Liputan6.com, Jakarta - Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman Luhut Binsar Pandjaitan mengatakan sebanyak 80 persen industri sawit tak mematuhi pengelolaan sawit yang benar.
Hal itu ia sampaikan di kantor Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) di Jakarta Pusat saat menghadiri rapat soal pengelolaan kebun kelapa sawit.
Baca Juga
Advertisement
"Hasil bank dunia, maupun BPK sama angkanya, kira-kira 81 persen itu tidak memenuhi ketentuan yang berlaku baik mengenai jumlah luasan, area, ISPO, plasmanya. ada 5-6 kriteria yang tadi disampaikan anggota BPK Rizal itu tidak dipenuhi," tuturnya di Jakarta, Jumat (23/8/2019).
Sementara itu, Anggota IV BPK Rizal Djali mengungkapkan, pelaksanaan perkebunan sawit sejak 1980 hingga saat ini masih terdapat berbagai persoalannya yang perlu dibenahi.
Itu seperti hak guna usaha yang belum dimiliki. Kedua, terkait plasma yang harusnya dibangun namun belum dibangun. Ketiga, terkait tumpang tindih usaha perkebunan dengan pertambangan. Kemudian adanya beberapa usaha perkebunan yang juga menggarap kawasan di luar kawasan yang seharusnya dibudidayakan.
"Kemudian juga ada perusahaan yang menggunakan yang melaksanakan perkebunan itu di atas hutan konservasi, hutan lindung dan bahkan taman nasional. Itulah persoalan yang muncul saya terus terang tidak mau menyebut satu demi satu perusahaannya, sudah pada tahu bahwa semua perusahaan ini terdaftar di bursa," ujarnya.
"Untuk itu kami sudah membuat rekomendasi kepada Pemeirntah tadi sudah saya serahkan, saya mengusulkan tadi supaya melibatkan pak kapolri dan kejaksaan agung karena ada di dalam UU kehutanan dan UU perkebunan itu yang terkait dengan pidana. Saya harap penyelesaian tetap menjamin kepastian penerimaan negara," kata dia.
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
Sengketa Minyak Sawit Tak Pengaruhi Kerjasama Uni Eropa dan ASEAN
Kuasa Usaha ad Interim Misi Uni Eropa untuk ASEAN Lucas Cibor menegaskan bahwa kerja sama antara Uni Eropa dengan ASEAN tidak bakal terpengaruh oleh persoalan minyak sawit (palm oil) antara Uni Eropa dengan Indonesia dan Malaysia.
Sebab palm oil merupakan masalah antara Uni Eropa dengan dua negara di ASEAN tersebut, bukan dengan ASEAN secara regional.
"Masalah Palm Oil adalah elemen spesifik dari relasi antara EU dengan kedua negara Asean (Indonesia dan Malaysia)," kata dia, saat ditemui usai peluncuran ASEAN Blue Book 2019,di Jakarta, Kamis (8/8/2019).
Hal itu, kata dia, tentu telah disadari oleh kedua kawasan tersebut. Dengan demikian diskusi masalah palm oil tidak masuk ke dalam diskusi dalam kaitannya dengan kerja sama EU-ASEAN.
"Jadi saya pikir baik EU dan Asean sepakat bahwa itu seharusnya tidak masuk sebagai topik diskusi hubungan EU-Asean. Itu posisi kami dan saya berpikir negara-negara Asean juga setuju," ungkapnya.
Proses diskusi untuk mencapai jalan keluar dari masalah tersebut, lanjut dia, akan dibahas secara bilateral antara EU dengan Malaysia dan Indonesia.
"Berkaitan dengan resolusi masalah-masalah itu, EU berhubungan dengan Malaysia, dengan Indonesia dan negara-negara lain yang merasa harus berdiskusi dengan kami terkait palm oiluntuk menentukan jalan keluar ke depan," tandasnya.
Advertisement
Uni Eropa Akui Tambah Bea Masuk Biodiesel Indonesia
Sengketa biodiesel kembali memanas karena Uni Eropa menerapkan tambahan bea masuk 8 persen hingga 18 persen. Uni Eropa pun angkat suara soal kabar "menghambat" produk biodiesel Indonesia.
Pihak Uni Eropa menyebut menerima laporan dari Dewan Biodiesel Eropa bahwa ada subsidi pada biodiesel asal Indonesia. Komisi Uni Eropa pun menelusuri kasus ini pada 6 Desember 2018.
"Komisi Uni Eropa untuk saat ini telah menemukan subsidi biodiesel di Indonesia, itu adalah ancaman yang dapat melukai industri Uni Eropa," ujar Kepala Bagian Pers dan Informasi Kedutaan Besar Uni Eropa di Indonesia, Rafael de Bustamante, pada Senin (29/7/2019) dalam keterangannya pada Liputan6.com.
Bustamante berkata Uni Eropa sudah menyampaikan itu ke semua pihak yang terlibat, termasuk pemerintah Indonesia, pada 23 Juli 2019 lalu. Hitung-hitungan subsidi yang terkait juga turut disampaikan.
Uni Eropa memiliki kebijakan anti-subsidi untuk menjegal subsidi tidak adil (unfair subsidies) pada barang impor yang bisa merugikan industri di zona mereka. Mereka pun bisa menerapkan bea masuk sebagai respons subsidi tersebut. Dalam kasus ini, Uni Eropa menerapkan bea masuk sementara.