PVMBG Teliti Penyebab Puluhan Kali Gempa di Malasari Bogor

Tim PVMBG sedang berada di kaki Gunung Salak untuk meneliti penyebab gempa Bogor.

oleh Achmad Sudarno diperbarui 25 Agu 2019, 21:59 WIB
Tim PVMBG meneliti penyebab gempa yang mengguncang kawasan Malasari, Bogor, Jawa Barat. (Achmad Sudarno/Liputan6.com)

Liputan6.com, Jakarta - Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG) menerjunkan tim untuk meneliti penyebab gempa yang sering terjadi di daerah Malasari, Kecamatan Nanggung, Kabupaten Bogor, Jawa Barat.

Kepala Bidang Mitigasi Gempa Bumi PVMBG, Sri Hidayati menyatakan, timnya sedang berada di kaki Gunung Salak untuk meneliti penyebab gempa yang hampir setiap hari dirasakan warga Malasari, terhitung sejak 10-23 Agustus 2019.

"Kita kirim tim ke lokasi untuk mencoba menjawab itu," ucap Sri saat dihubungi Liputan6.com, Minggu (2/8/2019).

Tak hanya itu, lanjut Sri, PVMBG juga menurunkan dua tenaga ahli untuk melakukan penelitian di kawasan Taman Nasional Gunung Halimun Salak (TNGHS).

PVMBG sejauh ini masih berkesimpulan gempa berturut-turut yang berpusat di Sukabumi dan Bogor selama kurun dua pekan terakhir yaitu merupakan gempa tipe 3. Gempa tipe ini dicirikan dengan munculnya aktivitas gempa yang berlangsung secara terus menerus dengan magnitudo yang relatif kecil tanpa ada gempa utama.

"Bisa jadi itu kategori gempa swarm," ujar Sri.

Swarm adalah serangkaian aktivitas gempa yang terjadi di kawasan sangat lokal dengan magnitudo relatif kecil yaitu kurang dari M 4, memiliki karakteristik frekuensi kejadian sangat tinggi dan berlangsung dalam periode waktu tertentu.

Berdasarkan klaster sebaran pusat gempa yang berlangsung saat ini, tampak aktivitasnya sangat lokal terkosentrasi di sebelah barat daya kaki Gunung Salak.

 

Saksikan Video Pilihan Berikut Ini:


Bukan Gejala Gunung Salak Meletus

Gunung Salak. (Liputan6.com/Achmad Sudarno)

Namun demikian, 83 kali gempa bumi yang berlangsung secara terus menerus bukan berarti menunjukan gejala Gunung Salak akan meletus. Bahkan, gempa bumi yang terjadi pada 8 September 2012 dan hanya berjarak 3 km dari puncak Gunung Salak, tetapi tidak berpengaruh ke gunung yang memiliki ketinggian 2.211 mdpl itu.

"Dan tidak betul (sering gempa dekat gunung), secara statistik dunia, efek gempa bumi terhadap aktivitas gunung api hanya sekitar 1 persen alias sangat kecil atau jarang. Kalaupun menimbulkan efek kebanyakan bersifat erupsi uap air saja," terang Kepala Bidang Mitigasi Gunung Api PVMBG Badan Geologi Kementerian ESDM, Hendra Gunawan.

Secara umum, penyebab gunung api meletus itu antara lain, pertama karena penambahan volume magma yang berada di bawah gunung api akibat adanya injeksi magma baru. Kedua, terjadi pengkristalan magma yang ada di dapur magma, dan ketiga dinding di dapur magma runtuh. Sehingga dapur magma terjadi penambahan volume secara signifikan dan harus dikeluarkan.

Faktor lainnya karena pelemahan di bagian tudungnya gunung akibat proses hydrothermal, kemudian oleh gaya tarik bulan dan matahari ketika gerhana. Sebab ketika bumi berada satu garis dengan matahari dan bulan, gaya tarikannya akan maksimum.

"Tapi itu prinsip dasar saja. Pada praktiknya kita menyimpulkan penyebab erupsi berdasarkan data monitoring gunung. Sulit tanpa data untuk menjelaskan bagaimana mekanisme erupsi di suatu gunung," terangnya.

"90 persen itu dasar utama menerangkan mekanisme erupsi," Tambah Hendra.

 


Warga Bertahan Tidur di Tenda

Korban gempa di Bogor lebih memilih tinggal di pengungsian ketimbang di rumahnya sendiri. (Liputan6.com/Achmad Sudarno)

Sejak diguncang gempa selama dua pekan, warga Desa Malasari, Kecamatan Nanggung, Kabupaten Bogor, Jawa Barat hingga kini lebih memilih tidur di tenda ketimbang di dalam rumah karena khawatir adanya gempa susulan.

Tenda-tenda darurat didirikan di tengah perkebunan teh tak jauh dari rumah mereka. Banyak tenda berdiri dibuat ala kadarnya asalkan bisa menjadi tempat istirahat dan memberikan rasa aman dikala kembali terjadi gempa.

Kepala Dusun Oji Sajikin Kepala Dusun Wilayah IV Desa Malasari, saat ini tercatat ada 294 warga dari Kampung Talahab Bedeng dan Talahab Sentral yang tidur di tenda darurat. Sementara untuk jumlah pengungsi dari Kampung Garung setiap harinya berubah. Dikala intensitas gempa menurun, mereka memilih kembali tinggal di rumah.

"Mereka tidur di tenda ada yang sudah 10 hari, ada juga baru 3 hari pas guncangannya agak besar," kata Oji.

Oji menambahkan, ratusan warga sampai saat ini masih bertahan tinggal di tenda karena mereka khawatir terjadi gempa susulan dengan goncangan yang lebih besar lagi.

"Masih trauma dan belum berani pulang. Apalagi hampir tiap hari bahkan ada dalam sehari terjadi dua-kali kali gempa," kata dia.

Alasan lainnya mereka menunggu penjelasan langsung dari pihak Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) maupun Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG) terkait bencana alam yang sudah berlangsung selama dua pekan terakhir ini.

"Belum tahu sampai kapan tidur di tenda. Mereka menunggu penjelasan dari BMKG, sejauh mana resiko bahaya goncangan tersebut. Kalau dari yang bukan ahlinya kurang dipercaya," terang Oji. (Achmad Sudarno)

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya