Korban Tewas Wabah Ebola di Kongo Mencapai 2.000 Orang

Korban tewas akibat wabah Ebola di Republik Demokratik Kongo telah mencapai 2.000 orang hingga saat ini.

oleh Siti Khotimah diperbarui 30 Agu 2019, 17:32 WIB
Petugas medis dari Croix Rouge LSM membawa jenazah korban Ebola dari sebuah rumah di Monrovia, Liberia, 29 September 2014. Dari empat negara di Afrika Barat, Liberia menjadi negara yang paling parah terkena wabah Ebola. (AFP PHOTO/PASCAL GUYOT)

Liputan6.com, Kinshasa - Korban tewas akibat wabah Ebola di Republik Demokratik Kongo telah mencapai 2.000 orang. Sementara jumlah kasus hingga saat ini telah dikonfirmasi melebihi 3.000.

Kongo telah dinyatakan mengalami wabah ebola sejak Agustus 2018. Republik Demokratik itu menjadi negara paling besar kedua yang terdampak, setelah Afrika Barat dengan korban tewas 11.300 orang seperti dikutip dari Channel News Asia, Jumat (30/8/2019). 

Sementara itu, beberapa waktu lalu Badan PBB untuk Pendanaan Kesejahteraan Anak-Anak (UNICEF) telah melaporkan fenomena peningkatan jumlah anak-anak yatim piatu di Republik Demokratik Kongo (RD Kongo) akibat wabah ebola. Epidemi itu telah merenggut nyawa orangtua, seperti diwartakan oleh VOA Indonesia.

Wabah penyakit yang merebak di timur RD Kongo dilaporkan telah meningkat lebih dari dua kali lipat sejak April tahun ini.

Sejak epidemi diumumkan lebih dari satu tahun yang lalu, badan-badan bantuan telah mencatat sebanyak 1.380 anak yang kehilangan satu atau kedua orang tuanya akibat Ebola.

Simak pula video pilihan berikut:


Kata UNICEF

Ilustrasi Virus Ebola (Liputan6.com/Sangaji)

Juru bicara UNICEF Marixie Mercado mengatakan lebih banyak lagi anak-anak yang jatuh sakit dan meninggal dalam epidemi ini dari pada yang sebelumnya.

"Dalam epidemi ini, sekitar 30 persen kasus dialami anak-anak. Sedangkan dalam epidemi sebelumnya, proporsinya sekitar 20 persen. Pada 4 Agustus, ada 787 anak di bawah 18 yang terinfeksi Ebola dan ada 527 kematian," papar Marixie Mercado.

Mercado mengatakan anak-anak dalam tekanan besar dan membutuhkan perawatan fisik, psikososial, dan sosial secara ekstensif.

Mengingat lebih dari dua kali lipat anak membutuhkan bantuan, ia mengatakan layanan khusus ini harus segera ditingkatkan. Terutama di Beni, yang memiliki jumlah terbanyak anak-anak yang terimbas Ebola.

Untuk anak-anak yang kedua orang tuanya meninggal, tim berupaya menempatkan mereka dengan kerabat atau keluarga asuh karena anak-anak tersebut memiliki kebutuhan jangka panjang, kata Mercado.

Namun, hal itu juga tidak mudah karena adanya beban ekonomi untuk membesarkan anak-anak tambahan dan ketakutan terjangkitnya penyakit, tambahnya.

"Ini seringkali membutuhkan kesabaran mediasi serta dukungan keuangan untuk makanan, biaya sekolah, dan kebutuhan dasar lainnya," ujarnya.

Juru bicara UNICEF itu mengatakan kepada VOA bahwa pekerjaan yang dilakukan oleh para pembantu psikososial sangat penting karena stigma terhadap anak yatim Ebola sangat kuat.

Ia mengatakan anak-anak yang telah melakukan kontak dengan orang yang terinfeksi virus sering ditolak oleh keluarga dan komunitas yang yakin mereka akan jatuh sakit.

Ini, kata Mercado, adalah saat di mana para pekerja sosial masuk untuk meyakinkan orang-orang bahwa mereka tidak perlu takut dan memberikan perhatian penuh kasih kepada anak-anak itu akan membantu perkembangan mereka.

Tag Terkait

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya