Liputan6.com, Garut - Di antara deretan ratusan pusara pejuang kemerdekaan Indonesia di Taman Makam Pahlawan Tenjolaya, Garut, Jawa Barat. Ada tiga nama pahlawan asing bersemayang di sana.
Menggunakan nisam dari batu alam marmer, berderet nama Komarudin, Abu Bakar, dan Usman. Ketiga nama itu merupakan para pembelot dari tentara Korea Selatan dan Jepang, menjadi pejuang Kemerdekaan Indonesia.
Nama pertama, merupakan pejuang asal Korea Selatan dengan nama asli Yang Chil Sung, kemudian berganti menjadi Yanagawa Sichisci, sebelum akhirnya menjadi Komarudin, untuk menyamarkan identitas saat perjuangan.
Yang, merupakan ahli perakit bom asal negeri gingseng, sengaja dibawa serdadu Jepang yang menguasai wilayah Korea saat itu, untuk membantu pasukan mereka saat menjajah Indonesia periode 1942-1945 silam.
Semula Yang ditugasi menjadi sipir rumah tahanan di Bandung, namun setelah Jepang menyerah kepada sekutu 1945, ia bersama Hasegawa dan Masashiro Aoki lebih memilih menetap di Indonesia, tepatnya di Garut membatu perjuangan kemerdekaan rakyat pribumi.
Baca Juga
Advertisement
Tentara kolonial Jepang yang saat itu sudah cukup mengenal Garut, melalui penguasaan penuh salah satu sendi ekonomi rakyat saat itu, Shuko Kusho atau Pabrik Tenun Garut (PTG), merasa sudah menjadi rumah kedua, bagi pejuang dari dua negara Asia Timur itu.
Sementara Abu Bakar, merupakan nama baru dari Hasegawa, serta Usman yang berasal dari Masashiro Aoki, dua prajurit asli didikan Jepang yang terkenal jago taktik perang, bekas tentara yang digodok matang dalam satu komando PETA.
Ubun Sjahbun, 80 tahun, salah satu sejarawan lokal Garut mengatakan, kiprah ketiga pejuang naturalisasi dari Korea Selatan dan Jepang itu, merupakan anugerah bagi pejuang Garut, dalam ihtiarnya menghadapi gempuran serangan Belanda.
“Ketiga jago dalam medan pertempuran terutama soal siasat perang dan merakit bom,” ujarnya dalam obrolan hangatnya dengan Liputan6.com, Kamis (15/8/2019) lalu.
Menurut Ubun, upaya ketiga pejuang bekas tentara Jepang-Korea Selatan itu menjadi bagian warga Garut bukanlah perkara mudah.
“Sebab warga Garut kan tahu bagaimana kekejaman Jepang terutama kepada pegawai TPG saat itu,” kata dia.
Awalnya mereka mendapat penolakan, namun keahliannya yang begitu menonjol dalam hal perakitan bom, serta siasat dan taktik perang, akhirnya diterima dengan baik oleh pejuang.
“Belanda kerap kesulitan menaklukan pejuang pribumi karena andil besarnya ketiga pasukan Jepang dan Korea itu,” ujarnya.
Latar Belakang Bergabungnya Mereka
Bergabungnya ketiga pejuang Jepang dan Korea Selatan dalam proses perjuangan Kemerdekaan Indonesia, dimulai saat pertempuran Bandung 1946.
Saat itu, Pasukan Pangeran Papak (PPP) yang bermarkas di Kecamatan Wanaraja, berhasil menawan lima tentara Jepang. “Salah satunya Yang atau Komarudin yang berasal dari Korea Selatan tadi,” ujar dia.
Awalnya mereka akan dibunuh, namun dengan perhitungan matang, akhirnya Mayor Saud Mustofa Kosasih, selaku Komandan PPP saat itu, menolak ide itu.
“Selain soal kemanusiaan, orang asing ini pasti bermanfaat buat pasukan,” ujar Basroni Kosasih, salah seorang putra Mayor Kosasih, menjelaskan dalam buku 100 Tokoh Garut.
Mereka kemudian dibawa ke wilayah Kecamatan Wanaraja, basis pasukan PPP berkuasa. Semula penduduk sekitar, termasuk pejuang lokal menolak kehadiran mereka.
Mengingat sebelumnya, sepak terjang serdadu Jepang terkenal kejam terhadap penduduk lokal. Namun perlahan pasti, itikad baik mereka terutama setelah berkumpul lama bersama warga, serta pejuang dalam membantu pejuang pribumi, mampu meluluhkan pendirian para pejuang Garut saat itu.
“Mereka malah balik bersimpati, hingga akhirnya menghadap Mayor Kosasih dan menyatakan ingin masuk Islam,” kata Ubun.
Mengantongi niatan baik itu, Kosasih kemudian membawa kelima tawanan itu ke hadapan Raden Jayadiwangsa, seorang ulah kharismatik, yang berasal dari salah satu keturunan dalam Limbangan, Garut, sekaligus penasihat PPP. “Sejak saat itu mereka berganti nama,” kata dia.
Merujuk pada nama para sahabat Nabi Muhammad yang menjadi pejuang Islam pada masanya. Hasegawa akhirnya berubah nama menjadi Abu Bakar, Masashiro Aoki menjadi Usman, sementara Yang Chil Sung, atau Yanagawa Sichisci menjadi Komarudin.
“Untuk yang dua lagi saya lupa nama Jepangnya, tetapi kami memanggil mereka dengan sebutan Umar dan Ali,” ujar Raden Ojo Suparjo Wigena (88), salah satu prajurit PPP bagian dapur umum menambahkan.
Dalam prakteknya, kelima mantan prajurit Jepang itu, memiliki tugas dan fungsi masing-masing. Umar dan Ali menjadi tenaga kesehatan, sedangkan Abu Bakat, Usman dan Komarudin menjadi pelatih militer pasukan PPP. “Mereka juga terjun langsung dalam seluruh pertempuran,” ujar Wigena.
Advertisement
Hantu Bagi Belanda
Sejak bergabung dengan PPP, andil kelima eks tentara Jepang itu cukup signifikan. Mereka seolah menjadi hantu menakutkan bagi barisan penjajah Belanda di Garut.
Ragam upaya operasi penyerangan, sabotase, penghadangan di wilayah Wanaraja dan beberapa titik pertempuran Garut lainnya dalam upaya mempertahankan Kemerdekaan Indonesia, kerap mereka lakukan bersama pejuang pribumi.
Korban berjatuhan bukan saja dari militer Belanda, namun dari Recomba (Regerings Commissaris Bestuurs Aangelegenheden), istilah Belanda untuk pemerintah darurat yang diinisiasi H.J. Van Mook di Indonesia. “Belanda benar-benar kewalahan,” kata Ubun.
Tak berlebih memang, saat menjadi serdadu Jepang, ketiganya memiliki keahlian berbeda. Yang, merupakan ahli perakit bom, adapun Aoki dan Hasegawa ahli strategi perang.
Puncaknya saat aksi heroik mereka untuk menghancurkan jembatan Cimanuk yang menghubungkan Wanaraja dan Garut Kota pada 1947.
“Ceritanya sandi telik PPP menyadap jika Belanda akan menyerang Wanaraja, maka satu-satu jalan hancurkan Jembatan Cimanuk tadi,” kata dia.
Mengantongi informasi itu, kemudian satu tim kecil PPP bergerak menuju jembatan Cimanuk dengan beberapa prajurit yang berjaga di sekitarnya.
Nah saat itu, Komarudin yang ahli bom, sengaja merayap dibawah jembatan memasang beberapa bom, hingga seluruh konstruksi jembatan hancur lebur.
“Dengan putusnya jembatan, praktis rencana aksi militer Belanda menjadi gagal,” ujarnya.
Belanda pun semakin berang. Mereka kemudian membuat satu tim elit buru sergap Yon 3-14-RI (Regiment Infanterie) milik Belanda pimpinan Kolonel P.W. Van Duin, untuk menangkap ketiganya.
“Tugas utama mereka menangkap hidup atau mati Abu Bakar alias Hasegawa, bekas penjaga kamp tawanan perang Jepang di Flores yang dikenal kejam,” ujarnya.
Tertangkapnya Ketiga Macan Asia
Meningkatnya intensitas perburuan yang dilakukan Belanda terhadap ketiga eks tentara Jepang, membuat seluruh pasukan PPP yang hanya berjumlah satu batalyon, terdesak hingga ke wilayah kaki Gunung Dora, sebelah timur Wanaraja.
Kondisi itu semakin pelik, seiring banyaknya mata-mata kompeni Belanda, yang disebar ke tengah penduduk, untuk memberi tahu keberadaan para pasukan PPP, termasuk ketiga eks Jepang-Korea tersebut.
“Akhirnya Komarudin, Abu Bakar dan Usman dan saya sendiri,” ujar Raden Juhana, salah seorang pejuang lokal Garut.
Dengan segudang kebencian, ketiga pejuang naturalisasi asal Jepang-Korea itu, akhirnya dieksekusi mati di lapangan Kherkof pada 10 Agustus 1949, depan warga Garut yang turut menyaksikan peristiwa tragis itu.
Jasad mereka kemudian dikebumikan menggunakan cara Islam, sesuai dengan permintaan ketiganya, di Pemakaman Umum Pasir Pogor, Garut Kota.
Untuk menghormati jasa besar mereka sebagai pahlawan Kemerdekaan Indonesia, sejak 1982 jasad ketiganya akhirnya dipindah ke Taman Makam Pahlawan Tenjolaya, berdasarkan intruksi pemerintah pusat.
Adapun Juhada, ia terbilang mujur dan berhasil lolos dari rencana eksekusi mengenaskan itu.
“Alhamdulillah saya selamat, sebab saya bisa berbahasa Belanda, serta melakukan pembelaan dulu,“ ujar dia mengenang kembali peristiwa itu, dalam perjumpaannya dengan perwakilan resmi Pemerintahan Korea Selatan pada 1995 silam di Garut.
Advertisement
Pasukan Pangeran Papak
Satu di antara pasukan elit tempo dulu, bentukan warga pribumi yang sukses membuat kalang kabut Belanda, adalah Pasukan Pangeran Papak (PPP).
Pasukan yang dinahkodai Mayor Saud Mustofa Kosasih itu, mampu memberikan perlawanan mematikan bagi Belanda, dalam setiap pertempuran di medan perang.
Terlebih setelah masuknya lima tawanan eks tentara Jepang, dengan keahliannya masing-masing. Keberadaan PPP semakin ditakuti dan diperhitungkan kompeni Belanda saat itu.
Bahkan pada pertempuran Bandung Lautan Api (BLA) awal 1946, pasukan PPP mampu membuat pasukan Belanda porakporanda.
Untuk menghormati keberadaan dan jasa pasukan PPP, sebuah tugu prasasti Pangeran Papak berukuran 2 meter, tertancap dengan gagah di pintu masuk Komplek makam para pejuang di Cinunuk-Wanaraja, wilayah Garut bagian utara.
Setelah Indonesia merdeka penuh pada 1949, para anggota Pasukan Pangeran Papak pun pisah kongsi. Sebagian tetap melanjutkan perjuangan dengan bergabung bersama Tentara Negara Indonesia (TNI).
Namun tak sedikit pula yang memilih kembali ke tengah masyarakat, melanjutkan aktifitas sehari-hari menjadi pedagang dan petani.
Kiprah mereka selama lima tahun berperang dengan penjajah Belanda, terutama setelah terjadinya agresi militer 1 dan 2, cukup besar dalam mempertahankan Indonesia, terutama di wilayah Garut dan Jawa Barat. Hormat dan doa untuk para pahlawan.