Liputan6.com, Jakarta - Menjelang pemilu Amerika Serikat (AS) pada 2020 mendatang, Facebook berupaya memperketat regulasi terkait iklan bermuatan politik di jejaring sosialnya.
Dalam pernyataan yang diterbitkan di Newsroom, Facebook menyebut bahwa upaya itu termasuk "memperkuat proses autorisasi untuk pengiklan AS, yang menunjukkan lebih banyak informasi kepada orang-orang tentang setiap pengiklan. Selain itu, perusahaan juga "memperbarui daftar isu sosial di AS untuk lebih mencerminkan wacana publik di dalam dan di luar Facebook."
Baca Juga
Advertisement
"Pada tahun 2018, kami mulai mengharuskan pengiklan untuk terautorisasi sebelum menayangkan iklan tentang isu sosial, pemilihan umum, atau politik," ujar Katie Harbath, Public Policy Director, Global Elections, dan Sarah Schiff, Product Manager. "Kami juga menyimpan iklan-iklan itu di Perpustakaan Iklan, sehingga iklan itu tersedia untuk umum selama tujuh tahun."
Regulasi ini sudah mulai berjalan. Para pengiklan harus sudah memenuhi proses autorisasi yang menginformasikan siapa mereka dan di mana mereka berada.
"Pengiklan juga harus menempatkan penafian (disclaimer) 'Dibayar oleh' (paid for by) pada iklan mereka untuk berkomunikasi dengan siapa yang bertanggung jawab atas iklan tersebut," kata Katie dan Sarah.
Sekitar dua pekan ke depan atau pertengahan September nanti, para pengiklan harus memberikan informasi lebih lanjut tentang organisasi mereka sebelum perusahaan meninjau dan menyetujui penafian iklannya.
"Jika mereka tidak memberikan informasi ini hingga pertengahan Oktober, kami akan menjeda iklan mereka," tutur Katie dan Sarah.
Facebook Tutup Akun-Akun Terindikasi Aktivitas Mencurigakan di Myanmar
Diwartakan sebelumnya, Facebook telah menutup sejumlah akun, grup dan halaman di jejaring sosialnya di Myanmar dengan alasan aktivitas mencurigakan.
Mengutip keterangan resmi di Newsroom, Jumat (23/8/2019), secara akumulatif perusahaan telah menutup 89 akun, 107 halaman dan 15 grup di Facebook, serta lima akun di Instagram. Beberapa di antaranya memiliki puluhan dan ratusan ribu pengikut.
"Orang-orang di balik aktivitas ini menggunakan akun palsu--beberapa di antaranya telah dinonaktifkan oleh sistem otomatis kami--untuk mempromosikan konten mereka, meningkatkan keterlibatan, dan mengelola Grup dan Halaman," ujar Nathaniel Gleicher, Kepala Kebijakan Kemanan Siber.
Penyelidikan Facebook menunjukkan, "beberapa aktivitas ini memiliki hubungan dengan orang-orang yang terkait dengan militer Myanmar", meskipun mereka telah berusaha menyembunyikan identitas sebenarnya dengan menggunakan akun-akun palsu dan menggungah konten dan artikel seputar isu nasional dan lokal, termasuk kejahatan, hubungan etnis, selebritas, dan militer
(Why/Ysl)
Advertisement