Jakarta - Skema 3-4-3 yang diterapkan pelatih Timnas Indonesia Simon McMenemy memiliki konsekuensi. Tim Garuda butuh bek kuat untuk mengawal lini belakang.
Pasalnya di skema satu ini hanya akan ada tiga bek saja yang ada di poros belakang. Kuartet bek kesemuanya dihuni pemain berkarakter stoper.
Advertisement
Mereka harus kuat dalam duel satu lawan satu, jago duel udara, dan matang membaca arah permainan. Ketiganya pun harus juga komunikatif berkomunikasi satu sama lain, mengingat mereka bakal jadi sangsak saran penyerang-penyerang lawan.
Trio stoper tidak bekerja sendirian, mereka dikawal dua fullback. Ilustrasinya, formasi 3-4-3 Timnas Indonesia secara elastis akan berubah menjadi 5-3-2 saat bertahan.
Dua gelandang (yang sejatinya merupakan fullback) bakal turun ke belakang, demikian pula seorang penyerang di posisi depan. Tapi hitungan di atas kertas tersebut tak selalu berjalan selama 90 menit pertandingan.
Dalam banyak situasi, trio bek harus berjuang sendiri tanpa bantuan dari lini tengah dan depan.
Dengan kata lain Simon McMenemy butuh bek tengah berkarakter agar tidak jadi bulan-bulanan tim pesaing di Kualifikasi Piala Dunia 2022 nanti.
Berikut ini bek-bek tengah yang jadi andalan Timnas Indonesia. Apa kelebihan dan kekurangan mereka?
Ricky Fajrin
Ricky Fajrin sejatinya bukan seorang stoper, posisi aslinya adalah bek sayap (fullback).
Ia menjalankan peran barunya di Timnas Indonesia, atas intruksi Luis Milla, yang melihat pemain kelahiran 6 September 1995 tersebut lebih berguna kalau ia dipasang di jantung pertahanan.
Dengan tinggi badan standar kebanyakan (175 cm) ia amat kuat bola udara. Ia dikenal pemain yang disiplin mengawal pertahanan, konsentasinya jarang goyah sepanjang laga.
Dipasang sebagai bek sayap, Ricky Fajrin dinilai kurang punya kecepatan. Kelemahan satu ini bisa tertutupi dengan ia dipancang sebagai stoper.
Sejak membela Timnas Indonesia U-22 di SEA Games 2017, hingga kini pelatih Timnas Indonesia berganti, Ricky yang bermain di Bali United hampir tak pernah absen membela Tim Garuda.
Advertisement
Hansamu Yama
Hansamu Yama jadi aset berharga Timnas Indonesia. Pemain didikan Indra Sjafri saat menukangi Timnas Indonesia U-19 pada periode 2012-2014 itu, kini menjelma jadi salah satu bek tengah terbaik di Indonesia.
Pemain belakang asal Mojokerto tersebut meneruskan tradisi bek-bek tangguh Tim Merah-Putih. Ia diprediksi bakal sama hebat dengan Sudirman, Bejo Sugiantoro, Charis Yulianto, sederet bek tengah legendaris timnas.
Dengan postur tinggi menjulang (180 cm), Hansamu amat kuat dalam duel satu lawan satu plus udara. Ia kerap mencetak gol lewat sundulan buat Timnas Indonesia lewat skema set piece.
Di usianya yang baru 24 tahun, ia sudah terlihat amat matang membaca arah permainan. Di sisi lain, ia amat disukai karena punya skill individu lumayan. Hamsamu bisa menguasai bola dengan baik. Ia kerap difungsikan untuk memulai permainan, transisi bertahan ke menyerang.
Karena kemampuannya yang lengkap sebagai bek, posisinya tak terusik saat Timnas Indonesia melalukan pergantian pelatih. Mulai dari Alfred Rield, Luis Milla, Bima Sakti, dan kini Simon McMenemy selalu memakai jasanya.
Otavio Dutra
Usianya sudah tak lagi muda (35 tahun), namun Otavio Dutra bisa tetap menjaga level permainannya di tingkatan elite. Pemain naturalisasi asal Brasil itu bisa dibilang salah satu bek tengah "asing" terbaik yang bermain di kompetisi kasta elite Tanah Air.
Jam terbangnya di Indonesia tinggi. Ia singgah di banyak klub elite. Mulai dari Persebaya Surabaya, Persipura Jayapura, Gresik United, hingga Bhayangkara FC.
Dengan postur yang amat tinggi (190 cm) ia amat diandalkan sebagai benteng untuk membendung permainan bola-bola atas lawan. Dengan penampilannya, bakal didapuk pemimpin di lini belakang Timnas Indonesia. Ia amat komunikatif dan disegani rekan-rekan setimnya di level klub.
Simon McMenemy butuh pemain dengan kemampuan memimpin seperti seorang Dutra.
Satu lagi kelebihan Dutra, ia tipikal bek bersih, jarang melakukan pelanggaran yang merugikan tim yang ia bela.
Advertisement
Rudolof Yanto Basna
Karier Rudolof Yanto Basna mendadak melesat saat Alfred Riedl memasukkannya ke skuat inti Timnas Indonesia saat berlaga di Piala AFF 2016. Usianya saat itu baru 20 tahun, jejak kariernya pendek baru kali pertama bermain di klub profesional, Mitra Kukar.
Di usia yang sangat muda, ia terlihat tak kuat menghadapi tekanan. Tampil kurang bagus di dua laga penyisihan grup Piala AFF, Yanto Basna terpental dari skuat utama.
Selepas Piala AFF 2016 nama pemain asal Papua itu tenggelam. Ia tak pernah dilirik pelatih-pelatih Timnas Indonesia, yang ragu dengan konsistensi permainnya. Agak sayang sebenarnya, karena sejatinya ia amat bertalenta.
Dibekali skill individu menawan khas pesepak bola Papua, ia sangat fasih memainkan style sepak bola modern era kekinian, bek aktraktif yang kuat penguasaan bola.
Keputusannya berkelana ke Thailand membela klub Khon Kaeni dan Sukhothai mematangkan permainan Yanto. Di Negeri Gajah Putih ia selalu jadi andalan klub yang dibelanya. Simon McMenemy kepincut meminangnya comeback ke Timnas Indonesia.
Yanto Basna kini bukan lagi bek yang doyan melakukan blunder individu. Permainannya amat berkembang.
Victor Igbonefo
Keputusan Simon McMenemy memanggil Victor Igbonefo bukan sesuatu yang mengherankan. Walau usianya memasuki periode uzur (33 tahun), stoper naturalisasi berdarah Nigeria itu matang jam terbang.
Sama seperti halnya Otavio Dutra, Timnas Indonesia butuh sosok jenderal lini belakang yang matang pengalaman.
Victor Igbonefo sedikit dari pemain asal Indonesia yang bisa berkarier panjang di luar negeri. Sejak tahun 2015 hingga saat ini ia berkiprah di Liga Thailand.
Ia tercatat pernah membela Osotspa Samut Prakan, Navy, Nakhon Ratchasima, dan saat ini PTT Rayong. Padahal, setahun lalu kariernya sempat diprediksi telah habis usai membela Persib Bandung. Nyatanya, nilai jualnya masih tinggi.
Kemampuan Victor sebagai bek tengah terhitung lengkap. Jago duel udara, pintar membaca permainan dan penempatan posisi, dan berstamina prima.
Sumber: Bola.com
Advertisement