Liputan6.com, Jakarta Indonesia saat ini tengah dihadapi berbagai tantangan dalam peningkatan pertumbuhan ekonomi. Salah satu faktor yang paling mempengaruhi adalah berbagai sentimen dari luar negeri, mulai dari perang dagang AS-China hingga kekacauan di Hong Kong.
Dalam menghadapi ini, Presiden Joko Widodo (Jokowi) telah menginstruksikan kepada sejumlah menterinya untuk menjalankan berbagai strategi demi menjaga pertumbuhan ekonomi Indonesia yang pada tahun ini ditargetkan 5,3 persen.
Menteri Keuangan RI Sri Mulyani mengaku ada beberapa hal yang akan dilakukan pemerintah. Pertama, pemerintah akan gencar menarik investasi ke Indonesia.
"Kita harus meyakinkan bahwa pertumbuhan itu harus dipacu dari investasi. Oleh karena itu investasi yang bisa timbulkan capital inflow harus jadi salah satu tugas yang paling penting," kata Sri Mulyani di Istana Kepresidenan, Jakarta, Selasa (13/8/2019).
Baca Juga
Advertisement
Sri Mulyani menjelaskan, jika hal itu tidak dilakukan, maka bisa dipastikan mampu mempengaruhi laju pertumbuhan ekonomi Indonesia baik tahun ini atau tahun depan.
Setidaknya ada beberapa hal yang terpengaruh langsung dari sentimen global tersebut. Mulai dari nilai tukar rupiah terhadap dolar AS hingga Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG).
Selain investasi, kata Sri Mulyani, langkah selanjutnya adalah meningkatkan daya saing produk ekspor Indonesia.
"Kemudian bagaimana kita tetap memperbaiki daya kompetisi kita. Supaya kemudian kita tidak terlalau mudah terombang-ambing dengan perubahan lingkungan," pungkas dia.
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
Pelemahan Yuan Belum Pengaruhi Ekspor Indonesia ke China
Yuan atau mata uang China kian melemah terhadap Dolar AS (USD) sebagai imbas dari adanya perang dagang. Namun Bank Indonesia (BI) menilai kondisi ini tidak akan menggerus kinerja ekspor RI ke negeri Tirai Bambu tersebut.
Deputi Gubernur BI, Dody Budi Waluyo menyebutkan devaluasi Yuan tidak menggerus nilai ekspor RI. Namun tetap harus dilakukan berbagai upaya menjaga kinerja ekspor, yaitu menjaga volume permintaan serta memperluasan jangkauan pasar ekspor.
"Kita tidak terpengaruh banyak dari sisi (devaluasi) Yuan, karena porsi kita bukan ditentukan dari sisi nilai tukar," kata dia, di Gedung BI, Jakarta, Senin (12/8/2019).
Dody melanjutkan, secara jangka pendek mata uang Yuan yang terdevaluasi tidak akan berpengaruh terhadap perdagangan mancanegara Indonesia. Dia menyebutkan faktor yang akan sangat berpengaruh adalah jika terjadi pelemahan permintaan, atau menurunnya kualitas barang ekspor Indonesia.
"Transaksi ekpsor dalam jangka pendek tidak terkait banyak dengan devaluasi Yuan, tapi lebih ke permintaan dan kualitas," ujarnya.
Oleh karena itu, dia menegaskan saat ini pemerintah Indonesia tengah berupaya untuk menggenjot ekspor dengan perluasan pasar termasuk melalui upaya peningkatan perdagangan bilateral. Kontraksi kinerja eskpor selama kuartal II 2019 telah memperlambat pertumbuhan ekonomi Indonesia.
Sebagai informasi, pada kuartal II 2019 pertumbuhan ekspor tercatat minus 1,81 persen (yoy), padahal pada kuartal II 2018 ekspor masih tumbuh 7,65 persen (yoy).
Advertisement
Perang Dagang Bikin Pertumbuhan Ekonomi Makin Berat
Badan Pusat Statistik melaporkan pertumbuhan ekonomi Indonesia mencapai 5,05 persen pada kuartal II 2019. Angka ini jauh lebih rendah dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu yang sebesar 5,27 persen.
Kepala BPS Suhariyanto mengatakan, tantangan perekonomian Indonesia ke depan tidak mudah. Lantaran, tak hanya Indonesia saja yang tercatat mengalami perlambatan kinerja perekonomian, beberapa negara lain yang telah merilis data pertumbuhan ekonomi pun mengalami hal serupa.
"Tantangan ke depan enggak gampang. Kalau dilihat pertumbuhan ekonomi negara-negara lain yang sudah rilis menunjukkan perlambatan. Pekan depan banyak sekali negara yang akan rilis dan prediksinya juga mengalami perlambatan," ujarnya di Jakarta, Senin (5/8/2019).
Dia merinci, beberapa negara mitra dagang utama Indonesia seperti China yang merupakan negara tujuan ekspor utama mencatat perlambatan pertumbuhan ekonomi dari 6,7 persen di kuartal II 2019 menjadi 6,2 persen di kuartal II 2018.
Adapun untuk Amerika Serikat mengalami perlambatan pertumbuhan ekonomi dari 3,2 persen di kuartal II 2018 jadi 2,3 persen di kuartal II 2019.
"Demikian juga dengan Singapura yang turun tajam dari 4,2 persen di kuartal II 2019 menjadi hanya 0,1 persen di kuartal II 2019," ujar Suhariyanto.