Liputan6.com, Jakarta - Kementerian Keuangan mencatat defisit Anggaran Penerimaan dan Belanja Negara (APBN) hingga 31 Juli 2019 sebesar Rp 183,7 triliun. Defisit tersebut berasal dari belanja negara sebesar Rp 1.234 triliun, sementara pendapatan sebesar Rp 1.052 triliun.
"Defisit Rp 183,7 triliun dengan keseimbangan primer mencapai negatif Rp 25 triliun," ujar Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati di Kantor Kemenkeu, Jakarta, Senin (26/8/2019).
Baca Juga
Advertisement
Sri Mulyani mengatakan, pendapatan sebesar Rp 1.052 triliun dikumpulkan dari pendapatan perpajakan sebesar Rp 810 triliun dan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) Rp 241 triliun.
"Realisasi penerimanaan pajak sebesar Rp 705 triliun atau 44,7 persen dan realisasi bea dan cukai mencapai Rp 105,2 triliun atau sekitar 50 persen dari target APBN 2019," jelasnya.
Dari sisi belanja negara, belanja pemerintah pusat mencapai Rp 762,5 triliun atau 47 persen dari pagu APBN 2019. Angka ini menngkat 9,24 persen dibandingkan realisasi pada periode yang sama tahun sebelumnya.
"Transfer ke Daerah dan Dana Desa mencapai Rp 475 triliun atau 57 persen dari pagu anggaran 2019," jelasnya.
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
Mampukah Pemerintah Ubah Defisit APBN jadi Surplus?
Sebelumnya, Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) pada periode Juni 2019 mengalami defisit sebesar Rp 135,8 triliun. Realisasi tersebut setara dengan 54,3 persen dari estimasi APBN 2019 yang menetapkan proyeksi defisit hingga akhir tahun sebesar Rp 296 triliun.
Lalu bisakah defisit APBN ditekan menjadi surplus?
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan, mengelola APBN tidak diproyeksi untuk dapat mengubah defisit menjadi surplus. Meski demikian, pemerintah berupaya untuk mengelola perekonomian melalui peningkatan pendapatan negara dari perpajakan.
"Kalau mengelola APBN kita tidak melakukan proyeksi seperti itu. Tapi yang diperhatikan dan terus menerus dikelola bagaimana perkembangan dari perekonomian yang sangat menentukan penerimaan dari perpajakan dan PNBP," ujarnya di Kantor Kemenkeu, Jakarta, pada Senin 19 Agustus 2019.
BACA JUGA
Sri Mulyani melanjutkan pendapatan perpajakan negara tentu sangat dinamis dan dipengaruhi oleh komoditas. Hal tersebut tergantung pada nilai tukar rupiah terhadap mata uang asing, situasi perdagangan dunia dan juga harga berbagai komoditas andalan ekspor.
"Karena itu sesuatu yang dinamis, seperti penerimaan pajak dari ekonomi yang berbasis komoditas ditentukan nilai kurs, harga komoditas, situasi perdagangan internasional dan pengaruhi APBN baik penerimaan pajak maupun bukan pajak," jelasnya.
Dia mengatakan apabila dalam perjalanannya, asumsi perekonomian yang ditetapkan ternyata berbeda dengan kondisi saat ini maka pemerintah akan berupaya mendekatkan pada asumsi awal dengan melakukan berbagai cara.
"Kalau dilihat ada perkembangan dan bergerak berbeda dengan basis asumsi yang jadi landasan awal, maka kita harus lihat bagaimana tren ke depan. Apakah ada faktor lain yang bisa mengkompisite sehingga kita akan berupaya mendekatkan pada asumsi awal, terutama sisi pencapaian," paparnya.
Mantan Direktur Pelaksa Bank Dunia tersebut menambahkan, pemerintah tidak hanya mendesain agar APBN tidak defisit. Akan tetapi bagaimana membuat desain APBN memberi dampak maksimal bagi masyarakat.
"Jadi mengelola APBN ada dinamika yang harus kita kelola terus-menerus. Di sisi lain fokus kita tidak hanya mengelola APBN tapi mengelola ekonomi. Jadi bagaimana APBN tetap jadi katalis dorong perekonomian," tandasnya.
Advertisement