI Retno Marsudi dilaporkan telah memanggil Duta Besar Tiongkok untuk Indonesia Xiao Qian pada Selasa, 23 Juli 2019.

 

Menlu RI Dorong Penyelesaian Permasalahan Pengantin Pesanan dengan RRT (Sumber: Kementerian Luar Negeri RI)

Dalam kesempatan itu, Menlu memberikan persepsi Indonesia kasus kawin pesanan berpotensi dipandang sebagai Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO).

"Menteri sudah memanggil Dubes Tiongkok yang ada di Indonesia dan memberikan sisi pandang Indonesia berdasarkan persepsi adanya tindak TPPO," kata pelaksana tugas Juru Bicara Kemlu RI, Teuku Faizasyah, dalam konferensi pers di Jakarta, pada Jumat 26 Juli 2019.

Selain memanggi Dubes China, Retno juga melakukan pertemuan bilateral dengan Menlu Tiongkok Wang Yi di Bangkok, pada Selasa 30 Juli 2019. Salah satu hal yang dibahas, mengenai upaya bersama antara Indonesia dan China untuk menyelesaikan permasalahan kawin pesanan yang baru-baru ini meresahkan.

Menlu Retno menekankan, isu kawin pesanan tersebut penting untuk segera ditangani, seperti keterangan tertulis Kementerian Luar Negeri RI. Diplomat top Indonesia itu juga menyebut, upaya pencegahan sangat perlu dikukan agar tidak ada korban baru. 

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya