Nasib Kasus Perusakan Ruko di Makassar Setelah Nyaris 3 Tahun

Nyaris tiga tahun berlalu, berkas perkara pidana dugaan perusakan ruko di Makassar tak juga dinyatakan lengkap

oleh Eka Hakim diperbarui 21 Agu 2019, 23:00 WIB
Kuasa Hukum korban, Jermias Rarsina menilai perkara pidana perusakan ruko yang dilaporkan kliennya mandek selama tiga tahun (Liputan6.com/ Eka Hakim)

Liputan6.com, Makassar - Nyaris tiga tahun berlalu, penanganan perkara pidana dugaan perusakan ruko milik warga di Jalan Buru, Kecamatan Wajo, Makassar belum juga menemui kepastian hukum.

Dalam perkara ini telah ditetapkan dua orang tersangka yakni Jemis Kontaria dan Edy Wardus P.

Jermis Rarsina, kuasa hukum Irawati Lauw yang merupakan korban, mengaku perkara pidana dugaan perusakan ruko yang telah dilaporkan kliennya ke Polda Sulsel sejak tahun 2016 silam, hingga saat ini tak kunjung rampung. Malah, kata dia, perkara tersebut terancam dikaburkan.

"Kami barusan terima Surat Pemberitahuan Perkembangan Hasil Penyidikan (SP2HP) tertanggal 21 Agustus 2019 dari penyidik Polda Sulsel. Di mana diberitahukan bahwa jaksa mengembalikan Surat Perintah Dimulainya Penyidikan (SPDP) atas perkara tersebut," kata Jermias, Rabu (21/8/2019).

Alasan Jaksa Penuntut Umum (JPU) Kejati Sulsel mengembalikan SPDP perkara tersebut, beber Jermias, karena penyidik Polda Sulsel dengan waktu yang diberikan belum dapat memenuhi petunjuk jaksa sebagai syarat kelengkapan berkas kedua tersangka dalam perkara perusakan ruko yang dimaksud.

"Sehingga Jaksa Andi Fitriani beralasan tak ingin menunggu lama. Alhasil SPDP perkaranya pun dikembalikan. Perkara perusakan ruko ini pun mandek bahkan terancam dikaburkan," ujar Jermias.

 

 


Petunjuk Jaksa Dinilai Tak Masuk Akal

Perkara perusakan ruko di Makassar mandek hingga memakan waktu nyaris 3 tahun (Liputan6.com/ Eka Hakim)

Ia menilai akar permasalahan yang membuat perkara dugaan perusakan ruko yang dilaporkan kliennya mandek bahkan terancam kabur, karena keberadaan petunjuk jaksa yang terkesan tidak masuk akal alias irasionil.

Petunjuk jaksa, diakui Jermias, sangat mengherankan bahkan sama sekali tidak berkaitan dengan substansi pengembalian berkas perkara terdahulu (P.19) yakni terkait penjelasan vicarious liability atau pertanggungjawaban pengganti.

Padahal menurut dia, seharusnya petunjuk yang dipakai jaksa yakni menyarankan penyidik Kepolisian memeriksa ahli pidana untuk menerangkan unsur vicarious liability bukan mengarahkan memeriksa saksi lainnya.

"Irasionil petunjuk seperti itu, oleh karena yang bisa menjelaskan terminologi vicarious libiality adalah ahli, bukan saksi," jelas Jermias.

Selain itu, poin petunjuk Jaksa lainnya yang dinilai Jermias sangat keliru, yakni menyimpulkan bahwa peristiwa membetel rumah/bangunan yang dilakukan oleh para buruh/pekerja bukan sebagai tindak pidana dan menyarankan pihak menempuh jalur sengketa perdata.

Jaksa merujuk pada putusan praperadilan terdahulu sewaktu para buruh ditetapkan tersangka oleh penyidik Polsek Wajo, Makassar.

"Padahal terhadap putusan praperadilan tersebut, kemudian dibenahi oleh pihak pelapor/korban yang selanjutnya mengajukan lagi laporan polisi baru ke Polda Sulsel," beber Jermias.

Alhasil dari laporan kliennya ke Polda Sulsel itu, kemudian ditindaklanjuti dan penyidik Polda sulsel menetapkan dua orang tersangka masing-masing Jemis Kontaria dan Edy Wardus.

Belakangan kedua tersangka itu tak terima dan kemudian melakukan upaya hukum praperadilan di Pengadilan Negeri Makassar. Hakim yang menyidangkan perkara gugatan praperadilan tersebut memutuskan menolak permohonan praperadilan yang diajukan oleh kedua tersangka. Hakim menyatakan penetapan tersangka terhadap keduanya sah demi hukum.

"Jadi secara hukum, petunjuk jaksa yang menyatakan bahwa perkara tersebut tidak ada tindak pidana dan sebaiknya ditempuh secara penyelesaian perkara perdata, maka sesungguhnya telah masuk dalam ranah pemeriksaan perkara pokok yang kewenangannya harus dilimpahkan ke Pengadilan Negeri Makassar," urai Jermias

Tak hanya itu, pertimbangan jaksa memberikan petunjuk berdasarkan putusan praperadilan terdahulu yang diajukan oleh para buruh sebelumnya yang mengatakan perkara tersebut bukan perkara pidana, seharusnya, kata Jermias perlu dipertimbangkan keabsahan dan legalitas putusannya.

Karena, beber dia, kliennya telah mengajukan keberatan atas putusan praperadilan yang dimaksud ke Badan Pengawasan Hakim dalam hal ini Komisi Yudhisial (KY).

KY kemudian mengeluarkan putusan pelanggaran kode etik dan pedoman prilaku Hakim kepada hakim yang memutuskan perkara praperadilan yang diajukan oleh para buruh yang dimaksud. Yakni perkara No: 15/Pra.Pid/2016/PN. MKS di Pengadilan Negeri Makassar.

"Dalam putusannya bernomor 0064/L/KY/III/2017, KY memutuskan bahwa Hakim Praperadilan tersebut atas nama Cening Budiana terbukti melanggar kode etik dan pedoman perilaku Hakim atas putusan praperadilan yang diajukan oleh para buruh sebelumnya yang kemudian dijadikan dasar oleh Jaksa dalam memberikan petunjuk. Jadi jelas petunjuk Jaksa yang mendasar putusan praperadilan para buruh sangat keliru," ungkap Jermias.

Dengan tak adanya kepastian hukum perkara pidana dugaan perusakan ruko milik kliennya tersebut, Jermias akan menempuh upaya hukum lebih lanjut dengan mengajukan laporan pengaduan resmi ke Jaksa Agung Muda bidang Pengawasan Kejaksaan Agung (Jamwas Kejagung) untuk menilai petunjuk Jaksa Penuntut Umum (JPU) Kejaksaan Tinggi Sulawesi Selatan (Kejati Sulsel) yang menjadi biang mandeknya perkara pidana dugaan perusakan ruko yang dilaporkan kliennya.

"Kami akan menuntut keadilan yang benar di mata hukum dengan mengajukan pengaduan resmi ke pengawasan Kejagung guna menilai petunjuk jaksa yang kami anggap tidak masuk akal alias irasionil," tegas Jermias.

Ia menilai pengembalian SPDP perkara oleh jaksa ke penyidik Polda Sulsel, bukan harga mati bahwa perkara pidana dugaan perusakan ruko yang dilaporkan kliennya tersebut bisa berhenti. Tapi menurutnya, hal itu hanya sebuah administrasi internal di Kejakssaan.

"Yang terpenting sebagai interes poin hukumnya bahwa perkara pidana perusakan ruko tersebut telah dinyatakan sah penetapan tersangka karena telah memenuhi syarat formil penyidikan perkara yakni terdapat dua alat bukti yang cukup sebagai bukti permulaan," Jermias menandaskan.

Terpisah, Jaksa Penuntut Umum (JPU) perkara tersebut Andi Fitriani mengatakan pengembalian SPDP perkara tersebut ke tangan penyidik Polda Sulsel telah sesuai dengan Standar Operasi Prosedur (SOP).

Di mana pengembalian berkas perkara kepada penyidik untuk dilengkapi sesuai petunjuk yang diberikan oleh jaksa, setelah dilengkapi penyidik harus kembali mengirim berkas perkara tersebut kepada jaksa. Apabila berkas perkara tersebut tidak dikirim kembali kepada jaksa, maka sesuai SOP, SPDP perkara tersebut harus dikembalikan kepada penyidik.

"Berkas perkara perusakan ruko ini sebelumnya telah dikembalikan ke penyidik untuk dilengkapi. Namun selama lima bulan, penyidik tak mengembalikannya kembali sehingga sesuai SOP, kami mengembalikan SPDP nya," singkat Fitriani. 

 


Perjalanan Panjang Perkara Pidana Dugaan Perusakan Ruko

Korban, Irawati Lauw sayangkan laporan perusakan ruko miliknya mandek sejak tahun 2016 silam (Liputan6.com/ Eka Hakim)

Perkara dugaan perusakan ruko di Jalan Buruh Makassar awalnya ditangani Polsek Wajo dengan menetapkan beberapa orang buruh bangunan yang dipekerjakan oleh Jemis Kontaria (pemilik rumah) menjadi tersangka.

Jemis pun mencoba membela para buruhnya dengan melakukan upaya hukum praperadilan ke Pengadilan Negeri Makassar. Hakim Tunggal, Cenning Budiana yang memimpin sidang praperadilan kala itu menerima upaya praperadilan yang diajukan oleh para buruh. Perkara dugaan perusakan yang ditangani Polsek Wajo pun akhirnya berhenti (SP.3).

Kemudian perkara kembali dilaporkan ke Polda Sulsel oleh korbannya, Irawati Lauw pada 8 Agustus 2017 dengan bukti LP Nomor STTLP/343/VIII/2017/SPKT Polda Sulsel.

Dalam perjalanan penyelidikan kemudian ditingkatkan ke tahap penyidikan. Penyidik Polda Sulsel kemudian menetapkan dua orang tersangka masing-masing Jemis Kontaria (pemilik rumah yang berlokasi berdekatan dengan ruko korban) dan Edi Wardus Philander (pemborong pekerjaan pembangunan rumah milik Jemis).

Keduanya menyandang status tersangka dan dijerat dengan sangkaan pasal 170 KUHP Juncto Pasal 406 KUHP dan atau pasal 167 KUHP.

Namun belakangan, keduanya tak terima status tersangkanya tersebut, sehingga mereka mengajukan upaya praperadilan ke Pengadilan Negeri Makassar. Sidang praperadilan yang dipimpin Hakim tunggal Basuki Wiyono menolak gugatan praperadilan yang diajukan keduanya. Hakim menyatakan status tersangka keduanya sah secara hukum dan memerintahkan agar penyidikannya segera dilanjutkan.

Saksikan video pilihan di bawah ini:

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya