Menyusuri Sisi Lain Hotel Indonesia Bersama Lady in Red

Peresmian Hotel Indonesia awalnya hanya mengundang 600 orang, tetapi tamu yang hadir membludak hingga 1.500 orang.

oleh Dinny Mutiah diperbarui 20 Agu 2019, 17:03 WIB
Hotel Kempinski dan Grand Indonesia (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Liputan6.com, Jakarta - Siapa yang tak mengenal Hotel Indonesia? Hotel bintang lima pertama di negeri ini dibangun dengan dana pampasan perang dari Jepang senilai 20 juta dolar AS.

Hotel yang kini dikelola oleh Kempinski tersebut merupakan salah satu proyek mercusuar Presiden ke-1 RI, Sukarno. Terbilang ambisius mengingat saat itu Indonesia baru saja merdeka dengan kondisi ekonomi yang masih morat-marit. Dengan dana sebesar itu, tak pelak proyek tersebut menuai kritik pedas.

Bersama Yoslyn, Lady in Red Hotel Indonesia Kempinski, saya diajak menyusuri sisi lain bangunan hotel rancangan arsitek Wendy dan Abel Sorenson, pria yang juga mendesain gedung Markas PBB, lewat tur singkat. Lokasi pertama yang dituju adalah lantai 1 Sayap Ganesha.

Di area yang berseberangan dengan sepasang lift tua, di belakang area restoran, perempuan bergaun merah itu menunjukkan sejumlah foto bersejarah. Ada foto pembangunan hotel, potret Sukarno meresmikan Hotel Indonesia, hingga sosok Tien Soeharto menggunting pita.

Presiden Sukarno menggunting pita saat peresmian Hotel Indonesia pada 5 Agustus 1962. (Liputan6.com/Dinny Mutiah)

Yoslyn menerangkan, pemerintah hanya menyebar 600 undangan untuk menghadiri acara peresmian. Namun, saat hari H, yang hadir mencapai 1.500 orang. Karena kapasitas Balairung hanya cukup untuk 800 orang, sisanya mengantre di luar.

"Para tamu yang datang belakangan itu adalah warga biasa yang penasaran ingin melihat hotel ini," katanya pada Liputan6.com di Jakarta, Senin, 19 Agustus 2019.

Bung Karno, katanya, menunjuk Intercontinental untuk mengelola Hotel Indonesia. Penunjukan operator manajemen itu dilakukan, bahkan sebelum hotel dibangun.

Ada pertimbangan khusus yang mendorong Sukarno menggunakan jasa perusahaan asing untuk hotel tersebut meski dinilai kontradiktif dengan citranya sebagai seorang nasionalis. Salah satunya soal kemampuan SDM Indonesia yang dinilai belum sanggup pada masa itu.

"Tapi, meski manajernya orang asing, yang jadi general manager tetap orang Indonesia. Pak Iskak namanya, dia orang pariwisata," kata Yoslyn.

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:


Tamu Pertama

Bangunan Ramayan Terrace Hotel Indonesia dilihat dari ketinggian. (Liputan6.com/Dinny Mutiah)

Di antara deretan portret, terselip foto yang menarik perhatian. Adalah lelaki bule terekam sedang naik becak sambil membawa koper besar. Di sampingnya, lelaki kaukasian lainnya tampak menyambut.

Yoslyn pun menerangkan, foto tersebut dipajang karena lelaki yang naik becak itu adalah tamu pertama Hotel Indonesia. Lelaki tersebut bernama Alan Edward, seorang berkebangsaan Amerika Serikat. Sementara, lelaki yang berdiri di sampingnya adalah William Lard, manajer hotel pertama.

"Sebenarnya dia naik mobil hingga depan. Setelah itu, baru diantar ke lobi naik becak sebagai bagian experience," ujarnya.

Saya pun penasaran dengan denah Hotel Indonesia saat awal-awal beroperasi. Pasal, para tamu yang datang kini tak perlu jalan terlalu jauh menuju lobi.

"Dulu itu tak ada pagar. Masih tanah kosong yang luas di sekitar hotel sehingga tamu lumayan jauh kalau berjalan," kata dia.

Bangunan pertama yang dibangun juga hanya terdiri dari Gedung Ramayana, Ramayana Terrace, dan Balairung yang lokasinya terpisah dari bangunan utama. Hingga 2004, penggunaan AC berlaku hanya di kamar-kamar tertentu, sisanya mengandalkan angin alami yang masuk melalui celah-celah jalusi.

"Jumlah kamar saat awal itu 406, kemudian jadi 611 karena Indonesia saat itu jadi tuan rumah PATA. Tapi, pada 2006, setelah dipercayakan pada Djarum, jumlah kamar kini jadi 298. Lebih sedikit, tapi ukuran kamar lebih luas," tuturnya.


Jejak Sukarno

Gunting yang dipakai Sukarno saat peresmian Hotel Indonesia. (Liputan6.com/Dinny Mutiah)

Sejumlah barang penting yang ada pada saat pembukaan Hotel Indonesia kini dipajang di lantai 10 dan 11 Sayap Ramayana. Ada gunting logam yang dipakai untuk menggunting pita, koleksi foto-foto, hingga peralatan makan keramik berlogo HI. Namun, kamar yang sering ditempati Sukarno tak ada lagi.

"Setelah renovasi, semua berubah. Saya juga tak tahu pasti mana bekas kamarnya," ujar Yoslyn.

Hal lain yang menandakan tapak Sukarno adalah sejumlah benda seni yang dipajang di beberapa sudut. Dari luar berdiri patung Dewi Sri, dewi perlambang kesuburan itu kini tak lagi berwarna abu-abu, melainkan hijau. "Kita nggak pernah mengubah, hanya letaknya saja dipindah-pindah," katanya.

Patung berwujud perempuan lainnya juga terpajang di sejumlah tempat, seperti dekat Teras Ramayana dan dekat kolam renang. Selain patung, ada pula relief berjudul Kehidupan Masyarakat Bali.

Relief di dinding luar Hotel Indonesia. (Liputan6.com/Dinny Mutiah)

Relief berukuran 3x24 meter persegi itu dibuat selama tiga tahun oleh 50 pemahat dari sanggar seni Selabinangun Yogyakarta. Karya pahat itu dipersembahkan khusus bagi Sukarno yang saat itu bergelar Panglima Besar Revolusi.

"Kenapa Bali, ternyata ibu kandung Presiden Sukarno itu orang Bali," kata Yoslyn.

Tak ketinggalan gambar mozaik yang terpajang di kubah Ramayana karya Gede Sidharta. Gambar mozaik itu menunjukkan wajah Indonesia lewat beragam tarian daerah.

Terakhir yang ditunjukkan adalah gambar Gadis Bhineka Tunggal Ika yang dipahat di bagian luar Teras Ramayana. Karya seniman Soerono itu jadi penutup tur singkat saya siang itu. "Ini wujud penghormatan Bung Karno pada perempuan," kata Yoslyn.

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya