Tradisi Ganti Nama Usai Berhaji ke Tanah Suci

Nama baru tersebut ternyata tidak asal-asalan, karena hasil konsultasi kepada kiai pembimbing haji.

oleh Nurmayanti diperbarui 29 Agu 2019, 12:18 WIB
Jemaah Haji Indonesia yang akan pulang ke Tanah Air. Darmawan/MCH

Liputan6.com, Jeddah - Ada satu tradisi menarik yang dilakukan jemaah haji usai kembali dari Tanah Suci di beberapa daerah. Yakni tradisi mengganti nama, salah satunya di Madura, Jawa Timur.

Adalah Mistiya (58), haji asal Pamekasan, Madura. Usai pulang dari Tanah Suci dia mengubah namanya menjadi, Hj Siti Solihah. Sementara suaminya, Sapari (63) berubah menjadi H Syamsuddin.

Nama baru tersebut ternyata tidak asal-asalan, karena merupakan hasil dari konsultasi keduanya kepada kiai pembimbing haji.

Jemaah haji asal Madura yang menginap di Hotel Arkan Bakkah di wilayah Misfalah Mekkah baru selesai berkumpul dengan pembimbing haji. Di lokasi inilah, mereka meminta nama baru.

“Tidak dipungut biaya saat meminta nama dari kiai kami,” ujar Mistiya.

Mistiya menunjukkan nama barunya lewat secarik kertas yang ditulis dengan tulisan Arab. “Saya mendapatkan nama baru ini dari KH Muhammad Hariri. Kita semua yang meminta diberi nama baru lalu ditulis dalam sebuah kertas putih,” kata Mistiya di Hotel Arkan Bakkah, Makkah.

 

Usai mendapatkan nama baru, Mistiya kemudian mengabari nama barunya kepada keluarga di Tanah Air. Terutama anak-anaknya.

“Saya akan kabari anak saya lewat SMS untuk memberitau nama baru setelah haji sekaligus ngirim foto saya dan suami di Makkah. Foto dan nama barunya akan dicetak lalu dipigura dan ditempel di atas tembok buat hiasan dinding sekaligus mengumumkan kepada para tetangga nama baru kami setelah haji,” ujar Mistiya.

Sang suami, Sapari menjelaskan nama baru ini biasanya ditanyakan oleh para tetangga setelah pulang haji. Bahkan nama baru ini menjadi panggilan sehari- hari menggantikan nama sebelumnya.

“Seperti saya ini mendapatkan nama baru Haji Syamsuddin, nanti di kampung orang-orang tidak lagi memanggil Sapari tapi Haji Syamsuddin. Dan nanti nama baru itu akan lebih terkenal dibandingkan nama lamanya,” ujar Sapari bersemangat.

Meski demikian, perubahan nama tersebut tidak akan mengubah data-data pada dokumen kependudukan atau dokumen-dokumen penting lainnya seperti KTP, KK, atau Ijazah lulusan lembaga sekolah.

“Di dokumen akan tetap menggunakan nama lama, nama baru ini hanya nama dan gelar setelah haji tapi akan menjadi nama panggilan populer di masyarakat,” ujar Sapari.

 

 


Sah-sah Saja

Tradisi ganti nama dinilai sah-sah saja dilakukan sebagai bagian dari tradisi yang baik di sejumlah daerah di Indonesia salah satunya Madura.

Konsultan Ibadah Daerah Kerja Mekkah KH Ahmad Wazir menjelaskan dari sisi sejarah dan syariat terkait tradisi ganti nama setelah haji sebenarnya sudah ada sejak zaman dahulu.

“Tentang ganti nama itu terjadi ketika haji zaman dulu diurus oleh maktab dari para syekh yang menjadi pemandu jemaah haji. Dari sisi agama, literatur belum saya jumpai, itu hanya aspek tradisi maksudnya ya untuk tabarruk, ngalap berkah,” kata KH Ahmad Wazir.

Dia menuturkan, jikanama asli jelek, memang seharusnya diganti yang lebih bagus. Penggantian nama dalam tradisi Jawa diistilahkan kabotan jeneng (keberatan nama), sehingga kerap kali dipercaya membuat seseorang sering sakit-sakitan karena namanya yang tidak sesuai untuk dirinya.

“Sebagian kyai ada yang menyarankan ganti nama, kalau yang terakhir ini ada penjelasannya dalam sebagian kitab, ini banyak benarnya," dia menambahkan.

Dia mencontohkan jia seseorang memiliki unsur nama fa. Biasanya saat kecil akan sakit-sakitan terus. Sebab fa' itu karakternya bawa penyakit. "Ummul Kita itu hurufnya gak ada fa, sebab Qur'an itu jika diperas jadi fatihah, sedangkan sebutannya adalah 'syifa' sebagai obat penyembuh, biar tidak kontradiktif Allah memilihkan huruf dalam Ummul Kitab tidak ada fa,” jelas dia.

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya