Liputan6.com, Jakarta - Cokelat ibarat napas kehidupan bagi warga Desa Abreso, Distrik Ransiki, Manokwari Selatan, Papua Barat. Napas itu sempat terhenti beberapa tahun sebelum kembali bangkit dengan semangat lebih teguh.
Cokelat dirintis di Ransiki sebenarnya sejak zaman Belanda. Tetapi baru pada 1980an, sebuah perusahaan menggelutinya usaha cokelat di tempat itu secara serius dengan menjadikannya sebagai pusat pelatihan cokelat bagi warga Papua dan Papua Barat.
Baca Juga
Advertisement
Namun pada 2006, perusahaan yang menjadi tempat warga bergantung hidup dinyatakan pailit. Masyarakat yang tinggal di buffer zone Pegunungan Arfak seakan kehilangan pegangan. Meski masih mengusahakan perkebunan cokelat, mereka harus berusaha lebih payah untuk menjual komoditas andalan itu.
Baru pada 16 November 2017, Pemda Manokwari Selatan merintis Koperasi Petani Cokran Eiber Suth untuk membangkitkan kembali kejayaan cokelat Ransiki. Hal itu sesuai arti nama koperasi, yakni bersatu untuk bangkit (unity to arise).
"Kakao selama ditinggalkan perusahaan sejak 2006, masyarakat petik sendiri dan jual sendiri. Setelah pemekaran, kabupaten terbentuk, pemda baru bentuk koperasi," katanya saat ditemui di Jakarta, Kamis, 22 Agustus 2019.
Setelah koperasi terbentuk, masa depan Ransiki mulai kembali cerah. Bersama Yayasan Inisiatif Dagang Hijau (YDIH), mereka mengusahakan cokelat yang ramah lingkungan. Tidak ada pestisida buatan mengingat sekitar kawasan itu adalah buffer zone Pegunungan Arfak.
Koperasi membeli sekitar 45 ton cokelat dari petani setiap bulan. Harganya kini sekitar Rp23 ribu per kilogram. Oleh koperasi, cokelat itu difermentasi dan dijual kepada produsen cokelat olahan yang berminat.
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
Nikmat Bikin Ketagihan
Pipiltin Cocoa menjadi produsen lokal yang tertarik memasarkan cokelat Ransiki. Bukan semata kisah para petani Ransiki yang menuai simpati, tetapi cokelat tersebut memang benar-benar nikmat.
Berbeda dengan cokelat Aceh yang lebih asam dan pahit seperti citarasa kopi Gayo, cokelat Ransiki juga punya rasa yang unik hingga membuat penikmat cokelat ketagihan. Walau kandungan cokelat terbilang tinggi, sampai 72 persen, cokelat tersebut tak terlalu pahit.
"Dari cokelat Ransiki, yang kami temukan rasa umami. Umami itu bisa terasa di seluruh reseptor lidah. Langsung gurih. Rasanya creamy tanpa ditambahkan susu. Jadi, seakan-akan ada susunya," ujar Tissa Aunila, pemilik Pipiltin Cocoa.
Ransiki dijual dalam bentuk cokelat batangan. Sepuluh persen profit yang didapat, ujar Tissa, akan diserahkan kepada koperasi sebagai modal pengembangan.
Untuk itu, kemasan cokelat didesain sedemikian rupa dengan memasukkan sentuhan burung vogelkop, burung endemik yang dikenal jantannya memiliki bulu berwarna biru. Warna biru terang itu berguna untuk merayu betina kawin.
"Kita tertarik untuk memasarkan cokelat Ransiki karena pemda komitmen untuk menjaga 72 persen daerah itu tetap sebagai hutan," sambungnya.
Advertisement
Menjaga Mata Air
Tissa mengatakan pihaknya hanya membuka jalan agar cokelat Ransiki lebih banyak peminat. Apalagi, cokelat Ransiki masih bisa memenuhi banyak produsen.
"Kami punya requirement harus fully fermented. Tapi banyak produsen cokelat, terutama yang mass produce, enggak terlalu memedulikan fermentasi. Mereka bisa memenuhi pasar itu juga," katanya.
Di sisi lain, Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Provinsi Papua Barat Charlie D Heatubun menegaskan usaha perkebunan cokelat Ransiki harus dipertahankan. Pasalnya, keberadaan mereka bisa menjaga kelestarian hutan Pegunungan Arfak.
Tanah subur di Manokwari Selatan membuat cokelat Ransiki bisa berkembang tanpa dipupuk. Di sisi lain, kesuburan tanah itu bergantung pada kualitas hutan.
"Kalau hutan rusak, sumber air berkurang. Rasa cokelat jadi tidak enak. Ujung-ujungnya masyarakat yang rugi. Dan mereka sudah sadar soal ini," kata dia.