Di Ibu Kota Baru, PNS Bakal Tinggal di Rusun

Pemerintah tengah mempersiapkan hunian bagi PNS di ibu kota baru nanti.

oleh Liputan6.com diperbarui 27 Agu 2019, 12:17 WIB
Infografis Ibu Kota Baru Indonesia di Kalimantan Timur. (Liputan6.com/Triyasni)

Liputan6.com, Jakarta Dirjen Penyediaan Perumahan PUPR, Khalawi mengatakan, pihaknya siap memenuhi kebutuhan perumahan bagi PNS atau ASN yang pindah ke ibu kota baru baru. Nantinya akan disediakan dua jenis hunian, yakni rumah dinas dan rumah umum.

Menurut dia, untuk rumah dinas nantinya tidak dapat dimiliki oleh ASN. Jika ASN ingin memiliki hunian pribadi, maka dapat membeli hunian yang disediakan pengembang.

"Tidak. Rumah negara. Saya katakan rumah dinas itu rumah negara. Nggak jadi milik. Yang milik itu rumah umum kalau mau beli nanti pengembang yang menyiapkan," kata dia, saat ditemui, di Kementerian PUPR, Jakarta, Selasa (27/8/2019).

Terkait jumlah hunian yang bakal dibangun, kata dia, saat ini pihaknya masih menunggu konsep makro dari Bappenas. Juga kepastian berapa jumlah ASN yang bakal hijrah ke ibu kota baru.

"Nanti arahannya saya tunggu dari Bappenas. dari pimpinan belum ada arahan. Kita siapkan saja," tegas dia.

Kita akan menyiapkan pertama, dekat dengan tempat kerjanya. Contohnya dibangun asrama atau tempat tinggalnya. Untuk rumah umum akan kita petakan di sana. Tapi jumlahnya masih dalam analisis dan perhitungan.

Dia menambahkan, nantinya di ibu kota baru rumah ASN akan dibangun dalam dua tipe. Pertama model rusun atau apartemen. Kedua dalam bentuk landed house atau rumah tapak.

"Tentu beda tipe-tipenya. Untuk pejabat eselon II dan ASN lainnya itu vertikal (rusun atau apartemen). Untuk pejabat Kementerian dan Lembaga itu rumah dinas landed (rumah tapak atau landed house)," tandasnya. 

 

Reporter: Wilfridus Setu Embu

Sumber: Merdeka.com

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:


Ibu Kota Pindah ke Kalimantan Timur, Waspadai Hal Ini!

Presiden Jokowi mengumumkan pemindahan Ibu Kota negara baru ke Penajam Paser Utara dan Kutai Kertanegara. (Liputan6.com/Lizsa Egeham)

Presiden Joko Widodo (Jokowi) memutuskan sebagian Kabupaten Penajam Paser Utara dan sebagian di sebagian Kutai Kartanegara, Provinsi Kalimantan Timur sebagai lokasi ibu kota baru pengganti Jakarta.

Keputusan Jokowi ini langsung mengundang banyak respon dari berbagai kalangan, salah satunya para pengamat ekonomi. Direktur Eksekutif Economic Action Indonesia (EconAct) Ronny P Sasmita memaparkan ada beberapa hal yang harus diwaspadai pemerintah jika pemindahan ibu kota mulai dilaksanakan.

Pertama, secara ekonomi, Ronny berbpendapat, Indonesia sedang menghadapi ancaman stagnasi ekonomi domestik dan ancaman perlambatan ekonomi dunia.

"Saya meyakini, kebijakan memindahkankan ibukota tidak akan banyak membantu memperbaiki pertumbuhan ekonomi kita, baik secara kuantitas maupun secara kualitas," ungkap Ronny kepada Liputan6.com, Selasa (27/8/2019).

Kedua, Ronny melanjutkan, peningkatan belanja proyek infrastruktur di lokasi ibu kota baru akan meningkatkan kuatitas belanja modal yang diimpor. Selama ini, proyek-proyek infrastruktur dinilai telah membuktikan itu. Dengan demikian, pemindahan ibu kota akan ikut memperlebar defisit transaksi berjalan kita.

Ketiga, menurut Ronny, peningkatan proyek infrastruktur ibu kota baru dengan mayoritas anggaran non budgeter akan memperlebar peluang pembiayaan dari pihak ketiga, dalam bentuk utang, yang akan membebani anggaran nasional di masa depan.

"Beban anggaran di masa depan akan mengurangi daya gedor fiskal nasional untuk melakukan kebijakan countercylical di masa depan, untuk menggenjot laju ekonomi nasional. Artinya, kemampuan pemerintah dalam menangkal ancaman perlambatan ekonomi di masa depan akan semakin berkurang," ungkap pria yang juga sebagai Tim Ahli Ekonomi Komite Ekonomi dan Industri Nasional (KEIN) itu.


Selanjutnya

Banner Infografis Ibu Kota Baru Indonesia di Kalimantan Timur. (Liputan6.com/Triyasni)

Keempat, imbasnya, pembangunan ibu kota baru berbasiskan pembiayaan pihak ketiga, secara politik dan moral, akan membebani kemandirian pusat pemerintahan nasional alias memperbesar pengaruh kreditor atau pihak ketiga di ibukota baru. Kebijakan-kebijakan ke depannya, dinilai akan berbasis kepada kepentingan penyelamatan pembiayaan pembayaran utang negara, ketimbang kepentingan rakyat banyak.

Sementara untuk kewaspadaan kelima, secara lingkungan. Secara lingkungan, diperkirankan akan terjadi proses deforestasi besar-besaran di Kalimantan nantinya, yang akan mengurangi kawasan hijau nasional.

Pasal 7 ayat (2) PP No.13/2017 tentang RTRW Nasional menyebutkan strategi untuk pemeliharaan dan perwujudan kelestarian fungsi lingkungan hidup untuk Pulau Kalimantan dengan luas paling sedikit 40 persen dari luas pulau tersebut harus sesuai dengan kondisi, karakter, dan fungsi ekosistemnya. 

Dan keenam, alasan pemerataan bukanlah alasan yang tepat untuk pemindahan ibukota. Baginya, pemerataan adalah soal keberpihakan kebijakan, bukan soal pemindahan ibukota.

"Dimana pun letak ibu kota, pemerataan bisa dilakukan dengan berbagai kebijakan yang pro terhadap pemerataan. Sebaliknya, sekalipun ibu kota dipindakan kemanapun, jika kebijakan-kebijakannya tidak pro pemerataan, maka hasilnya tetap akan nihil," tegas Ronny.

"Jadi saya kira, boleh jadi pemindahan ibukota adalah kebutuhan, tapi bukan kebutuhan mendesak saat ini. Jangan sampai kebijkan pemindahan ibukota justru menjadi pengalih perhatian publik atas berbagai beban dan ancama ekonomi yang sedang kita hadapi," pungkas Ronny.

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya