Penyederhanaan Cukai Rokok Tak Berpihak ke Petani Tembakau

Jika kebijakan tersebut diterapkan maka akan berdampak langsung terhadap petani penghasil tembakau.

oleh Septian Deny diperbarui 20 Agu 2019, 19:18 WIB
Industri rokok telah menyumbang kontribusi ekonomi terbilang besar. Tahun lalu saja, cukai hasil tembakau (CHT) mencapai Rp139,5 triliun.

Liputan6.com, Jakarta - Anggota Komisi XI DPR RI, Andreas Eddy Susetyo menyatakan keberatannya terhadap kebijakan penyederhanaan (simplifikasi) tarif cukai rokok. Dia juga meminta Pemerintah mengkaji kembali rencana tersebut.

Andreas mengatakan, jika kebijakan tersebut diterapkan maka akan berdampak langsung terhadap petani penghasil tembakau dan industri hasil tembakau (IHT) tingkat menengah dan kecil.

“Menjadi konsen kita ketika pemerintah mengeluarkan simplifikasi tarif cukai, karena memberikan dampak serius terhadap IHT dan petani penghasil tembakau,” kata Andreas di Jakarta, Selasa (20/08/2019).

Dia mencontohkan pertumbuhan ekonomi di Jawa Timur yang sangat tergantung pada industri pengolahan dan sektor pertani. Hal ini karena 47 persen hasil taninya adalah tembakau.

Apabila simplifikasi tarif cukai rokok diterapkan, menurut Andreas, akan berpengaruh terhadap lapangan pekerjaan dan penyerapan hasil tambakau dari petani.

"Kami berharap  pemerintah dan stakeholder terkait bisa duduk bersama dalam menentukan tarif cukai. Agar kebijakan yang dikeluarkan tidak berdampak buruk kepada satu belah pihak," kata dia.

Sementara itu, Pengamat Ekonomi Candra Fajri Ananda berpendapat, rencana penyederhanaan struktur tarif cukai rokok tersebut berdampak signifikan terhadap keberlangsungan IHT, khususnya bagi industri menengah dan kecil.

Candra menegaskan, penggabungan quota produksi dan penyederhanaan struktur tarif cukai membawa industri rokok di Indonesia kian terpuruk, dan hanya memberikan keuntungan kepada satu perusahaan besar saja.

"Kami berharap agar pemerintah bersedia untuk menerima masukan-masukan dari semua pemangku kepentingan, mengenai rencana simplifikasi ini agar didapat hasil yang transparan dan terbuka untuk semua pihak," tukasnya.

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:


Penyederhanaan Cukai jadi Ancaman bagi Industri Rokok

Petugas memperlihatkan rokok ilegal yang telah terkemas di Kantor Dirjen Bea Cukai, Jakarta, Jumat (30/9). Rokok ilegal ini diproduksi oleh mesin dengan total produksi 1500 batang per menit. (Liputan6.com/Faizal Fanani)

Ketua Pansus RUU Pertembakauan, Firman Soebagyo meminta pemerintah mempertimbangkan kembali rencana penyederhanaan (simplifikasi) tarif cukai tembakau. Pasalnya, simplifikasi tarif cukai mengakhawatirkan para pelaku industri rokok skala menengah dan kecil.

"Jika itu diterapkan, maka akan mematikan industri pertembakauan yang sudah lama berdiri atau yang masuk pada golongan III," kata Firman di Jakarta, Selasa (30/7/2019).

Rencana Pemerintah adalah tahapan penggabungan kuota produksi Sigaret Kretek Mesin (SKM) dan Sigaret Putih Mesin (SPM), kemudian setelah itu dilakukan penggabungan jenis rokok SKM dan SPM.

"Rencana ini tidak boleh terburu-buru dilakukan, rokok kretek dan rokok putih itu berbeda sekali. Rencana ini harus diperhitungkan dengan baik dan didiskusikan dengan semua stakeholders serta memperhatikan berbagai kajian akademis," katanya.

Rencana penggabungan SKM golongan IIA dan IIB tentu berimplikasi langsung bagi golongan IIB. Merujuk data resmi, tahun 2016 terdapat 148 pabrik golongan IIB sedangkan golongan IIA hanya 84 pabrik.

Politisi senior Golkar itu khawatir dampak penggabungan struktur tarif SKM golongan IIA dan golongan IIB, akan terjadi akuisisi oleh pelaku usaha di golongan IIA terhadap perusahaan golongan IIB yang produksinya sangat kecil, namun industri ini semakin terancam dengan keberadaan asing mengingat modal mereka yang kuat.

"Dampak negatif yang paling tidak diharapkan adalah para pelaku usaha di golongan IIB beralih ke produksi rokok ilegal yang tentu semakin merugikan pemerintah," ujarnya.

Menurut Firman, beberapa pertimbangan yang harus menjadi perhatian pemerintah dalam melakukan simplifikasi cukai, bahwa IHT di Indonesia sangat beragam dari aspek modal, jenis, hingga cakupan pasar.

"Lakukan perlindungan terhadap industri hasil tembakau skala kecil dan menengah. Jangan sampai menciptakan persaingan usaha yang tidak sehat melalui praktek oligopoli bahkan monopoli," tegasnya.

Pemerintah juga mesti memperhatikan keberlangsungan lapangan pekerjaan bagi para tenaga kerja dan pelaku yang terlibat langsung maupun tidak langsung terhadap IHT.

"Dan, pemerintah harus ada itikad baik melestarikan ciri khas hasil tembakau Indonesia yakni rokok kretek," katanya.


Harapan Pengusaha Rokok

Sejumlah batang rokok ilegal diperlihatkan petugas saat rilis rokok ilegal di Kantor Direktorat Jenderal Bea Cukai, Jakarta, Jumat (30/9). Rokok ilegal ini diproduksi oleh mesin dengan total produksi 1500 batang per menit. (Liputan6.com/Faizal Fanani)

Ketua Gabungan Pengusaha Rokok (Gapero) Surabaya, Sulami Bahar mengingatkan pemerintah untuk menghilangkan simplifikasi cukai hasil tembakau yang tertuang dalam PMK 156 Tahun 2018. 

Menurutnya, penghapusan kebijakan simplifikasi cukai hasil tembakau berdampak positif bagi IHT, karena penghapusan kebijakan ini membuat persaingan antar IHT tetap sehat. Selain itu, juga mendongkrak omzet bagi industri yang berimbas pada tenaga kerja.

“Simplifikasi kalau dijalankan akan menguntungkan pihak tertentu dan merugikan banyak pihak. Ini berarti golongan IHT kecil menengah paling terkena dampaknya, karena harga rokok golongan kecil menengah akan head to head dengan rokok industri besar,” tukasnya. 

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya