Liputan6.com, Garut - Bagi masyarakat Garut, Jawa Barat, pertempuran sengit di Lembah Kubang, atau yang biasa disebut pertempuran Kubang, adalah bukti nyata kecintaan masyarakat kota dodol, terhadap Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Dengan peralatan seadanya yang terbuat dari bambu runcing, daratan rendah di persimpangan jalan kecamatan Tarogong Kaler itu, seolah menjadi saksi bisu aksi heroik ratusan warga Garut, dalam upaya pengadangan serdadu Jepang.
Mereka menolak rencana kedatangan tentara Jepang itu dan lebih memilih mati syahid di medan pertempuran untuk memperjuangkan kemerdekaan.
"Total ada sekitar 37 orang yang gugur dalam pertempuran itu," ujar Ubun Sjahbun (80), salah seorang sejarawan lokal Garut, dalam obrolan hangatnya dengan Liputan6.com, Kamis (15/8/2019) sore.
Baca Juga
Advertisement
Menurutya, pertempuran Kubang terbilang istimewa bagi masyarakat Garut. Berbekal senjata golok dan bambu runcing, mereka mampu memberikan perlawanan sengit bagi tentara negeri sakura Jepang.
"Bayangkan saja bambu harus melawan tank lengkap," kata dia.
Meskipun banyak korban dari pihak pribumi, akhirnya setelah melakukan pertempuran sengit hampir dua pekan, tentara Jepang angkat kaki dari bumi Parahyangan.
"Memang banyak faktor, salah satunya karena sekutu juga mulai memasuki Garut," kata dia.
Pemicu Pertempuran
Sekretaris Dewan Harian Cabang Angkatan 45 Garut mengatakan, pertempuran Kubang dipicu terbunuhnya 60 tentara Jepang yang berjaga di Garut Shuko Kusho atau Pabrik Tenuh Garut (PTG) oleh pejuang lokal Garut.
"Kejadiannya sekitar tanggal 10 Oktober 1945," kata dia.
Menurutnya, informasi proklamasi Kemerdekaan Indonesia yang dibacakan Sukarno-Hatta di Jakarta, sudah tersebar luas hingga pelosok, sehingga Jepang mengakui kemerdekaan itu.
"Mereka sebenarnya sudah menyerahkan diri, termasuk seluruh senjatanya sudah diserahkan," kata dia.
Namun, nafsu balas dendam yang sudah di ubun kepala, menutup hati nurani warga, hingga akhirnya membunuh sekitar 60 pasukan Jepang yang berjaga, di salah satu pabrik tenun terbesar di Asia, pada masanya itu.
"Istilahnya warga ingin balas dendam atas kekejaman dan kekejian Jepang saat berkuasa," kata dia.
Setelah informasi pembunuhan menyebar, termasuk sampai pula ke telinga petinggi pasukan Jepang di Bandung, membuat mereka murka.
Bak gayung bersambut, rencana aksi balasan pun dua hari setelahnya, atau pada 12 Oktober 1945, disusun mereka untuk menyerang penduduk Garut.
"Akhirnya setelah ada informasi itu (serangan Jepang), pejuang yang dikomandoi Suherman langsung mengumpulkan pemuda untuk mengadang di daerah Kubang (sekarang wilayah Tanjung)," kata dia.
Advertisement
Pertempuran Kubang
Mendengar rencana pembalasan yang dilakukan Jepang, para pejuang muda yang dikomandoi Suherman, Salman, Adung, dan Suganda, langsung melakukan strategi pengadangan terhadap kedatangan serdadu Jepang.
"Mereka semuanya merupakan anggota BKR dengan latar belakang yang berbeda," kata dia.
Awalnya, rencana penyergapan bakal dilakukan di beberapa tempat, tetapi melihat letak yang stategis, akhirnya dipilihlah kawasan Kubang (sekarang Tanjung) untuk mengadang kedatangan pasukan Jepang.
"Alasannya di lokasi itu kiri-kanannya ada kubang (kolam besar) dengan latar belakang bukit, serta pohon juar yang bisa dijadikan barikade pengadangan," kata dia.
Setelah rencana itu matang, kemudian Suherman mendatangi Bahruddin dan Syakur selaku pemilik lahan dan pohon juar, yang akan dijadikan lokasi pengadangan.
"Rupanya bukan saja mengizinkan, tapi kedua orang terpandang itu pun turun langsung ikut melakukan penghadangan bersama pejuang lainnya," ujar dia.
Akhirnya dengan peralatan seadanya, sekitar 100 pemuda gabungan dari beberapa kampung di wilayah kecamatan Tarogong Kaler, siap melakukan perlawanan.
"Intinya semangat, sebab jika berbicara alat sangat sederhana hanya golok, bambu runcing, dan beberapa senjata laras panjang Arisaka, warisan rampasan Jepang," kata dia.
Perang pun dimulai, tepat sekitar pukul 14.15 WIB Jumat siang, ratusan tentara Jepang dengan mengendarai 57 kendaraan, termasuk 15 tank mulai memasuki Garut.
"Para pejuang yang dikomandoi Suherman telah siap di posisinya masing-masing melakukan penyerangan," kata dia.
Namun, dengan taktik yang terbilang lemah, rencana penyerangan sudah terbaca dengan baik pihak musuh. "Mulanya satu bom batok untuk menghancurkan Jepang gagal tidak sesuai harapan memecah belah pasukan Jepang," kata dia.
Melihat kondisi itu, tentara Jepang langsung mengambil kendali, dengan melakukan serangan terhadap para pejuang dari penduduk lokal.
"Persenjataan mereka cukup maju, akhirnya kita kalah dengan banyaknya korban berjatuhan dari pribumi," Ubun menambahkan.
Tercatat dalam pertempuran sekitar dua jam itu, sebanyak 37 nyawa pejuang melayang untuk mempertahankan Kemerdekaan Indonesia.
"Sebenarnya yang di lokasi hanya meninggal 20 orang, namun sisanya ada yang meninggal hari berikutnya, kemudian minggu berikutnya hingga hitungan bulan," papar dia.
Perundingan Damai
Membawa angin segar memenangi pertempuran di wilayah Kubang, tentara Jepang yang telah merengsek masuk wilayah Kota Garut, kembali terjadi kontak senjata di sekitar Haurpanggung.
"Total ada 13 orang pejuang pribumi meninggal dunia," kata dia.
Melihat kekejaman itu, Bupati Garut Kalih Wiraatmadja turun tangan melakukan genjatan senjata dengan pihak Jepang, mengakhiri pertempuran. "Dari pihak Jepang diwakili Kolonel Akano dari Bandung," kata dia.
Hasilnya, kedua belah pihak sepakat melakukan genjatan senjata dan berkomitmen menjaga ketertiban di wilayah Garut dan sekitarnya. "Pihak Jepang pun akhirnya boleh mengambil alih PTG," ujarnya.
Namun, sebuah kebusukan dilakukan tentara Jepang, tepat pada 19 Oktober 1945. Saat itu, mereka sengaja membuat taktik jahat, sebagai balasan terhadap kematian rekannya di dalam pabrik.
"Mereka berteriak Indonesia ambil kain di gudang," kata dia menirukan ungkapan tentara Jepang saat itu.
Melihat kesempatan itu, puluhan masyarakat Garut, langsung berebut berdesakan mengambil kain, hingga tanpa sadar mereka mengunci pintu gudang untuk sejurus kemudian membakarnya.
"Puluhan meninggal sia-sia, sementara pasukan Jepang melarikan diri," kata dia.
Advertisement
Jepang Angkat Kaki
Akibat kejadian itu, sontak mematik amarah rakyat Garut, pertempuran pun kembali terjadi. "Warga mulai berhitung, sebab peralatan Jepang masih kuat," kata dia.
Bantuan pasukan pun mulai berdatangan untuk membantu pejuang kota Garut. "Ada yang dari Yogyakarta, Semarang, Blitar, dan Surabaya," ujarnya.
Akhirnya setelah mendapat sokongan pasukan pejuang dari luar kota, perlawanan pun semakin sengit terhadap pertahanan tentara Jepang.
"Mereka mulai lemah, karena pasokan logistik dan bahan makanan sudah jauh berkurang," kata dia.
Di tengah situasi terdesak itu, tepat pukul 08.00 pagi pada 26 Oktober 1945, pasukan Jepang akhirnya menyerah mengakui kekalahan dari rakyat Garut.
"Banyak pasukan kita yang gugur akibat pertempuran itu," kata dia.
Para pasukan dari luar yang gugur di medan pertempuran, diberangkatkan menggunakan kereta api, sementara jenazah pejuang lokal dimakamkan di Garut.
Meskipun demikian, pasukan tentara Jepang yang tersisa, tidak langsung meninggalkan Garut, hingga akhirnya pasukan sekutu melucuti persenjataan mereka.
"Jepang akhirnya meninggalkan Garut pada awal November," dia menandaskan.
Simak video pilihan berikut ini: