Nasib si Ikan Sidat, Sumber Pangan Tinggi Protein yang Terlupakan

Populasi ikan sidat yang kaya protein semakin menurun seiring rusaknya habitat.

oleh Fitri Haryanti Harsono diperbarui 31 Agu 2019, 13:00 WIB
Ikan sidat terkenal hanya mau hidup di perairan yang bersih. Ia berkembang di air tawar, tetapi berkembang biak di laut. (dok. bpsplpadang.kkp.go.id/Dinny Mutiah)

Liputan6.com, Bandung Populasi ikan sidat (Anquila Spp) semakin menurun seiring kerusakan habitat. Padahal, ikan sidat termasuk sumber pangan yang amat baik. Ikan migrasi ini kaya protein tinggi, vitamin A 4700 IU, omega 3, DHA (docosahexaenoic acid, asam lemak omega 3 untuk mengatur perkembangan otak, kulit, dan retina), serta EPA (eicosapentaenoic acid, pencegahan dan pengobatan penyakit jantung aterosklerosis).

Kenikmatan ikan sidat juga terkenal dengan kegurihannya. Dalam laman perusahaan Anguilla Jaya Abadi Trade yang bergerak dalam bidang perdagangan ikan khususnya sidat, rasa gurih ikan sidat berasal dari lemak yang memenuhi 25 persen dari berat ikan. Ikan sidat juga terbukti mengandung vitamin A dengan kadar 100 kali lebih banyak dibandingkan jenis ikan lain.

Balai Riset Pemacuan Sumberdaya Ikan Jatiluhur dalam naungan Kementerian Kelautan dan Perikanan berhasil mengidentifikasi ancaman populasi ikan sidat, salah satunya di Daerah Aliran Sungai (DAS) Poso, Sulawesi Tengah. Temuan tersebut dipublikasikan dengan artikel berjudul, Terancamnya Populasi Ikan Sidat di DAS Poso di laman KKP.

Ancaman yang akan merenggut populasi ikan sidat, yaitu penangkapan glass eel (benih sidat) yang berlebihan di Muara Poso, pembangunan PLTA Poso yang akan mengurangi aliran air sungai, serta penggunaan alat tangkap wayamasapi (alat penangkap ikan yang terbuat dari bambu) di Danau Poso yang menghalangi turunnya induk sidat yang akan memijah di laut.

“Jika dibandingkan dengan jumlah ikan sidat dua puluh tahunan yang lalu. Yang tadinya banyak malah sangat berkurang sekarang. Penyebabnya adalah kerusakan habitat, penangkapan berlebihan, pencemaran, hingga pembangunan bendungan,” papar Kepala Seksi Pemanfaatan Sumber Daya Ikan Perairan Darat Kementerian Kelautan dan Perikanan RI Dony Armanto, sebagaimana keterangan tertulis kepada Health Liputan6.com, ditulis Sabtu (31/8/2019).

Simak Video Menarik Berikut Ini:


Kategori ‘Lampu Kuning’ dari Uni Eropa

Pedagang mengecek ikan di Pelelangan ikan Muara Baru, Jakarta, Sabtu (6/7/2019). Angka ini mengalami kenaikan 24% dibandingkan periode yang sama tahun lalu yang hanya mencapai Rp32 triliun. (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Ikan sidat merupakan jenis komoditas ikan yang memiliki nilai jual cukup tinggi. Di Indonesia, bisnis ikan sidat sendiri baru menggeliat dalam kurun waktu belasan tahun ini saja. Pemanfaatan ikan sidat tersebar di beberapa wilayah di Indonesia di antaranya Jawa, Poso, Bengkulu, Aceh, Lampung, dan Bolaan Mangondo Sulawesi Utara.

Penurunan populasi ikan sidat di Indonesia ternyata ikut menjadi sorotan dunia. Artikel berjudul Dari Kaliwungu untuk Menyelamatkan Pamor Sidat, yang dipublikasikan KKP dalam rangka 4 Tahun Tingkatkan Kesejahteraan memaparkan, peningkatan minat sidat dari Eropa dan negara-negara Asia, seperti Jepang dan Korea.

Bahwa kebutuhan ikan  sidat terus meningkat. Apalagi Jepang termasuk negara yang mengimpor ikan sidat dari Indonesia secara besar-besaran. Di Jepang, penangkapan ikan sidat sudah dilarang karena populasinya menurun drastis.

Bukan hanya Jepang saja, negara lain seperti Hongkong, Amerika, dan Eropa berani membayar mahal  hingga Rp300.000 per kg ikan sidat. Sayangnya, peningkatan minat tidak seimbang. Jumlah ikan sidat makin berkurang.

Artikel bertajuk Laut Kita diterbitkan edisi Januari 2019 tersebut juga menyebut, ikan sidat Indonesia masuk kategori ‘lampu kuning’ dari Uni Eropa.

“Indonesia menjadi sorotan karena produksi sidatnya sudah sangat menurun dan masuk kategori ‘lampu kuning’ oleh Uni Eropa. Ini karena hasil tangkapan dari alam jauh berkurang,” tegas perwakilan FAO Indonesia Ageng Heriyanto. “Perlu komitmen bersama untuk melestarikan sidat kita.”

Berdasarkan peta persebaran ikan sidat, Indonesia merupakan salah satu penghasil ikan sidat terbesar di dunia. Delapan dari 20 jenis sidat di dunia ada di Indonesia, khususnya sidat jenis Anguilla bicolor dan Anguilla marmorata. Kedua jenis ikan sidat ini sangat diminati pasar ekspor.


Rencana Pengelolaan Ikan Sidat

Penyusunan RPP Sidat Organisasi Pangan Dunia (FAO) dan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) dalam Workshop and Focus Group Discussion on Indonesian Eel Fisheries Management Plan pada 22-23 Agustus 2019 di Bandung, Jawa Barat. (Dok FAO Indonesia)

Demi menyelamatkan populasi ikan sidat, sejumlah upaya terus dilakukan, salah satunya Rencana Pengelolaan Perikanan (RPP) Sidat (Anguilla spp) di Indonesia yang sedang disusun. Penyusunan RPP tersebut kerjasama Organisasi Pangan Dunia (FAO) dan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP). Upaya ini menjamin kelestarian sumber daya ikan sidat.

Direktorat Pengelolaan Sumber Daya Ikan melalui I-Fish Project melakukan "Workshop and Focus Group Discussion on Indonesian Eel Fisheries Management Plan" pada 22-23 Agustus 2019 di Bandung, Jawa Barat untuk menghasilkan dokumen awal RPP Sidat di Indonesia.

Menurut Dirjen Perikanan Tangkap Kementerian Kelautan dan Perikanan M Zulficar Mochtar, RPP Sidat sangat mendesak dan harus segera ditetapkan. Pemanfaatan sidat beberapa tahun terakhir cenderung meningkat.

Sementara itu, sidat masuk dalam COP ke-18 CITES yang berkurang. Ini indikasi yang tidak bisa diabaikan bahwa ikan sidat mengalami tekanan yang sangat tinggi.

Perikanan sidat harus dikelola sehingga memberikan manfaat yang optimal dan berkelanjutan serta menjamin kelestariannya.

Oleh karena itu, Zulficar mengarahkan, RPP Sidat yang sedang disusun harus memuat status perikanan sidat, isu dan permasalahan pengelolaan, serta rencana aksi pengelolaan perikanan sidat di Indonesia dengan mengutamakan prinsip kehati-hatian, berkeadilan, dan berkelanjutan.

“Kerjasama KKP bersama FAO menyusun RPP Sidat di Indonesia termasuk terobosan besar dalam pengelolaan perikanan secara berkelanjutan di perairan darat. Ya, karena sampai saat ini RPP yang disusun hanya untuk perairan laut,” jelas Zulficar.

Acuan Mengelola Ikan Sidat

Pedagang mengecek ikan di Pelelangan ikan Muara Baru, Jakarta, Sabtu (6/7/2019). Angka ini mengalami kenaikan 24% dibandingkan periode yang sama tahun lalu yang hanya mencapai Rp32 triliun. (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Acting National Project Manager FAO IFISH Toufik Alansar menambahkan, dokumen perencanaan pengelolaan ikan dengan nilai ekonomi tinggi berisi arahan pengelolaan perikanan sidat yang bertanggung jawab. Penyususan RPP memerhatikan prinsip-prinsip ekologi, biologi, sosial-ekonomi, dan kelembagaan yang mengedepankan kearifan lokal.

“RPP ini dibuat agar perikanan sidat Indonesia bisa terus dimanfaatkan secara ekonomi dan lestari untuk masyarakat,” jelasnya. “Perencanaan pengelolaan ini disusun bersama-sama dengan seluruh pemangku kepentingan yang terkait dengan perikanan sidat.”

Rencana Pengelolaan Perikanan Sidat akan berlaku secara nasional bila sudah final. RPP sidat akan disosialisasikan ke seluruh pemangku kepentingan supaya menjadi acuan dalam mengelola perikanan sidat secara bertanggung jawab.

“Apa yang termuat di dalam RPP diharapkan mewakili seluruh elemen dan kepentingan dalam pengelolaan perikanan sidat. Ke depan, masih ada empat pertemuan besar yang akan dilakukan di lapangan dan dibagi menjadi tiga wilayah (barat, tengah, timur),” lanjut Dony. “Harapannya, pada 2019 ini draf dokumen final dapat diselesaikan.”

Contoh penerapan RPP sidat meliputi membangun sistem monitoring dan pendataan hasil tangkapan perikanan sidat Indonesia, dan membangun kawasan perlindungan serta penerapan hukum terkait aturan dalam penangkapan dan perdagangan sidat. Monitoring ini sudah mulai dijalankan. Pelatihan pun sudah beberapa kali dilakukan, terutama di area yang terdapat sidat.

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya