Ketua DPD Dorong Pembangunan PLTN di Kalimantan Barat

Pembangunan PLTN juga merupakan langkah strategis yang sejalan dengan upaya pemerintah, dalam melakukan ekspor sumber daya alam dalam bentuk produk setengah jadi atau produk jadi.

oleh Pebrianto Eko Wicaksono diperbarui 16 Agu 2019, 11:31 WIB
Ketua DPD Oesman Sapta Odang memberikan sambutan saat acara buka puasa bersama di Jakarta, Rabu (14/5/2019). Acara buka puasa tersebut dihadiri sejumlah tokoh-tokoh dan petinggi partai politik. (Liputan6.com/Johan Tallo)

Liputan6.com, Jakarta - Ketua DPD RI Oesman Sapta Odang mendorong Pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) di Kalimantan Barat. Hal ini untuk memperkuat ketahanan energi dan menarik minat investasi dengan menyediakan pasokan listrik yang handal.

Oesman mengatakan, membangun kedaulatan energi harus terus diupayakan, Di sisi lain, kenaikan harga minyak selama 8 tahun terakhir harus dijadikan pendorong untuk menyediakan energi alternatif, salah satunya dengan membangun PLTN.

"Kenaikan harga minyak telah menyadarkan kita, tentang perlunya mengembangkan energi alternatif, dalam hal ini pembangunan Pembangkit Tenaga Nuklir," kata Oesman, dalam pidato Sidang Bersam DPR-DPD, di Gedung DPR, Jakarta, Jumat (16/8/2019).

Untuk itu, DPD mendukung pembangunan PLTN di Kabupaten Bengkayang Provinsi Kalimantan Barat dan Kabupaten Kota lain di Indonesia. Hal ini sesuai dengan hasil kajian dan riset Tim Penyiapan Pembangunan PLTN dan komersialisasinya, bahwa Kabupaten Bengkayang layak untuk dijadikan percontohan.

"Bahkan hasil riset menyatakan 87 persen masyarakat Provinsi Kalimantan Barat setuju pembangunan PLTN tersebut, guna mendukung industrialisasi dan mensejahterakan masyarakat," lanjutnya

Menurut Oesman, Energi Baru dan Terbarukan bukan saja memberikan manfaat yang besar bagi masyarakat dan industri saja. Lebih dari itu, hal tersebut juga membuka peluang investasi jangka panjang di Indonesia.

Selain itu, pembangunan PLTN juga merupakan langkah strategis yang sejalan dengan upaya pemerintah, dalam melakukan ekspor sumber daya alam dalam bentuk produk setengah jadi atau produk jadi.

"Sebagai contoh, rencana pengembangan bauksit menjadi alumunium di Kalimantan Barat memerlukan energi skala besar, stabil, murah, dan bebas polusi. Hal tersebut hanya akan dapat dipenuhi jika kita membangun energi baru dan terbarukan melalui Pembangkit Tenaga Nuklir dan mengakhiri secara bertahap penggunaan energi fosil," tandasnya.


RI Belum Butuh PLTN hingga 2050

Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) Novovoronezh adalah pembangkit pertama di dunia yang memiliki fasilitas reaktor water cooled dan water-moderated di dunia, yang terletak di Kota Boronez, Rusia. (Liputan6.com/Nurmayanti)

Sebelumnya, penggunaan nuklir sebagai energi primer Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) dinilai belum menjadi prioritas. Banyak pertimbangan yang harus dilakukan pemerintah agar proyek ini tidak menimbulkan dampak lingkungan dan risiko kecelakaan serta besarnya biaya rehabilitasi jika terjadi kecelakaan.

Pengamat dan praktisi energi, Herman Darnell mengatakan, hasil studi dan analisis yang dilakukan, Indonesia dinilai belum perlu membangun PLTN hingga 2050 untuk memenuhi kebutuhan energi nasional.

Menurut dia, ada beberapa alasan PLTN belum perlu dibangun. Pertama, biaya investasi yang sangat mahal. Sementara saat ini, Indonesia masih bergantung pada utang untuk memenuhi pembangunan infrastruktur, termasuk di ketenagalistrikan. 

“Kedua, biaya listrik yang dihasilkan PLTN lebih mahal listrik produksi PLTU atau PLTGU (gas),” ujar dia dalam keterangan tertulis di Jakarta, Jumat (19/10/2018).

Alasan ketiga, kata Herman, masih banyak sumber energi di Indonesia yang bisa dimanfaatkan dengan maksimal seperti gas dan panas bumi. Menurutnya, saat ini pemanfaatan kedua sumber energi tersebut belum maksimal.

Yang keempat, Indonesia terletak di Ring of Fire yang rawan terjadi bencana alam, sehingga penggunaan PLTN berisiko tinggi.

“Terakhir, kalau terjadi kecelakaan akan menyebabkan kelumpuhan ekonomi dan berpotensi kebangkrutan negara,” ungkap dia.

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya