Kuota BBM Berpotensi Jebol Akibat Evaluasi Harga Tak Optimal

Konsumsi BBM subsidi lebih banyak dinikmati oleh kalangan mampu, termasuk sektor-sektor perkebunan, pertambangan dan industri.

oleh Pebrianto Eko Wicaksono diperbarui 22 Agu 2019, 14:00 WIB
Petugas mengisi BBM ke kendaraan konsumen di SPBU Abdul Muis, Jakarta, Senin (2/7). PT Pertamina (Persero) menaikkan harga Pertamax, Pertamax Turbo dan Pertamina Dex mulai dari Rp500 hingga Rp900 per liter mulai 1 Juli 2018. (Liputan6.com/Johan Tallo)

Liputan6.com, Jakarta - Badan Pengatur Kegiatan Hilir Minyak dan Gas Bumi (BPH Migas) memprediksi kuota Bahan Bakar Minyak (BBM) bersubsidi atau Jenis Bahan Bakar Tertentu (JBT) berpotensi jebol. Hal tersebut terjadi akibat penyaluran BBM Bersubsidi bocor atau digunakan oleh pihak yang tidak berhak.

Direktur Eksekutif Indonesia Resouces Studies (IRESS) Marwan Batubara mengatakan, BBM bersubsidi yang digunakan oleh pihak yang tidak berhak merupakan dampak dari penyaluran BBM bersubsidi tidak tepat sasaran.

"APBN telah dikorbankan untuk membiayai subsidi yang tidak tepat sasaran," kata Marwan, di Jakarta, Kamis (22/8/2019).

Seharusnya, pihak yang tidak berhak menggunakan BBM nonsubsidi. "Konsumsi BBM lebih banyak dinikmati oleh kalangan mampu, termasuk sektor-sektor perkebunan, pertambangan dan industri yang seharusnya membeli Solar sesuai harga keekonomian," lanjut Marwan.

Menurutnya, kondisi tersebut disebabkan oleh penerapan evaluasi harga BBM bersubsidi setiap 3 bulan yang tidak berjalan, sehingga perbedaan harga BBM bersubsidi dan nonsubsidi besar. Kondisi ini membuat pihak yang tidak berhak lebih memilih BBM yang harganya lebih murah.

Sebab itu, pemerintah perlu mengkaji ulang dan memperbaiki kebijakan dan peraturan terkait dengan penetapan harga dan subsidi BBM, yakni Peraturan Presiden Nomor 191 Tahun 2014.

"Perpres tersebut telah mengamanatkan untuk melakukan evaluasi harga BBM setiap 3 bulan, tapi evaluasi harga tersebut tidak dilakukan," ujarnya.

 

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:


Lebih Selektif

Petugas mengisi BBM ke kendaraan konsumen di SPBU Abdul Muis, Jakarta, Senin (2/7). PT Pertamina (Persero) menaikkan harga Pertamax, Pertamax Turbo dan Pertamina Dex mulai dari Rp500 hingga Rp900 per liter mulai 1 Juli 2018. (Liputan6.com/Johan Tallo)

Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Marsudi Syuhud mengungkapkan, pemerintah harus lebih selektif untuk menentukan kalangan yang berhak mendapatkan subsidi BBM, sebab subsidi merupakan bentuk Perlindungan sosial kepada masyarakat yang tidak mampu, bukan kalangan mampu seperti industri atau pertambangan.

"Perlu upaya untuk mendorong masyarakat agar bersedia menggunakan BBM non subsidi," tuturnya.

Sebelumnya, Kepala BPH Migas Fanshurullah Asa mengatakan, berdasarkan pengamatan penyaluran solar subsidi, konsumsi bahan bakar tersebut berpotensi melebihi kuota yang ditetapkan pada tahun ini sebesat 14,5 juta Kilo liter (Kl).

"Kita prediksikan potensi over kuota, dari kuota 14,5 juta untuk solar potensi 0,8 sampai 1,3 juta Kl," kata Fanshurullah.

Fanshurullah mengungkapkan, potensi jebolnya kuota solar disebabkan penyaluran BBM bersubsidi yang tidak sesuai dengan ketentuan ‎yang diatur dalam Peraturan Presiden Nomor 191 Tahun 2014.

Dia menyebut, penyelewangan BBM subsidi dila‎kukan pada kendaraan tambang dan perkebunan. Padahal kendaraan tersebut tidak berhak menggunakan BBM berusbsidi.

“Di duga wilayah penyimpangan BBM subsidi banyak terjadi di daerah tambang dan perkebunan," tandasnya.

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya