Liputan6.com, Jakarta - Mengirimkan foto tanpa busana atau mengirimkan pesan seks (sexting) pada pasangan menjadi semakin umum belakangan ini. Alasan yang biasanya muncul adalah untuk “memancing” pasangan jika Anda tidak sedang bersama secara fisik. Tetapi, seorang peneliti menemukan motif yang sangat kompleks dibalik perilaku ini.
Morgan Johnstonbaugh, seorang dokter di University of Arizona, AS, melakukan penelitian untuk mencari tahu apa yang memotivasi seseorang untuk mengirimkan foto telanjangnya pada orang lain. Dia menyurvei 1.918 mahasiswa selama satu tahun dan bertanya pada mereka tentang kebiasaan mengirim sexting.
Advertisement
Para mahasiswa tersebut diminta untuk menjelaskan kapan terakhir kali mereka melakukan sexting atau mengirim foto semi-telanjang kepada orang lain secara elektronik. Sekitar 56 persen mengatakan mereka pernah mengirim setidaknya sekali.
Dilansir dari Health pada Selasa, 27 Agustus 2019, 73 persen mereka yang melaporkan pernah melakukannya adalah perempuan. Para mahasiswa kemudian ditanya mengenai alasan di balik sexting. Hasilnya, para siswa perempuan empat kali lebih mungkin melakukan berkirim pesan seks dibanding laki-laki. Alasannya untuk mencegah orang yang mereka tuju kehilangan minat seksual pada mereka.
Gunanya Sexting dan Berkirim Pesan Seks
Pada saat yang sama, perempuan empat kali lebih mungkin melakukan sexting daripada laki-laki. Mereka mengaku, itu adalah cara yang digunakan agar merasa berkuasa dan meningkatkan kepercayaan diri ketika berhubungan seks.
“Interaksi ini bisa menjadi jauh lebih kompleks dari apa yang disadari orang. Ketika Anda berpikir untuk membagikan foto Anda dengan seseorang, Anda mungkin memiliki ide-ide yang mempengaruhi perilaku Anda,” kata Johnstonbaugh. Misalnya, Anda mungkin melakukannya untuk merangsang pasangan atau memengaruhi reaksi mereka dengan cara lain.
Johnstonbaugh membagikan penelitiannya di American Sociological Association Annual Meeting, New York. Dia berharap penelitian ini dapat memicu diskusi seputar sexting dan membantu orang lain, terutama orangtua dari para remaja bahwa itu adalah kegiatan yang kompleks dan tidak boleh diabaikan.
“Banyak orangtua tidak mau memikirkan hal itu, atau mereka hanya sekadar memberi tahu anak-anak mereka untuk tidak melakukannya. Tapi pada kenyataannya, seperti pendidikan mengenai seks, kita harus berbicara tentang apa yang dilakukan remaja dengan pasangannya dan apa konsekuensinya,” kata Johnstonbaugh.
Hasil studi ini mungkin dapat membantu Anda berpikir lebih jauh tentang motif mengirimkan foto-foto eksplisit tersebut, dan menyadari bahwa seks di dunia nyata dan seks melalui digital tidak berada dalam satu dimensi yang sama.
Penulis: Diviya Agatha
Advertisement