Neraca Dagang Indonesia Defisit USD 63,5 Juta di Juli 2019

BPS melaporkan neraca perdagangan Indonesia mencapai USD 63,5 juta

oleh Liputan6.com diperbarui 15 Agu 2019, 11:53 WIB
Aktivitas bongkar muat peti kemas di Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta, Jumat (25/5). Kenaikan impor dari 14,46 miliar dolar AS pada Maret 2018 menjadi 16,09 miliar dolar AS (month-to-month). (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Liputan6.com, Jakarta Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat neraca perdagangan Indonesia pada Juli 2019 defisit sebesar USD 63,5 juta. Defisit tersebut disumbang oleh defisit sektor migas sebesar USD 142,4 juta sedangkan sektor nonmigas surplus USD 78,9 juta.

"Dengan ekspor sebesar USD 15,45 miliar dan impor USD 15,51 miliar, maka defisit sekitar USD 0,06 miliar atau USD 63,5 juta," ujar Kepala BPS Suhariyanto di Kantor Pusat BPS, Jakarta, Kamis (15/8/2019).

Suhariyanto mengatakan, sepanjang Januari hingga Juli neraca perdagangan Indonesia mengalami defisit sebesar USD 1,9 miliar. Sementara jika dibandingkan tahun lalu defisit menurun karena tahun lalu defisit necara perdagangan Indonesia lebih besar sekitar USD 3,2 miliar.

"Kalau dibandingkan dengan defisit Januari sampai Juli ini masih mengecil jika dibandingkan dengan 2018 menipis dibanding tahun lalu penyebab utamanya hasil minyak dan minyak mentah," jelas Kepala BPS.

Adapun neraca perdagangan Indonesia masih surplus terhadap Amerika Serikat sebesar USD 5,1 miliar serta kepada India dan juga belanda. Untuk Tiongkok neraca perdagangan Indonesia defisit cukup besar sekitar 11,05 miliar.

"Neraca perdagangan non migas indo masih suprlus ke berbagai negara terhadap AS masih tinggi 5,1 miliar semoga ini tidak diperhatikan Presidennya. Kemudian juga India dan Belanda. Ada juga negara neraca perdagangan kita defisit seperti Australia, Thailand. Tiongkok jadi lebih dalam sekali USD 11,05 miliar dari tahun lalu USD 10,33 miliar," tandasnya.

Reporter: Anggun P. Situmorang

Sumber: Merdeka.com

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:


BPS Catat Inflasi Juli 2019 Sebesar 0,31 Persen

Pedagang merapikan barang dagangannya di Tebet, Jakarta, Senin (3/10). Secara umum, bahan makanan deflasi tapi ada kenaikan cabai merah sehingga peranannya mengalami inflasi. (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat inflasi selama bulan Juli 2019 sebesar 0,31 persen, angka ini lebih rendah dibanding Juni 2019 di 0,55 persen. Sementara Untuk inflasi tahun kalender Januari-Juli 2019 mencapai 2,36 persen, sedangkan inflasi tahun ke tahun sebesar 3,32 persen.

"Kalau kita liat perkemabangan harga berbagai komoditas menunjukan adanya kenaikan dari pemantauan BPS di 82 kota. Inflasi pada Juli 2019 terjadi inflasi sebesar 0,31 persen," kata Kepala BPS, Suhariyantodia di Kantornya Jakarta, Kamis (1/8).

Dia mengungkapkan, dari 82 kota IHK yang dilakukan pemantauan, sebanyak 55 kota mengalami inflasi. Sedangkan 27 kota mengalami deflasi. Inflasi tertinggi dialami di Sibolga sebesar 1,88 persen, sedangkan terendah yaitu Makasar sebesar 0,01 persen.

Sementara untuk deflasi tertinggi dialami Tual sebesar -1,55 persen dan deflasi terendah di Gorontalo -0,02 persen. "Dengan perhatikan inflasi ini masih berada di bawah target pemerintah. Ini termasuk kendali karena berbagai program yang dilakukan pemerintah," pungkasnya.

Sebelumnya, Bank Indonesia (BI) memperkirakan inflasi selama Juli 2019 akan mencapai 0,23 persen secara bulanan (mtm) dan 3,23 persen secara tahunan (yoy). Hal ini berdasarkan survei pemantauan harga (SPH) yang rutin dilakukan oleh BI.

Gubernur BI, Perry Warjiyo, mengatakan inflasi bulan ini lebih disebabkan oleh tingginya harga cabai rawit di pasaran. Adapun total andil cabai rawit ke inflasi mencapai 0,12 persen.

"Inflasi berdasarkan SPH minggu keempat kita perkirakan Juli ini inflasi 0,23 (mtm), kalau dihitung 3,23 persen (yoy). Komoditasnya bulan ini cabai rawit 0,12 persen," kata dia, di Mesjid Komplek Gedung BI, Jakarta, Jumat (26/7).

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya