Liputan6.com, Jakarta - Badan Reserse Kriminal (Bareskrim) Polri telah menindak 1.384 tambang ilegal dalam kurun waktu tahun 2013 hingga 2017. Hal ini disampaikan Penyidik Direktorat Tindak Pidana Tertentu, Eko Susanto.
Menilik data Polri, tambang ilegal paling banyak ditemukan pada tahun 2013 dengan total mencapai 403 tambang. Jumlah tersebut kemudian turun pada dua tahun berikutnya. Pada 2015 terdapat 317 kasus, lalu pada 2014 hanya 173 kasus tambang ilegal.
"Kan 2014 ada kebijakan smelter. Waktu itu juga ada krisis Yunani imbas sampai ke China. Marjin semakin kecil," kata dia, di Jakarta, Senin (19/8/2019).
Dia menjelaskan, pada saat itu semua bisnis pertambangan terkana imbasnya, legal maupun ilegal. Perusahaan legal saja, kata dia, harus melakukan efisiensi agar keuangannya tetap terjaga dan menciptakan bisnis yang berkelanjutan.
Baca Juga
Advertisement
Sejumlah tambang ilegal tak mampu bertahan ketika harga jatuh. Karena itulah, penemuan tambang tak berizin berkurang sejak 2013-2015. "Perusahaan besar harus efisiensi harus survive. Kalau ini (tambang ilegal) kecil tidak ada skill," ungkapnya.
Kalau perusahaan besar butuh bensin karyawan berapa, kalau penambang ilegal unskill. Eksplorasi tidak membabi buta. Ikutun aja. Akibatnya kerja 8 jam mereka hanya dapat yang nilainya Rp 500 ribu. Tutup sendiri," imbuhnya.
Jumlah kasus tambang ilegal, lanjut Eko, kembali mengalami kenaikan pada 2016 menjadi 251 perkara. Kemudian, turun pada 2017 sebanyak 240 perkara.
Terkait data penindakan pada 2018, Eko mengaku belum bisa menjabarkan data penindakan pada 2018 dan tahun ini. Namun dia menyakini jumlah kasus pada akan turun.
"Turun sepertinya karena belum pulih (harga komoditas). Kalau polisi bilang pengaruh besar ke tindak pidana SDA yang besar itu harga jualnya. Kalau harga jual turun berhenti sendiri," ujar dia.
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
Putus Rantai Pasokan
Ketua Umum Perhimpunan Ahli Pertambangan Indonesia (Perhapi) Rizal Kasli menyatakan untuk memberantas pertambangan ilegal harus memutus rantai pasokan aktivitas tersebut. Langkah ini sekaligus untuk mewujudkan praktik penambangan yang berkelanjutan (good practice mining).
"Jika rantai pasokan terputus, maka Peti (pertambangan tanpa izin) bisa berkurang," tegas dia.
Dia menjelaskan, setiap kegiatan usaha PETI selalu melibatkan mata rantai, mulai pekerja tambang, pemilik pemodal, penampung atau pihak pembeli, pemasok bahan baku, hingga keterlibatan oknum aparat. Rangkaian mata rantai tersebut, kata dia, harus diputuskan.
Dia mengatakan, diperlukan penegakkan hukum untuk memberantas tambang ilegal. Di sisi lain, pihak terkait perlu memberikan edukasi guna menyadarkan masyarakat.
"Polisi melakukan penyelidikan, namun pemerintah perlu membina dengan melakukan pendekatan pada tokoh masyarakat atau tokoh adat," tandas Rizal.
Reporter: Wilfridus Setu Embu
Sumber: Merdeka.com
Advertisement