Bank Sentral Jerman Serukan Tak Perlu Panik Meski Ada Tanda Resesi

Ada 9.000 perusahaan yang disurvei dan hasilnya kepercayaan bisnis turun dari 95,7 poin di bulan Juli menjadi kini 94,3 poin.

oleh Tommy K. Rony diperbarui 27 Agu 2019, 19:05 WIB
Angela Merkel (AP)

Liputan6.com, Berlin - Anjloknya confidence di kalangan pebisnis Jerman memunculkan kecemasan soal resesi. Sektor manufaktur, jasa, dagang, dan konstrusi sama-sama memandang negatif kondisi ekonomi terkini.

Dilansir Deutsche Welle, Selasa (27/8/2019), mood suram di dunia bisnis Jerman dipengaruhi oleh perang dagang antara Amerika Serikat (AS) dan China. Keluarnya Inggris dari Uni Eropa juga berkontribusi terhadap kecemasan di bisnis Jerman.

Laporan itu berdasarkan indeks confidence bisnis dari institut Ifo di Munich, Jerman. Ada 9.000 perusahaan yang disurvei dan hasilnya kepercayaan bisnis turun dari 95,7 poin di bulan Juli menjadi kini 94,3 poin.

"Tidak ada secercah cahaya yang dapat dilihat di industri-industri kunci Jerman," tulis laporan Ifo.

Kepuasan sektor manufaktur terhadap situasi ekonomi terkini sedang anjlok. Sektor jas jugaa cemas terhadap situasi saat ini dan para manajer mulai skeptis soal masa yang akan datang.

Sektor perdagangan Jerman turut memberi pandangan negatif karena didorong wholesaling. Hanya sektor konstruksi masih optimistis dan tidak menilai adanya perubahan bisnis menjadi negatif.

"Pesimisme serupa di antara perusahaan industri terakhir kali terlihat selama tahun krisis 2009," ujar Presiden Ifo, Clemens Fuest.

Saksikan Video Pilihan Berikut Ini:


Bank Sentral Tak Panik

Angela Merkel disumpah menjadi Kanselir Jerman untuk kali keempat pada 14 Maret 2018. (AP Photo/Michael Sohn)

Pekan lalu, Bank Sentral Jerman (Bundesbank/Bank Federal) sempat mengingatkan terjadinya resesi pada kuartal III tahun ini. Meski demikian, Presiden Bundesbank Jens Weidmann menyebut tidak perlu ada kepanikan terjadi.

Pihak Bank Sentral yakin kesulitan ekonomi terkini hanya akibat adanya ketidakpastian akibat faktor politik, seperti Brexit dan ketegangan dagang. Sementara, Menteri Keuangan Olaf Scholz juga mengatakan Jerman harus memperkuat diri melawan terjadinya krisis ekonomi.

"Terkadang penting bagi kita untuk punya cukup kekuatan untuk bereaksi, contohnya ketika ada perubahan menyeluruh," ucap Scholz.

Ekonomi Jerman amat bergantung kepada ekspor sehingga terdampak oleh perang dagang yang terjadi. China juga merupakan importir terbesar ketiga produk-produk Jerman.


Menkeu AS: Tak Ada Resesi di Depan Mata

Donald Trump dalam safari politiknya di Biloxi, negara bagian Mississippi, pada November 2018 (AFP/Jim Watson)

Menteri Keuangan Amerika Serikat (AS) Steven Mnuchin optimistis tidak ada resesi di depan mata. Munculnya "pertanda" resesi pada akhir pekan lalu juga dinilai tidak cukup oleh Mnuchin.

"Kami tidak melihat resesi di cakrawala," ucap Mnuchin seperti dikutip Fox Business.

"Pertanda" yang muncul pekan lalu adalah inverted yield curve pada surat berharga AS. Imbal hasil surat dengan tenor 2 tahun pun sempat lebih tinggi ketimbang yang 10 tahun.

Fenomena itu dinilai awal mula terjadinya resesi. Namun, CNBC mencatat inverted yiled curve yang terjadi pekan lalu hanya berlangsung sejenak, sementara untuk menjadi gejala resesi seharusnya fenomena itu bertahan lebih lama.

"Saya tidak berpikir yield curve itu mencerminkan resesi. Saya pikir yield curve mencerminkan fakta bahwa itu mengantisipasi Fed yang akan menurunkan rates jangka-pendek," tambah Mnuchin.

Mnuchin yang berbicara dari G7 Prancis turut mengungkit progres perang dagang yang terjadi. Ia yakin China akan membayar dampak tarif yang diterapkan AS.

Ekonomi AS pun dipandang sebagai titik cerah di dunia. Mnuchin memprediksi negara Eropa tertarik mengikuti langkah ekonomi AS.

"Orang-orang membicarakan melakukan pemotongan pajak dan memangkas regulasi di Eropa, jadi orang-orang memandang tinggi kebijakan ekonomi Trump dan ingin meniru mereka karena itulah alasan kita memiliki pertumbuhan ini," ujar Mnuchin.

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya