HEADLINE: Iuran BPJS Kesehatan Bakal Naik 100 Persen, Adakah Solusi Lain?

Pemerintah memutuskan untuk menaikkan iuran BPJS Kesehatan dua kali lipat dari saat ini. Tentu saja hal ini mendapat penolakan dari banyak pihak. Adakah cara lain yang bisa dilakukan?

oleh Septian DenyBenedikta DesideriaFitri Haryanti HarsonoGiovani Dio Prasasti diperbarui 30 Agu 2019, 00:00 WIB
Suasana pelayanan BPJS Kesehatan di Jakarta, Rabu (28/8/2019). Sedangkan, peserta kelas mandiri III dinaikkan dari iuran awal sebesar Rp 25.500 menjadi Rp 42.000 per bulan. Hal itu dilakukan agar BPJS Kesehatan tidak mengalami defisit hingga 2021. (merdeka.com/Iqbal S. Nugroho)

Liputan6.com, Jakarta - Pemerintah memutuskan untuk menaikkan iuran Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan. Tak tanggung-tanggung, nilai kenaikannya mencapai 100 persen. Keputusan tersebut mendapat penolakan dari banyak pihak. 

Wakil Menteri Keuangan, Mardiasmo menyatakan, kenaikan iuran BPJS Kesehatan ini tinggal menunggu Peraturan Presiden (Perpres) sehingga bisa langsung diimplementasikan pada 2020.

"(Iuran BPJS) Ini sudah kita naikkan, segera akan keluar Perpres-nya. Hitungannya seperti yang disampaikan Ibu Menteri pada saat di DPR itu," ujar dia pada Rabu 28 Agustus 2019.

Dengan kenaikan 100 persen tersebut, rincian iuran BPJS Kesehatan adalah kelas III dari Rp 25,5 ribu menjadi Rp 42 ribu, kelas II dari Rp 51 ribu menjadi Rp 110 ribu, lalu kelas I dari Rp 80 ribu menjadi Rp 160 ribu.

Menteri Keuangan, Sri Mulyani Indrawati menjelaskan, kenaikan iuran ini harus dilakukan. Pasalnya, lembaga jaminan sosial ini telah mengalami defisit sejak 2014.

Pada awal penerapannya atau pada 2014, badan usaha pelayanan kesehatan tersebut mencatatkan defisit sekitar Rp 1,9 triliun. Defisit kemudian berlanjut di 2015 menjadi Rp 9,4 triliun.

Pemerintah pun turun tangan menyuntikkan dana sebesar Rp5 triliun ke BPJS Kesehatan. Hal tersebut dilakukan agar BPJS Kesehatan tetap dapat menyediakan pelayanan kesehatan kepada masyarakat.

"Setahun kemudian di 2015 langsung meledak ke Rp 9,4 triliun, di 2016 agak turun sedikit ke Rp 6,7 triliun karena ada kenaikan iuran. Sesuai dengan Perpres, iuran itu tiap 2 tahun di-review namun semenjak 2016 sampai sekarang belum di-review lagi," jelas Sri Mulyani.

Pada 2017 defisit membengkak menjadi Rp 13,8 triliun, tak tinggal diam pemerintah pada saat itu menyuntik lagi dana kepada BPJS Kesehatan sebesar Rp 3,6 triliun. Demikian pula pada 2018, defisit sebesar Rp 19,4 triliun dan 2019 yang diprediksi akan lebih besar.

"Di tahun 2018 defisitnya mencapai Rp 19,4 triliun, kami menginjeksinya Rp 10,3 triliun. Masih ada Rp 9,1 triliun di 2018 yang belum tertutup, di 2019 ini akan muncul lagi defisit yang lebih besar lagi," kata Sri Mulyani.

 

Infografis Iuran BPJS Kesehatan Akan Naik 100 Persen. (Liputan6.com/Triyasni)

Direktur Keuangan BPJS Kesehatan, Kemal Imam Santoso menjelaskan, defisit ini terjadi karena banyaknya masyarakat yang menunggak. Ada sekitar 15 juta peserta jaminan kesehatan menunggak pembayaran iuran.

"Estimasi kita pada current running seperti ini Rp 28,5 triliun. Ini carried dari tahun lalu Rp 9,1 triliun plus yang ada tahun ini kan Rp 19 triliun," kata Kemal.

Selain itu, Sri Mulyani mengungkapkan, dari temuan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP), defisit ini juga terjadi karena masih banyak badan usaha atau perusahaan yang belum mendaftar BPJS Kesehatan.

Selain belum terdaftar, ada juga badan usaha yang dengan sengaja mengurangi jumlah karyawan untuk mengurangi pembayaran kewajiban terhadap negara.

"Ada yang sudah mendaftar tapi jumlah karyawannya dikurang-kurangi. Jadi kalau jumlah karyawannya 100, diakuinya mungkin lebih kecil dari 100 supaya tadi iuran mereka lebih sedikit. Atau, badan usaha yang melaporkan gaji pegawainya direndah-redahin karena tadi persentasi 5 persen dari penghasilan tetap mereka," jelasnya.

Saksikan juga video berikut ini:


Jadi Surplus

Mardiasmo meneruskan, dengan adanya kenaikan iuran BPJS Kesehatan sebesar 100 persen yang dimulai pada 2020, maka mampu membuat kondisi keuangan BPJS Kesehatan berangsur pulih. Dengan demikian, tidak akan lagi terjadi defisit.

"Iya Insyaallah tidak ada lagi (defisit)," kata Mardiasmo. Dengan iuran baru, maka BPJS Kesehatan akan mendapat surplus sebesar Rp 11,59 triliun di 2021.

Mardiasmo mengatakan, selain kenaikan iuran tersebut, ada hal lain yang harus didorong dalam menutup lubang defisit tersebut. Caranya dengan perbaikan seluruh sistem terhadap BPJS Kesehatan.

"Jadi dihitung bagaimana penyesuaian iuran penerima bantuan iuran (PBI), baik pusat maupun daerah, Khusus Peserta Bukan Penerima Upah (PBPU) swasta dan sebagainya, agar defisit bisa ditutup. Tapi dengan cover yang bagus," kata dia.

Di sisi lain, kerja sama antara Kementerian Kesehatan (Kemenkes) dengan BPJS Kesehatan juga perlu ditingkatkan. Di mana BPJS Kesehatan harus berperan agresif dalam melakukan penarikan iuran, sedangkan Kemenkes sendiri mengecek kondisi rumah sakit.

"Jadi semuanya lah keroyok, termasuk peran pemda. Nah, saldo defisitnya baru ditutup dengan kenaikan iuran," tandasnya.


Prediksi Efek Kenaikan Iuran JKN

Salah satu efek yang diprediksi terjadi dari kenaikan iuran yakni mengenai makin banyaknya peserta JKN yang menunggak. Saat ini saja, dari 224 juta peserta JKN per Jumat, 23 Agustus 2019, peserta yang paling banyak menunggak iuran dari jenis Peserta Bukan Penerima Upah (PBPU) atau Mandiri. 

Dari seluruh peserta PBPU, yang membayar secara aktif hanya 54 persen. Sisanya, alias 46 persen tidak membayar. Menurut Iqbal, tidak ada sanksi tegas membuat peserta jadi bisa menunggak iuran.

"Ketika kartunya nonaktif lalu harus rawat inap, kalau masih dalam jangka 45 hari, masih dapat pelayanan," tutur Kepala Humas BPJS Kesehatan, M. Iqbal Anas Ma'ruf.

Meski ada risiko tersebut, BPJS Kesehatan memandang positif bahwa kenaikan iuran ini sebenarnya adalah upaya untuk memperbaiki masalah iuran yang tidak sesuai dengan pengeluaran.

"Kalau ada ekses, kan sudah diperhitungkan juga oleh Kementerian Keuangan. Sebagai Menteri Keuangan, pasti beliau paham kondisi ekonomi makro dan mikro di Indonesia," tuturnya.

Selain itu, masyarakat perlu memiliki pemahaman mengenai tabungan kesehatan. Jadi, pembayaran iuran JKN ini tentu untuk kepentingan investasi kesehatan sendiri.

Soal kemungkinan banyak peserta JKN yang memilih turun kelas, Iqbal mengembalikan keputusan pada peserta. Mengingat memilih kelas 3, 2, 1 adalah hak sepenuhnya peserta JKN.

"Sebetulnya yang membedakan kelas itu kan manfaat non-medis. Manfaat medis sama saja, mau kelas 1 atau 3," katanya. 

Kembali ke Obat Warungan

Menanggapi kenaikan iuran BPJS Kesehatan tersebut, Koordinator BPJS Watch Timboel Siregar pun angkat bicara.

"Kenaikan iuran BPJS Kesehatan memang sudah ada ketentuannya pada pasal 38 ayat (1) Perpres Nomor 82 Tahun 2018. Tapi ya harus dipikirkan lagi seberapa besar jumlah kenaikan agar tidak terlalu besar naiknya," jelas Timboel saat dihubungi Liputan6.com pada Kamis (29/8/2019).

Timboel menekankan, dampak kenaikan iuran BPJS Kesehatan akan dirasakan kepada peserta mandiri (non Penerima Bantuan Iuran/PBI) yang harus membayar iuran sendiri. Hal ini berkaitan dengan tunggakan iuran BPJS Kesehatan bisa makin besar.

BPJS Watch mencatat, tunggakan peserta mandiri per 30 Juni 2019 mencapai Rp 2,4 triliun. Angka tersebut dihitung dari iuran selama sebulan.

"Yang dikhawatirkan nanti, tunggakan iuran BPJS Kesehatan makin besar. Per 30 Juni 2019 saja tunggakannya Rp 2,4 triliun. Itu baru iuran satu bulan, lantas bagaimana 11 bulan lainnya. Selain itu, jumlah peserta non-aktifnya juga 50,9 persen, sedangkan yang aktif 49,1 persen. Tipis sekali perbedaannya. Tentunya, tunggakan akan makin besar," Timboel menerangkan.

Timboel memprediksi, kenaikan iuran ini bakal membebani peserta JKN dari kalangan bawah. 

"Apalagi masyarakat dari kalangan bawah. Untuk kebutuhan sehari-hari saja sulit, lantas bagaimana bila iuran BPJS Kesehatan naik. Contohnya, bisa saja mereka nantinya lebih mengutamakan bayar listrik dibanding bayar iuran BPJS Kesehatan," Timboel menerangkan.

Dampak kemungkinan lain, "Adanya BPJS Kesehatan ini kan bagus ya supaya masyarakat lebih aware (perhatian) terhadap kesehatan. Ketika sakit, mereka punya kesadaran pergi ke faskes terdekat. Intinya lebih berani berobat," papar Timboel.

Lebih lanjut, "Kemungkinan menggunakan layanan BPJS Kesehatan turun bisa terjadi. Masyarakat mungkin akan memilih menahan sakit daripada berobat ke faskes. Ya, sudahlah sakit sedikit ini, ditahan-tahan saja.' Pilihan lain, mereka mungkin lebih memilih menggunakan 'obat warungan' (obat yang dibeli di warung) buat diminum." 

Iuran BPJS Kesehatan yang naik pun kemungkinan berdampak pada kejadian perpindahan kelas. Hal ini bisa terjadi pada peserta kelas I yang bisa pindah kelas II.

"Saya juga mengkhawatirkan kemungkinan peserta BPJS Kesehatan pindah kelas. Mereka yang tadinya kelas I, misalnya, malah pindah menjadi peserta kelas II. Tentunya, karena iurannya terbilang besar. Peserta kelas I harus membayar Rp 160 ribu," Timboel menegaskan.

Ada juga kemungkinan mereka menggunakan layanan BPJS Kesehatan tatkala sangat membutuhkan. Pindah kelas ini juga memengaruhi jumlah total iuran yang masuk. Artinya, total target pemasukan iuran pada masing-masing kelas bisa berkurang dan makin defisit.

"Kita kan sedang bermasalah juga dengan defisit BPJS Kesehatan. Adanya kenaikan iuran ini bukannya memperbaiki anggaran, tapi bisa membuat BPJS Kesehatan makin defisit," ujar Timboel.


Banyak Penolakan

Suasana pelayanan BPJS Kesehatan di Jakarta, Rabu (28/8/2019). Menkeu Sri Mulyani mengusulkan iuran peserta kelas I BPJS Kesehatan naik 2 kali lipat yang semula Rp 80.000 jadi Rp 160.000 per bulan untuk JKN kelas II naik dari Rp 51.000 menjadi Rp110.000 per bulan. (merdeka.com/Iqbal S. Nugroho)

Ketua Pengurus Harian YLKI Tulus Abadi menyatakan, kenaikan iuran BPJS Kesehatan tersebut sangat tidak berpihak ke masyarakat. Untuk menutupi defisit, sebaiknya pemerintah melakukan relokasi subsidi energi dan menaikkan cukai rokok.

Sebagian dari subsidi energi yang masih mencapai Rp 157 triliun, sebagiannya bisa direlokasikan menjadi subsidi BPJS Kesehatan atau yang urgen adalah dengan menaikkan cukai rokok secara signifikan.

"Persentase kenaikan cukai rokok itu sebagiannya langsung dialokasikan untuk memasok subsidi ke BPJS Kesehatan," ujar dia di Jakarta, Kamis (29/8/2019).

Tulus menilai skema tersebut tidak membebani konsumen BPJS Kesehatan. Selain itu merupakan upaya preventif promotif dan pemerintah bisa menambah suntikan subsidi BPJS Kesehatan.

Hal yang sama diungkapkan oleh anggota Komisi IX DPR Ichsan Firdaus, meminta pemerintah mengkaji dengan hati-hati rencana kenaikan iuran BPJS Kesehatan sebesar 100 persen. Sebab, kenaikan yang drastis akan menimbulkan gejolak baru di masyarakat.

"Ini perlu dipikirkan lebih lanjut. Setiap kenaikan apapun, yang mengalami kenaikan yang cukup drastis harus dimitigasi oleh pemerintah. Saya tidak sepakat kalau kenaikannya hampir 100 persen," ujarnya.

Pemerintah bersama BPJS Kesehatan masih memiliki pilihan lain untuk mengumpulkan penerimaan. Pertama, BPJS harus mampu mendorong sisi kepatuhan pembayaran iuran agar semakin meningkat dari posisi saat ini sekitar 54 persen.

"Jadi ini yang perlu dimitigasi, setiap kebijakan apapun yang cukup drastis harus dimitigasi oleh pemerintah dampaknya. Saya tidak sepakat kalau kenaikannya hampir 100 persen. Masih ada solusi lain, misalnya tingkat kolektivitas iuran BPJS yang selama ini masih 54 persen," jelasnya.

Dia juga meminta BPJS Kesehatan memaksimalkan pungutan dari perusahaan yang selama ini masih melakukan kecurangan dalam melaporkan jumlah dan gaji karyawan. Jika ini dapat dimaksimalkan maka, defisit BPJS dapat terbantu.

"Misalnya saja jangan hanya BPJS, tapi juga perusahaan. Misalkan dia memberikan data yang tidak benar, harus ada tindak lanjut. Seperti pembuatan SIM, harus lunas dulu BPJS-nya. Ini contoh," jelasnya.

Para buruh pun juga langsung menolak. Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Said Iqbal mengatakan, kenaikan iuran tersebut akan memberatkan masyarakat dan juga bukan solusi untuk menyelesaikan defisit.

Dia menilai, defisit anggaran BPJS Kesehatan merupakan bukti ketidakmampuan managemen BPJS dalam mengelola penyelenggaraan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN). Oleh karena itu, sambungnya, tidak seharusnya kegagalan direksi itu dibebankan kepada rakyat dengan menaikkan iuran.

"Apalagi saat ini beban kehidupan masyarakat sudah berat. Belum lagi dengan adanya gelombang PHK di berbagai sektor industri, yang artinya peserta BPJS Kesehatan yang tadinya masuk dalam kategori pekerja penerima upah akan menjadi peserta mandiri," keluh dia. 

Tanggapan mengenai kenaikan iuran BPJS Kesehatan juga datang dari komunitas pasien dan penyintas kanker. Mereka meminta agar kebijakan tersebut dievaluasi kembali.

"Apakah diikuti dengan kenaikan manfaat, pelayanan, jadi jangan semata-mata menaikkan. Harus disosialisasikan terlebih dahulu," kata Ketua Umum Indonesian Cancer Information & Support Center (CISC) Aryanthi Baramuli Putri ditemui di Jakarta, Kamis (29/8/2019). 

Aryanthi mengatakan bahwa dalam proses pengambilan kebijakan semacam ini seharusnya pemerintah ikut melibatkan komunitas pasien sebagai peserta. Hal ini karena mereka adalah mitra pemerintah serta BPJS Kesehatan.

"Seharusnya ada keterlibatan pasien di dalam proses kebijakan apapun itu. Jadi kami belum bisa memberikan komentar banyak tentang sejauh mana serta alasannya seperti apa," ujarnya ketika ditemui Liputan6.com


Cost Sharing

Pengamat Asuransi Irvan Rahardjo mengatakan, dirinya mendukung upaya pemerintah menekan defisit BPJS Kesehatan dengan menaikkan iuran. Namun demikian, ada juga dampak lain yang harus diantisipasi oleh pemerintah dengan menaikkan besaran iuran ini.

"Intinya bagus, mengurangi defisit. Tapi juga bisa jadi ancaman baru tunggakan membengkak terutama dengan kelesuan ekonomi saat ini," ujar dia saat berbincang dengan Liputan6.com.

Menurut Irvan, selain menaikkan besaran iuran, sebenarnya masih ada solusi lain yang bisa diambil oleh pemerintah untuk menekan defisit BPJS Kesehatan. Salah satunya dengan menerapkan kebijakan biaya urunan (cost sharing) khusus untuk penyakit katastropik yaitu jantung, gagal ginjal, dan kanker.

Pasalnya, lanjut Irvan, selama ini jenis penyakit ini yang banyak menyedot pembiayaan dari BPJS Kesehatan. Terlebih penderitanya merupakan peserta mandiri.

"Solusi lain cost sharing (urun biaya) khusus untuk penyakit katastropik dan diderita oleh PBPU (Peserta Bukan Penerima Upah) atau yg biasa disebut Peserta Mandiri. Cost sharing diterapkan di negara lain antara lain AS dan Jerman. Cost sharing diterapkan karena jenis penyakit katastropik itu jantung, stroke, cuci darah dan lain-lain, ada 9 penyakit, menjadi penyumbang klaim terbesar BPJS dan berasal dari peserta mandiri," jelas dia.

Solusi lain yang bisa diambil yaitu dengan menarik lebih banyak anggaran dari hasil cukai rokok untuk menekan defisit BPJS Kesehatan. Namun demikian, solusi ini juga akan menimbulkan dampak lain yaitu akan menjadi kampanye positif bagi konsumsi rokok.

"Cukai juga menjadi solusi tapi belum diterapkan saat ini. Cukai solusi baik, tapi menjadi kampanye positif merokok karena menjadi penyumbang BPJS," tandas dia.


Sikap BPJS Kesehatan

Kepala Humas BPJS Kesehatan, M. Iqbal Anas Ma'ruf mengatakan, pihaknya bakal menjalankan apa yang menjadi keputusan pemerintah terkait kenaikan iuran Jaminan Kesehatan Nasional (JKN).

"Kan Menkeu (Menteri Keuangan) yang memimpin soal kenaikan iuran yang ditetapkan, kami menjalankan apa yang menjadi keputusan pemerintah," tutur Iqbal dalam sambungan telepon dengan Liputan6.com, Kamis (29/8/2019).

Menurut Iqbal, keputusan Kementerian Keuangan menaikkan iuran JKN merupakan upaya untuk memperbaiki persoalan mendasar di BPJS Kesehatan yakni soal iuran yang tidak sesuai dengan pembiayaan. Tentu keputusan nominal iuran yang dipilih sudah memperhitungkan dari banyak aspek.

"Pertimbangan Menteri Keuangan kan pasti tidak prematur, ada alasan-alasan kuat. Termasuk sudah memperhitungkan dampak dari kenaikan iuran itu," kata Iqbal.

Lalu, kapan iuran kenaikan JKN bakal naik?

"Kalau kita melihat laporan beliau (Menteri Keuangan) yang peserta Penerima Bantuan Iuran (PBI) Agustus 2019. Sementara kalau yang peserta Mandiri, Januari 2020. Namun, semuanya berlaku sesudah ada hitam di atas putih," tuturnya.

Hingga kini Peraturan Presiden soal kenaikan iuran JKN belum diketahui. Diperkirakan tak akan lama lagi, seperti kata Iqbal.

 


Iuran Naik, Pelayanan Kesehatan Membaik

Dokter (Ilustrasi/iStockphoto)

Dari skala prioritas, Koordinator BPJS Watch Timboel Siregar menegaskan, kenaikan iuran BPJS Kesehatan bukanlah fokus utama. Yang lebih penting adalah meningkatkan pelayanan BPJS Kesehatan di faskes. Peserta tidak dipersulit dan punya hak berobat yang sama dengan pasien lain.

"Sebenarnya kenaikan iuran BPJS Kesehatan bukan semata-mata fokus utama. Hal tersebut harus sejalan dengan peningkatan pelayanan BPJS Kesehatan di setiap faskes juga. Kalau layanan BPJS Kesehatan sudah bagus, ya pasien mungkin tidak keberatan dengan bakal adanya kenaikan iuran," tambah Timboel.

"Pelayanan yang bagus itu berpengaruh juga pada pasien. Kalau pelayanan sudah oke, ya iuran BPJS Kesehatan yang naik bisa dirasakan tidak masalah. Istilahnya begini, 'Enggak apa-apa iuran naik, tapi pelayanan sudah bagus.' Nah, ini namanya ada trust (kepercayaan) dari masyarakat."

Sementara itu, Kementerian Kesehatan RI belum menanggapi secara rinci terkait usulan kenaikan iuran BPJS Kesehatan. Hal itu dikarenakan baru 'usulan' saja.

"Maaf, saya tidak bisa menanggapi. Ini kan (baru) usulan. Tunggu nanti regulasinya saja," tulis Kepala Pusat Pembiayaan dan Jaminan Kesehatan Kementerian Kesehatan RI Kalsum Komaryani kepada Liputan6.com melalui pesan singkat. 

Permintaan YLKI

Jika pemerintah tetap ingin menaikkan iuran BPJS Kesehatan, maka YLKI akan mendesak pemerintah untuk melakukan reformasi total terhadap pengelolaan BPJS Kesehatan, antara lain:

1. Menghilangkan kelas layanan, iuran BPJS berkeadilan, yang mampu membayar lebih tinggi.

2. Daftar peserta BPJSKes kategori PBI harus diverifikasi ulang agar lebih transparan dan akuntabel.

3. Managemen BPJSKes harus membereskan tunggakan iuran dari kategori mandiri/pekerja bukan penerima upah, yang mencapai 54 persen. Fenomena tunggakan ini jika dibiarkan akan menjadi benalu bagi finansial BPJS Kesehatan. Di sisi yang lain, kenaikan iuran untuk kategori peserta mandiri juga akan memicu tunggakan dari peserta mandiri akan semakin tinggi.

4. YLKI mengusulkan untuk menjadi mitra faskes tingkat pertama, seperti puskesmas dan klinik juga harus dilakukan verifikasi. Khususnya terkait ketersediaan dan jumlah dokter.

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya