Liputan6.com, Jakarta - Sejumlah tokoh masyarakat adat tiga kecamatan yaitu Sipirok, Marancar, dan Batangtoru (Simarboru), Kabupaten Tapanuli Selatan, Sumatera Utara, menyatakan dukungannya terhadap pembangunan pembangkit listrik energi terbarukan PLTA Batang Toru.
Dukungan tersebut disuarakan dalam aksi damai di depan Kedutaan Besar Kerajaan Inggris dan Kedutaan Besar Kerajaan Belanda, Jakarta, Kamis.
Baca Juga
Advertisement
Raja Adat Marancar Baginda Kali Rajo Yusuf Siregar mengatakan, masyarakat mendukung PLTA Batang Toru karena sangat membutuhkan pasokan listrik. Masyarakat meyakini, dengan pasokan listrik yang stabil sepanjang waktu, kesejahteraan masyarakat bisa meningkat.
“Masyarakat kami bisa bekerja pada malam hari menenun sehingga penghasilan pun bertambah. Anak-anak pun bisa belajar saat malam hari,” katanya dikutip dari Antara, Jumat (16/8/2019).
Apalagi, tambah Yusuf, listrik yang dihasilkan dari Proyek Strategis Nasional (PSN) Pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla, itu, merupakan listrik terbarukan yang bersih dan berkelanjutan.
PLTA Batang Toru merupakan bagian dari proyek penyediaan listrik 35.000 MW.
Saat beroperasi pada 2022 nanti, PLTA Batang Toru bisa menghemat penggunaan bahan bakar fosil impor lebih dari Rp5 triliun per tahun dan menahan pelepasan emisi gas rumah kaca penyebab bencana pemanasan global sebanyak 1,6 juta ton setara karbondioksida per tahun.
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
Pembangunan Proyek PLTA Batang Toru Selesai 2022
PT North Sumatera Hydro Energy (NSHE) menegaskan komitmennya untuk menyelesaikan pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga air (PLTA) Batang Toru, Sumatera Utara, mengingat pentingnya proyek ini dalam pengembangan Energi Baru dan Terbarukan (EBT).
Perseroan berkeinginan menjadikan PLTA Batang Toru sebagai contoh bagi pengembangan pembangkit listrik yang berkonsep pelestarian lingkungan.
Senior Advisor NSHE Agus Djoko Ismanto mengatakan, pembangunan PLTA ini merupakan bentuk komitmen Indonesia dalam mengatasi isu perubahan iklim, sesuai dengan upaya Pemerintah RI dalam meratifikasi Kesepakatan Paris melalui penerbitan Undang-Undang Nomor 16 tahun 2016.
"Contoh sederhananya, ketika terjadi perubahan musim maka (siklus) pembungaan berubah. Serangga tidak siap, dan efeknya akan terus berkembang. Ketika tidak ada pembungaan tidak ada makanan, itu persoalan global," ujar dia di Graha Niaga, Jakarta, Jumat (28/9/2018).
Selain mengatasi perubahan iklim, ia melanjutkan, Indonesia pada beberapa tahun mendatang akan berhadapan dengan krisis listrik.
"Pemanfaatan listrik di masyarakat kita terus berkembang. Artinya kebutuhan listrik bukan linear lagi, tapi dengan grafik yang sangat cepat. Artinya, membangun PLTA akan menjawab persoalan tadi," imbau dia.
Total lahan yang digunakan untuk tapak struktur bangunan PLTA Batang Toru sebesar 121 hektare (ha), dengan rincian luas bangunan 55 ha dan area genangan 66 ha. Luas lahan yang dipergunakan tersebut hanya 0,07 persen dari keseluruhan kawasan ekosistem Batang Toru yang mencapai 163 ribu ha.
Dia juga mengungkapkan, PLTA Batang Toru merupakan PLTA pertama yang menggunakan equator principles, yaitu manajemen risiko yang mencakup dampak sosial lingkungan dengan standar internasional di samping menjalankan Amdal.
Dengan dibangunnya PLTA Batang Toru, Agus menyatakan, akan mampu ikut berkontribusi dalam mengurangi emisi karbon atau efek gas rumah kaca sebanyak 1,6 juta metrik ton.
"Hal ini kami lakukan supaya keberadaan proyek PLTA Batang Toru benar-benar tidak berdampak negatif terhadap lingkungan, termasuk kehidupan masyarakat sekitar dan orangutan. Lokasi PLTA Batang Toru sebenarnya berada dalam area penggunaan lain dan bukan hutan," tutur Agus.
Advertisement
RI Pacu Proyek Pembangkit Listrik Ramah Lingkungan
Salah satu upaya Indonesia mencapai target pengurangan emisi gas rumah kaca adalah melalui pembangunan pembangkit listrik ramah lingkungan. Salah satunya keberadaan pembangkit listrik berbasis energi baru dan terbarukan (EBT) seperti tenaga air (PLTA) dan biomassa (PLTBm).
“Saat ini bauran energi pembangkit listrik memang masih didominasi batubara yang boros emisi GRK,” kata Direktur Teknik dan Lingkungan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Munir Ahmad mengutip laman Antara, seperti dikutip Rabu (15/8/2018).
Bauran energi pembangkitan listrik pada 2017, tercatat jika kontribusi EBT sebesar 12,52 persen. Sementara dalam rencana umum penyediaan tenaga listrik (RUPTL) 2018-2027, kontribusi EBT dalam bauran energi pembangkitan tenaga listrik ditarget naik mencapai 23 persen pada tahun 2025.
Menurut Munir, PLTA khususnya yang bertipe peaker bisa dikembangkan untuk memenuhi kebutuhan listik dan meminimalkan penggunaan pembangkit berbahan bakar minyak (BBM) pada saat beban puncak.
Salah satu PLTA tipe peaker yang kini sedang dikembangkan adalah PLTA Batang Toru di Tapanuli Selatan yang berkapasitas 4x127,5 MW. PLTA Batang Toru akan memanfaatkan kolam penampung yang tidak luas sehingga tidak akan mengubah bentang alam dan berdampak minimal pada ekosistem yang ada di sekitarnya.
Munir menambahkan, pembangkit listrik berbasis batubara memang masih akan dimanfaatkan namun harus menerapkan teknologi batubara bersih yang lebih rendah emisi GRK terutama pada pembangkit yang sudah mapan seperti di Jawa-Bali. “Ke depan, pembangkit batubara berteknologi lama tidak boleh lagi beroperasi,” katanya.
Sebagai informasi, pada konferensi perubahan iklim di Paris, Perancis tahun 2015, Presiden Joko Widodo menyatakan komitmen untuk mengurangi emisi GRK sebanyak 29 persen dengan upaya sendiri atau 41 persen dengan dukungan Internasional.
Komitmen itu dituangkan dalam dokumen kontribusi Nasional yang diniatkan (Nationally Determined Contributions/NDC) yang menjadi bagian dari traktak pengendalian perubahan iklim global, Persetujuan Paris. Dari target sebanyak 29 persen tersebut, sektor energi berkontribusi sebesar 11 persen.