Liputan6.com, Jakarta - Organisasi negara-negara kawasan Asia Tenggara atau ASEAN dinilai bisa memiliki peran penting seputar isu perdamaian di Semenanjung Korea dan denuklirisasi Korea Utara, kata sejumlah analis dan pejabat.
Namun, para analis dan pejabat mengakui adanya keterbatasan asosiasi 10 negara untuk meningkatkan kontribusinya pada isu panas di kawasan tetangganya di Asia timur laut tersebut.
Seruan datang ketika terjadi peningkatan eskalasi di semenanjung yang dipicu latihan militer gabungan antara Amerika Serikat dan Korea Selatan.
Perhelatan itu dianggap telah memicu Korea Utara untuk kembali melakukan uji coba proyektil misil jarak pendek pada awal Agustus 2019 --serta membuat komunitas internasional cemas bahwa situasi bisa kembali memburuk seperti tahun 2017 ke belakang.
Baca Juga
Advertisement
Rangkaian peristiwa itu juga bertolak-belakang dari apa yang telah disepakati oleh masing-masing pihak sejak pertemuan tingkat tinggi antar-Korea (Inter-Korea Summit) dan pertemuan tingkat tinggi AS - Korut (US-DPRK) sepanjang 2018 hingga awal 2019.
Dalam rangkaian pertemuan tersebut, ketiga pihak sepakat menahan diri dari melakukan tindakan yang bisa memicu eskalasi di semenanjung, seperti latihan gabungan militer Korea Selatan dan AS; serta uji coba rudal Korea Utara.
Namun, situasi terbaru memicu beberapa analis mengemukakan kritik terkait seberapa relevan dan efektif platform dialog perdamaian semenanjung yang saat ini ada, yakni: Inter-Korea Summit dan US-DPRK Summit, serta pertemuan kelompok kerja (working level meeting) pelengkap antara pejabat masing-masing negara.
Pendiri lembaga think-tank Foreign Policy Community Indonesia (FPCI) Dino Patti Djalal, menilai bahwa platform dialog perdamaian yang saat ini ada tidak koheren dalam menyelesaikan semua isu di semenanjung. Oleh karenanya, mantan wakil menteri luar negeri RI itu menyatakan bahwa ASEAN berkesempatan masuk dan meningkatkan kontribusinya pada isu yang sempat memanas dan menjadi perhatian global pada 2017 lalu, namun berhasil mereda pada 2018.
Merespons kritik tersebut, Lim Sung-nam, Wakil Tetap Korea Selatan untuk ASEAN, mengafirmasi bahwa organisasi multilateral tersebut berpeluang meningkatkan perannya dalam perdamaian di semenanjung.
"ASEAN punya dan menyediakan platform dialog yang melibatkan Korea Utara," kata Sung-nam dalam sebuah diskusi yang diselenggarakan FPCI di Jakarta, Rabu (21/8/2019). Sung-nam mereferensi pertemuan rutin ASEAN Regional Forum.
Lim menambahkan bahwa platform itu merupakan satu-satunya di dunia yang bersifat multilateral dan sekaligus melibatkan Korea Utara dalam melakukan pembicaraan yang terbuka dengan komunitas internasional lainnya.
"Dan platform itu memberikan celah dan kesempatan tentang bagaimana ASEAN bisa meningkatkan kontribusinya dalam isu di Semenanjung Korea," tambah duta besar Lim Sung-nam.
Simak video pilihan berikut:
Di Tengah Keterbatasan ASEAN
Meski ASEAN berpotensi menjadi partisipan aktif dalam dialog perdamaian dan isu denuklirisasi di Semenanjung Korea, namun, analis lain menggarisbawahi keterbatasan organisasi multilateral 10 negara Asia Tenggara itu dalam meningkatkan kontribusinya.
Dewi Fortuna Anwar, peneliti senior isu hubungan internasional dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), mengatakan bahwa negara-negara pemain utama dalam platform dialog perdamaian saat ini, terutama Korea Utara, belum memposisikan ASEAN sebagai 'aktor' penting dalam proses negosiasi.
ASEAN tidak dilibatkan dalam Inter-Korea Summit dan US-DPRK Summit. Pencapaian negara-negara Asia Tenggara, khususnya Singapura dan Vietnam, hanya terbatas sebagai tuan rumah dari dua pertemuan tingkat tinggi AS dan Korut --yakni pada Juni 2018 dan Februari 2019.
"Bahkan ASEAN tidak dilibatkan dalam platform dialog yang lama seperti mekanisme six-party talk," ujar Dewi Fortuna dalam dialog FPCI tersebut. Ia merujuk platform dialog enam negara yang bermula pada 2003 namun berhenti pada 2009.
Teuku Faizasyah, Penasihat Khusus Kementerian Luar Negeri RI Bidang Polhukam, punya alasan mengapa ASEAN atau negara-negara anggota tidak dilibatkan dalam platform dialog terbaru.
Mendasarkan argumennya dengan perspektif realpolitik, Faizasyah menjelaskan bahwa "dinamika geo-politik saat ini, terkhusus yang berkenaan dengan isu perdamaian di Semenanjung Korea, telah berubah," jelasnya, yang melanjutkan bahwa faktor Amerika Serikat pada era presidensi Donald Trump merupakan salah satu argumen utama.
"Ada sebuah mentalitas kecemasan akan adanya invasi (siege mentality) di kalangan pejabat Korea Utara. Oleh karenanya, kita bisa melihat bagaimana Korut memposisikan senjata nuklir mereka sebagai aset penting untuk mencegah serangan dari luar," jelas Faizasyah.
"Sementara itu, ada konfrontasi konstan yang datang dari Amerika Serikat, salah satu negara pemilik nuklir. Jadi secara realistis, Korut akan memusatkan perhatiannya untuk bernegosiasi pada AS, dan itu sudah menjadi mandat berbagai pemimpin tertinggi mereka, serta menjadi tujuan utama rezim," lanjutnya.
"Dan mereka (Korut) telah mencapai hal itu sejak US-DPRK summit kemarin, sehingga opsi atau tawaran dialog lain mungkin belum begitu penting bagi mereka," lanjutnya.
Sementara itu, Wakil Tetap RI untuk ASEAN, Ade Padmo Sarwono menjelaskan tentang keterbatasan lain, seperti sanksi Dewan Keamanan PBB yang masih berlaku terhadap Korea Utara serta hambatan internal di ASEAN untuk mencapai konsensus sikap dalam berbagai isu global, termasuk isu semenanjung.
"Sanksi PBB menghambat negara-negara ASEAN yang tertarik meningkatkan kerja sama ekonomi dengan Korea Utara. Sementara ada beberapa negara anggota yang masih belum konsensus untuk beberapa sub-isu," jelasnya.
Masalah konsensus ASEAN juga turut digarisbawahi oleh Hoang Anh Tuan, Deputi Sekjen ASEAN Bidang Politik, Keamanan dan Komunitas.
"Ada pembicaraan untuk memasukkan Korea Utara sebagai mitra dialog ASEAN. Namun, beberapa negara anggota masih belum sependepata untuk isu tersebut. Kalau kita paksakan, cukup sulit juga nantinya," jelas Hoang.
Advertisement
Daya Tawar dan Urgensi ASEAN
Terlepas dari berbagai macam hambatannya, ASEAN dinilai tetap memiliki daya tawar yang kuat untuk meningkatkan keterlibatannya dalam penyelesaian isu perdamaian dan denuklirisasi Semenanjung Korea.
"ASEAN bisa menyediakan opsi alternatif, yang dilandasi rasa saling percaya, untuk dialog-dialog konstruktif," kata Teuku Faizasyah.
"Apalagi, isu perlucutan senjata nuklir, turut menjadi perhatian ASEAN sejak membentuk Zona Bebas Nuklir ASEAN," jelasnya, yang turut menggarisbawahi bahwa ada kedekatakan geografis dan geo-politik antara Asia Tenggara dengan kawasan Asia timur laut yang merupakan lokasi Semenanjung Korea.
Sementara itu, Ade Padmo Sarwono menambahkan bahwa ASEAN mampu menyediakan platform dialog, "di mana masing-masing pihak bisa lebih terlibat secara nyaman dan terbuka."
Senada, Dewi Fortuna Anwar mengatakan bahwa ASEAN Regional Forum bisa menjadi tonggak untuk memulai peningkatan peran dan keterlibatan ASEAn dalam isu tersebut.
"Celahnya sudah ada ... tinggal bagaimana ASEAN atau negara anggota memimpin langkah kreatif dan memanfaatkan celah yang ada untuk meningkatkan partisipasi ASEAN. Jadi, tidak hanya menunggu kesempatan atau bertahan pada mekanisme diplomasi saat ini saja," kata Dewi Fortuna.