Liputan6.com, Jakarta Kementerian Keuangan mengusulkan iuran Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan naik serentak pada 2020. Adapun rincian usulan kenaikan adalah kelas III dari Rp 25.500 menjadi Rp 42.000, kelas II dari Rp 51.000 menjadi Rp 110.000, lalu kelas I dari Rp 80.000 menjadi Rp 160.000.
Menteri Keuangan Sri Mulyani mengatakan, kenaikan iuran tersebut akan membantu keuangan BPJS Kesehatan yang terus mengalami defisit sejak 2014. Dengan iuran baru, maka BPJS Kesehatan akan mendapat surplus sebesar Rp 11,59 triliun di 2021.
Baca Juga
Advertisement
"Untuk 2021, 2022 sampai 2023 proyeksi berdasarkan jumlah peserta dan utilisasi surplus Rp 11,59 triliun untuk 2021, Rp 8 triliun untuk 2022, dan 2023 surplus ke Rp 4,1 triliun. Makin kecil karena jumlah peserta naik, utilisasi meningkat," ujarnya di Gedung DPR, Jakarta, Selasa (27/8).
Sri Mulyani mengatakan, besaran kenaikan iuran BPJS Kesehatan kemudian akan dievaluasi kembali pada 2025. "Memang seharusnya kemudian direview tarif bisa dilakukan lagi di 2025. Itu yang kita usulkan sehingga mungkin untuk menyelesaikan situasi hari ini dan memperbaiki dari proyeksi cashflow BPJS," jelasnya.
Sri Mulyani menjelaskan, selain kenaikan iuran pemerintah akan memperluas jangkauan rawat inap yang ditanggung oleh BPJS Kesehatan. Perluasan tersebut diyakini mampu menarik minat pembayar iuran agar lebih taat.
"Tahun-tahun ke depan utilisiasi JKN akan meningkat. Saat ini rawat inap 5,73 per mil, ke depan akan meningkat 8,12 per mil dan untuk rewat jalan dari 42,1 per mil akan meningkat jad 64,46 mil. Kalau masyarakat semakin mengetahui akan ada jaminan kesehatan, dia akan makin merasa memiliki hak menggunakan," jelasnya.
Reporter: Anggun P. Situmorang
Sumber: Merdeka.com
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
Sri Mulyani Usul Iuran BPJS Kesehatan Naik 100 Persen di 2020
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengusulkan iuran Badan Penyelenggara Jaminan Kesehatan (BPJS) Kesehatan naik serentak pada 2020. Tidak tanggung-tanggung kenaikan nantinya mencapai 100 persen dari angka saat ini.
Adapun rincian usulan Kementerian Keuangan adalah kelas III dari Rp 25.500 menjadi Rp 42.000, kelas II dari Rp 51.000 menjadi Rp 110.000, lalu kelas I dari Rp 80.000 menjadi Rp 160.000.
"Kami mengusulkan kelas III Rp 42.000, Rp 110.000 untuk kelas II dan Rp 160.000 untuk kelas I. Dan ini kita mulainya 1 Januari 2020," ujar Sri Mulyani di Gedung DPR, Jakarta, Selasa (27/8/2019).
Usulan Sri Mulyani tersebut berbeda dengan usulan Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN). DJSN mengusulkan peserta kelas I naik menjadi Rp 120.000, kelas II dari Rp 51.000 menjadi Rp 80.000. Sedangkan untuk kelas III dari Rp 25.500 menjadi Rp 42.000.
"Kami mengusulkan kenaikan yang sudah kami sampaikan kepada Presiden. Untuk angka besarannya sudah ada di Presiden. Kelas I naik dari sebelumnya Rp 25.500 menjadi Rp 42.000," ujar Ketua DJSN Tubagus Achmad Choesni.
Adapun kenaikan iuran tersebut, dilakukan agar BPJS Kesehatan dapat melakukan kinerja dengan optimal, mengingat setahun terakhir BPJS Kesehatan mengalami defisit hingga Rp 29 triliun.
Reporter: Anggun P. Situmorang
Sumber: Merdeka.com
Advertisement
15 Juta Orang Belum Bayar Iuran BPJS Kesehatan
Direktur Keuangan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan Kemal Imam Santoso mengatakan, hingga kini masih ada 15 juta peserta jaminan kesehatan yang menunggak pembayaran iuran. Jumlah tersebut diprediksi turut menyumbang defisit BPJS kesehatan tahun ini sebesar Rp 28,5 triliun.
"Saat ini sekitar 15 juta orang (yang menunggak)," ujar Kemal saat ditemui di Gedung DPR, Jakarta, Rabu (21/8/2019).
Adapun proyeksi defisit tahun ini sebesar Rp 28,5 triliun berasal dari sisa penambalan tahun lalu sebesar Rp 9,1 triliun dan khusus tahun ini sebesar Rp 19 triliun. "Estimasi kita pada current running seperti ini Rp 28,5 triliun. Ini carried dari tahun lalu Rp 9,1 triliun plus yang ada tahun ini kan Rp 19 triliun," jelasnya.
Untuk memperkecil defisit, BPJS kesehatan akan melakukan pendataan ulang peserta yang selama ini belum melakukan pembayaran secara disiplin. Selain itu, pihaknya juga akan mendata peserta yang tak lagi masuk dalam keanggotaan atau telah meninggal dunia (cleansing data).
"Cleansing data ini masalah teknis ya terus setiap hari kita cleansing data. Proses data cleansingkan tidak sekali kita lakukan. Ini tiap hari kita. Anda kalau ke Puskesmas, atau ke kantor BPJS selalu ditanya apakah status berubah, nomer HP berubah dan sebagainya," jelasnya.