Melindungi Budaya Pasundan yang Terancam Punah di Jawa Tengah

Di Jawa Tengah ada tiga kabupaten yang sebagian warganya bertutur dalam bahasa Sunda. Tiga kabupaten itu yakni, Cilacap, Banyumas dan Brebes.

oleh Muhamad Ridlo diperbarui 31 Agu 2019, 09:00 WIB
Pemdes Dermaji, Lumbir, Banyumas berupaya melestarikan kekayaan budaya, termasuk dolanan bocah. (Foto: Liputan6.com/Muhamad Ridlo)

Liputan6.com, Banyumas - Syahdan, pada satu masa, budaya Pasundan begitu berpengaruh di wilayah yang kini secara administratif berada di Jawa Tengah. Bahkan, masyarakatnya pun bertutur dengan bahasa Sunda.

Jawa Tengah, sebagaimana diketahui, mayoritas berbahasa Jawa. Dialeknya beragam, ada bahasa Jawa khas Pantura, Jawa Wetan, hingga Banyumasan atau Ngapak.

Lantas bahasa Jawa menjadi bahasa daerah. Berbagai pengetahuan soal budaya Jawa, termasuk aksara Jawa diajarkan di sekolah-sekolah.

Penyusun kurikulum, sayangnya, tak mempertimbangkan keberadaan para penutur bahasa Sunda. Tak aneh jika kemudian, secara perlahan, bahasa Sunda di Jawa Tengah tersingkir dan terancam punah.

Salah satunya di Desa Dermaji, Kecamatan Lumbir, Kabupaten Banyumas. Sekitar 20 atau 30 tahun silam, sebagian warga berkomunikasi dengan bahasa Sunda. Namun kini, bahasa Sunda di desa ini telah punah.

Jejak peradaban Sunda di Dermaji masih terlacak dari nama-nama Grumbul, tempat dan sungai yang berbau Sunda. Pun dengan desa-desa di sekitarnya. Misalnya, Misalnya Desa Cingebul yang berada di kecamatan yang sama.

Sedangkan di Dermaji sendiri, hingga kini beberapa grumbul masih bernama 'Sunda', antara lain Cibrewek, Citunggul, Cireang, Cijurig, dan beberapa grumbul lain.

Pakar Toponimi yang juga Guru Besar Linguistik Universitas Padjadjaran (Unpad), Prof DR Cece Sobarna mengatakan, di Jawa tengah ada tiga kabupaten yang sebagian warganya bertutur dalam bahasa Sunda. Tiga kabupaten itu yakni, Cilacap, Banyumas, dan Brebes.

 


Perda Perlindungan Bahasa Sunda

Penyerahan foto repro keluarga Desa Dermaji pada 1979 hasil dokumentasi dan riset Guru Besar Linguistik Unpad, Prof. DR Cece Sobarna kepada Kepala Desa Dermaji, Bayu Setyo Nugroho untuk koleksi Museum Naladipa. (Foto: Liputan6.com/Muhamad Ridlo)

Namun, serupa dengan di Desa Dermaji, penutur bahasa Sunda yang tersebar di tiga kabupaten ini juga terancam punah. Karenanya, ia mengusulkan agar Pemerintah Provinsi Jawa Tengah menerbitkan Peraturan Daerah (Perda) Bahasa Sunda di Jawa Tengah.

Perda itu akan menjadi payung hukum untuk melindungi bahasa Sunda yang kini sudah mengalami gejala kepunahan. Berdasar riset yang ia lakukan, penutur bahasa Sunda masih cukup banyak dijumpai di wilayah ini.

"Saya ke gubernur baru menyurati. Tapi belum ada respons. Coba lah diakomodasi, ya melalui Perda. Karena selama ini kan, Sunda dan Banyumasan. Tapi kan ada Sunda juga di situ. Nah, dengan adanya perda itu, gejala kepunahan bahasa bisa diantisipasi," katanya, dalam Diskusi dan Workshop memahami Toponimi di Desa Dermaji, Jumat, 30 Agustus 2019.

Dia mengungkapkan, contoh gejala kepunahan terjadi di Desa Dermaji, Kecamatan Lumbir, Banyumas. Di Desa ini, 20 atau 30 tahun silam sebagian masyarakatnya masih berkomunikasi dengan bahasa Sunda.

Bahkan, sebagian penduduk yang kini telah lanjut usia masih fasih berbahasa Sunda. Sayangnya, generasi sesudahnya tidak tidak lagi paham bahasa Sunda.

Dia menilai kepunahan bahasa Sunda di Jawa Tengah juga disebabkan keharusan bahasa Jawa sebagai bahasa lokal daerah. Karenanya, Perda tersebut akan berguna untuk melindungi bahasa Sunda di Jawa Tengah sebagai salah satu kekayaan lokal.

"Karena belajar dari kasus di sini, di Dermaji itu dulu tidak diajarkan bahasa Sunda. Jadi lama-lama hilang kan. Jadi untuk mencegah kepunahan bahasa secara luas," dia menerangkan.

 


Peran Dunia Pendidikan untuk Lestarikan bahasa Sunda

Prof. DR Cece Sobarna, Pakar Toponimi dan Guru Besar Linguistik Universitas Padjadjaran. (Foto: Liputan6.com/Muhamad Ridlo)

Cece mengemukakan, keberadaan bahasa Sunda di Jawa Tengah juga menunjukkan bahwa jejak budaya Pasundan tumbuh dan berkembang pada masa lalu. Wilayah administratif kini tak lagi bisa menjadi acuan untuk mengajarkan sebuah budaya atau bahasa.

Penyeragaman pelajaran di sekolah-sekolah dikhawatirkan akan mempercepat kepunahan bahasa Sunda. Kepunahan penutur sebuah bahasa, menurut dia, adalah bencana kemanusiaan.

"Di Kabupaten Cilacap, Daeyuhluhur, itu murni berbahasa Sunda. Memang sudah diajarkan di sana. Tapi di kecamatan-kecamatan lain yang juga penduduknya berbahasa Sunda, belum," dia mengungkapkan.

Terkait perlindungan bahasa Sunda, terobosan menarik dilakukan oleh Pemerintah Desa Dermaji, Lumbir, Banyumas. Pemdes bertekad melindungi bahasa Sunda sebagai salah satu kekayaan budaya desanya.

Bahkan, budaya Pasundan mendapat tempat istimewa di desa ini. Pemdes menyediakan tempat khusus untuk kekayaan budaya Sunda di Museum Naladipa. Namanya, Sunda corner.

Kepala Desa Dermaji, Bayu Setyo Nugroho mengatakan Dermaji secara administratif berada di Kabupaten Banyumas yang mayoritas masyarakatnya menggunakan bahasa Jawa Banyumasan atau Panginyongan.

Akan tetapi, menilik sejarahnya, bahasa Sunda pernah menjadi bahasa tutur sehari-hari masyarakat Dermaji pada masa silam. Sayangnya, penutur bahasa Sunda perlahan lenyap dan berganti menjadi bahasa Jawa.

 


'Sunda Corner' di Museum Naladipa

Museum Naladipa, Desa Dermaji, Lumbir, Banyumas, menyediakan Sunda Corner, sebuah tempat khusus untuk mengabadikan jejak budaya Pasundan di desa ini. (Foto: Liputan6.com/Bayu Setyo Nugroho/Muhamad Ridlo)

"Kita launching Sunda Corner. Jadi sehubungan dengan Desa Dermaji ini, pada masa yang lalu, pernah menjadi bahasa tutur, masyarakat di sini," ucap Bayu Setyo.

Bukti keberadaan budaya Pasundan adalah penamaan tempat, yang untungnya, masih digunakan hingga saat ini. Selain itu, masih ada juga istilah-istilah Sunda yang digunakan oleh masyarakat Dermaji, meski kini sudah menggunakan bahasa Jawa.

Di Sunda Corner tersebut, bakal ditempatkan peta desa dengan nama-nama grumbul atau tempat berbahasa Sunda. Kemudian, nama-nama itu akan dipasang Q-R Code sehingga ketika dipindai pengunjung bisa langsung membaca asal-usul atau sejarah penamaan tempat ini.

"Dan itu diperkuat oleh riset Profesor Cece Sobarna, bahwa nama-nama itu mengandung bahasa Sunda. Dan ketika itu dikuatkan, maka akan memilki informasi yang bernilai sejarah," dia menerangkan.

Menurut Bayu, bahasa Sunda punah karena anak-anak tidak lagi bertutur dengan bahasa Sunda. Di sekolah pun yang diajarkan adalah bahasa Jawa. Akhirnya, bahasa Sunda benar-benar hilang dari Desa Dermaji.

Dia menambahkan, untuk mengenalkan bahasa Sunda ke anak-anak dan generasi muda, Museum Naladipa juga menyediakan berbagai bahan bacaan tentang bahasa Sunda, atau buku berbahasa Sunda. Dengan begitu, generasi muda di Dermaji tidak lupa sejarahnya sendiri.

"Literatur bahasa Sunda, majalah berbahasa Sunda kita sediakan untuk memperkaya pemahaman tentang budaya Sunda," ucap Bayu.

Saksikan video pilihan berikut ini:

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya