Liputan6.com, Jakarta Ini bukan kali pertama Reza Rahadian menghidupkan karakter dari novel Ika Natassa. Dua tahun lalu, ia menjelma menjadi Ale di Critical Eleven. Kini, di Twivortiare, ia memerankan Beno. Twivortiare mempertemukan Reza Rahadian dan Raihaanun.
Sebuah kombinasi baru yang meletupkan rasa penasaran. Pernah meraih Piala Citra lewat Salawaku dan tampil dengan emosi tak terucap di 27 Step of May, akankah Raihaanun mampu mengimbagi performa Reza Rahadian di Twivortiare?
Twivortiare menampilkan kemelut rumah tangga Beno (Reza) dan Alexandra (Raihaanun) yang berakhir dengan perceraian. Ayah (Dwi) dan ibu (Lydia) Alexandra menyesali perceraian ini. Begitu pula Papa (Roy) dan Mama (Aida) Beno.
Baca Juga
Advertisement
Rumah tempat mereka tinggal hendak dijual namun tak kunjung menemukan pembeli yang tepat. Sejak cerai, Beno sibuk di rumah sakit sementara Alexandra didekati Denny (Sumargo). Dengan Denny, Alex sayang tapi belum cinta.
Terbungkus Takdir
Masih saling cinta, Beno dan Alexandra menikah lagi. Langkah ini didukung sahabat mereka, Wina (Anggika) dan Riza (Dimas). Beno dan Alexandra berupaya mengomunikasikan setiap masalah meski tak selalu berjalan mulus. Beno menyembunyikan tawaran jadi direktur Rumah Sakit Imanuel. Sementara Alexandra yang ditawari dinas luar kota berdua dengan klien baru, Adrian (Arifin), mencoba terbuka. Namun reaksi Beno tak menyenangkan. Konflik yang meruncing membuat Alexandra ingin menyerah.
Pada 10 menit pertama, kita dengan mudah menyadari aset paling berharga film ini, akting Reza dan Raihaanun. Momen Beno mengantar Alexandra balik ke apartemen sambil membawakan barang belanjaan, misalnya. Apa yang terjadi usai meletakkan barang belanjaan adalah kejutan manis yang disajikan dengan natural. Reza dan Hanun benar-benar tampak jatuh cinta, tak berjarak, membuat kita sadar pertemuan keduanya adalah cinta yang terbungkus takdir.
Reza dan Hanun tak mengubah fisik mereka secara dramatis. Tanpa prostetis atau mengubah model dan warna rambut. Seolah menjadi diri sendiri namun kita sadar mereka tak sedang jadi diri sendiri. Inilah esensi akting yang baik. Di sepanjang film, konflik yang tersaji tak selalu dengan nada tinggi. Saling sindir, adu argumen, mengungkit masa lalu, adu prinsip, silih berganti. Tak selamanya konflik berakhir dengan air mata, apalagi tamparan. Pun unsur drama tak melulu disajikan lewat interaksi tatap muka.
Benni bahkan mengganti luapan emosi yang biasanya terlukis di air muka dengan interaksi status teks di medsos. Efeknya tak kalah dramatis. Twivortiare versi bioskop berfokus pada pertautan Beno-Alexandra. Jangankan adegan pernikahan Riza-Wina dan proses persalinan karakter pendukung, perceraian dan pernikahan ulang pun tak tergambar jelas. Yang dibuat detail adalah apa saja yang memicu konflik dan bagaimana dua tokoh utama jatuh bangun menyelamatkan rumah tangga.
Advertisement
Tema Mendayu
Dari aspek negatif, Twivortiare terkesan minimalis dengan nilai produksi tak terlalu tinggi. Dari aspek positif, fokus Benni di satu titik (yakni pasang surut tangga Beno-Alexandra) mengondisikan kedua pemain utama memberi energi melampaui 100 persen. Kita melihat performa Reza dan Hanun di level wahid. Kita bisa merasakan perbedaan amarah Alexandra saat Beno menyembunyikan rahasia dengan melanggar aturan. Pun kita bisa merasakan kekhawatiran Beno saat istri pergi dari rumah dengan istri hendak pergi dengan klien anyar.
Gradasi akting dalam ragam emosi membias bagai pelangi di laya putih. Kami tak bisa membayangkan andai bukan Reza dan Hanun yang menghidupkan kedua tokoh ini. Hampir di sepanjang film kita melihat muka Reza lagi dan Hanun lagi. Mengapa tidak bosan? Karena tak ada kepalsuan dalam akting. Keduanya tidak sedang memerankan, melainkan menjadi. Kehadiran pemeran pendukung, khususnya Anggika dan Lydia memperkuat penokohan dan pertalian karakter utama.
Bisa dibilang, ini karya Benni Setiawan yang paling rapi dan padat konflik, melampaui pencapaiannya di 3 Hati 2 Dunia 1 Cinta. Benni jeli mengarahkan para pemain. Naskah Alim melukiskan rumitnya pernikahan yang isinya baru dua kepala. Aliran konflik tidak tumpang tindih sehingga kita melihat utuhnya sepenggal romantika rumah tangga. Yang tak kalah penting, Benni tak gegabah mendramatisasi konflik dengan beberapa lagu tema mendayu.
Legit
Sepanjang film, kita tak mendengar lagu tema kecuali “Kembali Ke Awal” yang ditempatkan di ujung kisah. Satu kali saja namun efeknya tepat sasaran. Suara Glenn Fredly di lagu ini memberi kesan (kalau orang Jawa bilang) semeleh dan laras. Ia seperti stabilo yang menegaskan bagian penting sebuah topik. Yang kurang dari film ini bisa jadi tata artistik dan sinematografi. Backlight di ruang kerja Hanun yang menyebabkan gambar pucat mestinya tak perlu terjadi. Juga suasana apartemen yang lebih menyerupai hotel.
Terlepas dari kekurangan dan kelebihannya, ini naskah Alim yang paling legit dan simbol kesuksesan Benni memoles pemain. Tajam dan menanjak sejak menit awal. Nyaris tak lepas kendali. Film ini bisa jadi kandidat kuat di ajang festival khususnya kategori naskah, akting, penyutradaraan, dan lagu tema. Film Terbaik? Boleh juga. Twivortiare bukan lagi film cinta. Ini tentang berjuang untuk sabar dan berjuang untuk belajar demi diri sendiri serta pasangan. Cerita cinta ala Ika Natassa tak pernah receh atau menye-menye. Percaya, deh!
(Wayan Diananto)
Pemain: Reza Rahadian, Raihaanun, Anggika Bolsteri, Dimas Aditya, Lydia Kandou, Roy Marten, Aida Nurmala, Dwi Yan, Denny Sumargo
Produser: Manoj Punjabi
Sutradara: Benni Setiawan
Penulis: Alim Sudio, Benni Setiawan, Ika Natassa
Produksi: MD Pictures
Durasi: 1 jam, 43 menit
Advertisement