Liputan6.com, Aceh - Rabu malam, 21 Agustus sekitar pukul 20.00 WIB, Kurniawan menerima pesan dari seorang Bintara Pembina Desa (Babinsa). Bunyinya tentang rencana TNI mengerahkan alat berat untuk menggusur rumah warga jika tidak mau beranjak dari tanah sengketa.
Kepala Desa Meunasah Kulam, Kecamatan Masjid Raya, Kabupaten Aceh Besar, itu terkesiap. Sebanyak 22 Kepala Keluarga (KK) terancam hengkang dari tanah yang telah puluhan tahun mereka duduki.
Advertisement
Desa Meunasah Kulam memiliki luas 200 hektare lebih, yang didiami oleh 250 KK, termasuk di antaranya 35 orang Inong Balee atau mantan kombatan perempuan. Lahan yang menjadi sengketa, itu luasnya sekitar satu hektare lebih.
Di atas tanah sengketa tersebut berdiri sekitar 35 unit rumah sebelum gempa dan tsunami mendera pada 2004. Lembaga kemanusiaan batal membangun kembali rumah-rumah yang telah porak-poranda, itu lantaran tanah tersebut diklaim sebagai aset TNI AD.
"Tanah di situ tidak jadi, ditahan sama mereka (TNI AD). Jadi orang NGO Kanada tidak mau bangun kalau tidak ada sertifikat. Makanya tinggal rumah awal saja, di situ," jelas Kurniawan, kepada Liputan6.com, akhir pekan silam.
Hingga saat ini, hanya tersisa rumah sisa sebelum tragedi gempa dan tsunami terjadi. Warga tidak diperbolehkan mendirikan bangunan di atas tanah tersebut.
Kasus sengketa penguasaan lahan, itu telah masuk dalam daftar pendampingan YLBHI-LBH Banda Aceh. Lembaga nonpemerintah, itu berinisiatif melaporkan kasus ini ke Kantor Sekretariat Presiden (KSP) RI pada 22 Agustus lalu.
Riwayat sengketa penguasaan lahan antara warga versus angkatan darat, ini sejatinya telah berlangsung sejak puluhan tahun silam. Pertama muncul sejak Koramil 05/Mesjid Raya menerbitkan surat perjanjian bahwa masyarakat telah menumpang di atas tanah milik TNI pada 1972.
Menurut Kurniawan, terdapat kejanggalan pada surat tersebut. Ada tanda tangan orang yang sudah meninggal dunia, termasuk tanda tangan masyarakat yang diduga telah direkayasa.
Hingga MoU Helsinki menandai berakhirnya konflik bersenjata di Aceh, konflik lahan di desa tersebut masih terbilang laten. Pihak Koramil 05/Mesjid Raya mulai melakukan pendekatan secara intens untuk mendapat pengakuan secara tertulis sejak Juni lalu.
"Disuruh teken surat pernyataan bahwa masyarakat menumpang. Apabila sewaktu-waktu TNI perlu, bersedia pindah tanpa ganti rugi," tutur Kurniawan.
Pihak koramil beberapa kali memanggil warga yang difasilitasi aparatur desa. Kurniawan mengaku tidak terlibat dalam pertemuan-pertemuan tersebut.
Dirinya kukuh bahwa tanah yang diklaim oleh TNI, itu milik masyarakat secara turun temurun. Mereka memiliki bukti-bukti berupa surat jual beli pembelian tanah antarwarga yang dilakukan sepanjang tahun 1963-1967.
"Per bidang masyarakat dibeli. Ada yang jual tahun 1963, ada 1967. Ada semua surat jual beli," jelas kurniawan.
Bahwa kawasan tersebut pernah dikuasai oleh Belanda menjadi dasar justifikasi koramil untuk menguasainya. Bagi Kurniawan, dalih tersebut terbilang lucu, karena seharusnya, tanah bekas jajahan otomatis kembali kepada pribumi.
Dirinya bersikeras menolak meneken surat sporadik yang diajukan oleh koramil. Ia yakin sikapnya itu yang menjadi dasar diterimanya pesan berisi ultimatum rencana penggusuran yang diterimanya belum lama ini.
Intimidasi
Kurniawan juga mengaku mendapat intimidasi. Dia diancam akan dimasukkan dalam kerangkeng jika tidak mau meneken surat yang diajukan kepadanya.
"Istri, ada anak, pergi kerja, kalau kamu tidak teken, kumasukkan dalam sel. Itu bulan tujuh," ungkap Kurniawan.
Dugaan adanya intimidasi yang dilakukan TNI dikecam Direktur YLBHI-LBH Banda Aceh, Syahrul. Sebagai alat negara yang dipersenjatai, TNI diminta tidak melakukan pendekatan berbau represi terhadap warga negara.
Ditambah lagi, TNI tidak punya hak kepemilikan atas tanah, tetapi hak penggunaan. Jadi, tidak ada dasar yang menjustifikasi bahwa tanah tersebut milik Koramil 05/Mesjid Raya.
"Jika mengklaim itu tanah TNI, mau digunakan untuk apa? Kedua, kenapa harus ditempat tinggal warga mereka berusaha merebut, kan, banyak lahan-lahan lain yang belum dimiliki oleh masyarakat," ujar Syahrul, kepada Liputan6.com, Sabtu sore (24/8/2019).
Seyogianya, imbuh Syahrul, sebagai alat negara, TNI menjadi fasilitator dalam pemenuhan hak warga negara, khususnya hak atas tempat tinggal yang notabene merupakan salah satu poin hak ekonomi, sosial dan budaya. Bukan malah menyingkirkan warga dari tempat tinggal mereka sendiri.
Dasar hak atas tempat tinggal, ini dapat dilihat pada pasal 28 H ayat 1 UUD 1945, serta pasal 40 UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM. Lalu, pasal 11 ayat 1 UU Nomor 11 tahun 2015 tentang Pengesahan Perjanjian Internasional Hak Ekosob, dan pasal 5 serta 19 UU Nomor 1 tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukinam.
"Jelas, ini pelanggaran atas hak asasi manusia (HAM)," putus Syahrul.
YLBHI-LBH Banda Aceh sedang berusaha agar pihak KSP RI turun tangan dalam menyelesaikan masalah ini. Karena, warga sudah pernah mengadu ke pemerintah setempat, namun, hasilnya nol.
Tim Liputan6.com mendapat jawaban yang lebih kurang mendukung fakta bahwa laporan sengketa lahan di Desa Meunasah Kulam tak pernah ada di atas meja birokrat kabupaten tersebut. Ini berbanding terbalik dengan fakta bahwa kasus tersebut sudah berlangsung menahun.
Kepala Dinas Pertanahan Aceh Besar, Alyadi, mengaku tidak tahu menahu mengenai masalah ini pada awalnya. Ia juga baru tahu ketika camat menyampaikan kepadanya.
"Belum tahu banyak seperti apa sebenarnya. Kan, baru, ya. Persisnya seperti apa saya juga enggak bisa memberi keterangan apa-apa," jawab dia.
Sebaliknya, Camat Mesjid Raya, Al Mubarak Akbar, menolak untuk mengomentari masalah ini. Ia hanya mengucapkan kata maaf beberapa kali ketika dihubungi Liputan6.com pada Jumat, 23 Agustus 2019.
"Mohon maaf sebesar-besarnya, ya," ucap Akbar.
Advertisement
Dalih TNI
Dandim 01/01 BS, Kolonel Inf. Hasandi Lubis menampik pihaknya dikatakan menyerobot tanah masyarakat. Berbanding terbalik dengan pernyataan Syahrul, Hasandi dengan tegas menyatakan bahwa tanah tersebut aset TNI AD.
Salah satu buktinya ialah surat perjanjian yang dibuat pada tahun 1972. Di dalam surat tersebut, disebutkan bahwa status masyarakat atas tanah yang bersengketa, itu pinjam pakai.
"Apabila digunakan oleh AD, siap mengembalikan tanpa menuntut ganti rugi. Bukan apabila mau digunakan AD. Itu perjanjian tahun 1972. Dengan tahun 1972, dan sekarang sudah waktu yang lama, itu ternyata di dalamnya sudah ada yang memperjualbelikan tanah negara. Nah, ini, kan, enggak betul," kata Hasandi, kepada Liputan6.com, Jumat sore.
Menurut Hasandi, masalah kian terbelit oleh perkara ganti rugi pembayaran setelah tanah tersebut diperjualbelikan oleh sesama masyarakat. Ini akibat di antara orang-orang yang melakukan akad jual beli, itu ada yang sudah meninggal dunia.
"Yang menjual ada yang sudah meninggal. Yang membeli merasa harus ganti, dong, kerugian. Tapi, kan, bukan negara yang mengganti rugi, harusnya yang menjual. Nah, ini, yang mau kita tertibkan," ujarnya.
Rumor adanya intimidasi serta rencana penggusuran ditepis Hasandi. Pihaknya hanya ingin mendapat pengakuan bahwa masyarakat membangun di atas tanah milik TNI AD.
"Kita bukan mau mengusir, mau membangun juga enggak ada anggaran AD membangun koramil sampai 1-2 hektare kayak gitu, kan, enggak ada," katanya.
Hasandi tidak keberatan jika tanah yang diklaim milik TNI AD, itu dipakai untuk fasilitas umum. Selama ini pihaknya juga tidak menuntut hak hipotek atas tanah tersebut.
"Selama ini, kita tidak pernah, yang seharusnya, secara tertib administrasi pemanfaatan aset, kan harus bayar pajak dong, ke negara. Enggak ada bebanlah. Untuk bayar membayar, tidak ada," jelas Hasandi.
Simak juga video pilihan berikut ini: