IMF Waswas karena Ekonomi Dunia Masih Suram

IMF khawatir terhadap rendahnya pemulihan ekonomi dunia.

oleh Tommy K. Rony diperbarui 25 Agu 2019, 16:00 WIB
Mantan Kepala IMF Christine Lagarde (AP/Laurent Gillieron)

Liputan6.com, Washington, D.C. - Kepala Ekonom IMF Gita Gopinath menyuarakan pesimisme terhadap kondisi ekonomi global saat ini. Pihaknya mengaku sedang mencari tanda pemulihan ekonomi global, tetapi sulit menemukannya.

"Selama tahun ini berjalan, semakin sulit untuk menemukan titik-titik terang tersebut. Ada potensi pemulihan, dan kami masih mencarinya di berbagai penjuru dunia, tetapi saya perlu mengakui makin sulit untuk menemukannya," ujar Gopinath seperti dikutip CNBC.

Adanya tensi dagang yang terjadi disebut sebagai salah satu risiko yang mengancam ekonomi. Pertumbuhan global pun tertahan dan dinilai fragile (rapuh).

"Perkembangan-perkembangan yang kami lihat belakangan ini memberikan kami kekhawatiran besar mengenai apa yang akan terjadi pada pertumbuhan ke depannya.

Untuk diketahui, perang dagang antara Amerika Serikat (AS) dan China kembali memanas. Pada Jumat, 23 Agustus 2019, Presiden Donald Trump menambah tarif ke produk China dengan nilai total USD 550 miliar.

Sementara itu Morgan Stanley mengungkap risiko resesi masih tinggi dan meningkat karena melambatnya ekonomi dunia yang menular dari sektor manufaktur. Kondisi bisa makin parah jika perang dagang terus berlanjut.

"Kami memperkirakan jika ketegangan dagang makin meningkat, kita akan memasukai resesi global (pertumbuhan global di bawah 2,5 persen) dalam tiga kuartal ke depan," ujar kepala ekonom Morgan Stanley, Chetan Ahya.

Saksikan Video Pilihan Berikut Ini:


Perang Dagang Berlanjut

Presiden AS Donald Trump dan Presiden China Xi Jinping sebelum melakukan pertemuan di resor Mar a Lago, Florida, Kamis (6/4). Isu perdagangan dan Korea Utara diperkirakan menjadi isu utama pembahasan kedua pemimpin negara tersebut. (AP Photo/Alex Brandon)

Tambahan pertama sebesar 25 persen ke 30 persen ke produk China senilai USD USD 250 miliar. Ada pula tambahan tarif 15 persen kepada produk China senilai USD 330 miliar.

Itu merupakan tindakan balasan Trump kepada China yang memberikan tarif sebesar 5 persen sampai 10 persen ke produk AS senilai USD 75 miliar yang mulai diterapkan secara bertahap per 1 September mendatang.

Trump berkata bahwa AS tidak butuh China. Pasalnya, China dinilai merugikan AS dengan kelakuan mereka yang mencuri kekayaan intelektual AS. 

"Negara kita telah rugi, dengan bodohnya, sebanyak triliunan dolar ke China selama bertahun-tahun. Mereka telah mencuri Hak Kekayaan Intelektual kita dengan jumlah ratusan miliar doar tiap tahun dan mereka mau melanjutkannya. Saya tidak akan membiarkannya terjadi! Kita tidak butuh China dan, sejujurnya, akan lebih baik tanpa mereka," ujar Trump via Twitter pada 23 Agustus 2019.


Menko Darmin: Penurunan Suku Bunga BI jadi Stimulus Investasi

Menko Perekonomian Darmin Nasution berpidato usai menyaksikan penandatanganan kerja sama Indonesia Investment Forum 2018, Bali, Kamis (11/10). Kerja sama juga menerbitkan Kontrak Investasi Kolektif Dana Investasi Infrastruktur. (Liputan6.com/Angga Yuniar)

 Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Darmin Nasution mengapresiasi kebijakan moneter Bank Indonesia dalam menurunkan suku bunga acuan. Menurut dia, dengan penurunan tersebut dapat mendorong investasi dalam negeri.

"Jadi menurunkan policy rate itu stimulus untuk investasi," kata Menko Darmin ditemui di Kantornya, Jakarta, Jumat, 23 Agustus 2019.

Menko Darmin mengatakan, penurunan ini pun sebetulnya merespon dari berbagai negara. Artinya tidak hanya Indonesia saja yang melakukan penurunan suku bunga, melainkan seluruh bank sentral negara lain pun turut melakukan penurunan.

"Karena negara lain juga sedang mengarah turun. Kalo kita turun sendiri, Anda boleh khawatir, tapi kalau yang lain turun, kita turun, itu diperlukan untuk menstimulus investasi semoga produksi naik, ekspor naik, neraca perdagangan bagus," jelas dia.

Kendati begitu, Mantan Direktur Jenderal Pajak itu menegaskan, efektivitas penurunan suku bunga terhadap ekonomi dalam negeri ini memang tidak bisa dilihat secara jangka pendek. Paling tidak butuh waktu lama untuk merespon kebijakan tersebut.

"Respons dari ekonomi kita terhadap itu ya jarang yang instan. Itu pasti perlu beberapa bulan," tegasnya.

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya