Seni Rupa Indonesia di Mata Kolektor Ternama Deddy Kusuma

Meski upayanya memajukan karya seni rupa Indonesia terbilang total, ada satu hal menarik yang disampaikan kolektor seni Deddy Kusuma soal nasionalisme dalam seni.

oleh Dinny Mutiah diperbarui 01 Sep 2019, 12:30 WIB
Kolektor seni Deddy Kusuma di galeri pribadinya. (Liputan6.com/Dinny Mutiah)

 

Liputan6.com, Jakarta - Dalam rangkaian penyelenggaraan Art Jakarta 2019, kolektor seni ternama Indonesia Deddy Kusuma membuka galeri pribadinya dikunjungi para tamu asing. Ada puluhan karya lukis dan sejumlah patung yang dipamerkan pada Sabtu malam, 31 Agustus 2019.

Tak ada satu tema khusus yang dipilihnya malam itu. Meski begitu, pengusaha properti tersebut mengaku seluruh karya seni yang ditampilkan saat itu diseleksi oleh kurator.

"Bukan semuanya terkenal, tapi yang bagus," kata Deddy kepada Liputan6.com.

Lelaki yang mengawali hobi koleksinya pada 1980an tersebut mengaku karya seni dalam pameran mini itu hanya sekitar 10 persen dari seluruh koleksinya. Ia tak memilih genre tertentu, nyaris semua aliran lukisan dimilikinya, mulai dari realis, abstrak, modern art, hingga kontemporer.

 

 

 

 

Karya pelukis Yogyakarta, Jafin, dipajang dalam galeri pribadi kolektor seni Deddy Kusuma. (Liputan6.com/Dinny Mutiah)

"Orang bilang saya punya koleksi gado-gado, model apapun, dari yang udah meninggal sampai yang baru kemarin. Ya enggak apa-apa, gado-gado juga enak," candanya setiap disinggung soal koleksinya.

Dari puluhan koleksi karya seni yang ditampilkan, ada satu lukisan terbaru yang ikut dipamerkan. Karya pelukis asal Yogyakarta bernama Justian Jafin Rock W yang menyentil kehidupan seniman di Bantul.

"Sebulan dua bulan lalu baru saya beli. Saya lihat ada style baru. Warnanya juga baru. Kita memang harus mengikuti perkembangan zaman agar tidak ketinggalan," kata Deddy.

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:


Butuh Regenerasi

Beberapa tamu sedang bercakap-cakap di galeri pribadi Deddy Kusuma. (Liputan6.com/Dinny Mutiah)

Meski hingga kini masih rutin membeli benda seni, Deddy menyatakan Indonesia membutuhkan regenerasi kolektor seni. Ia menyebut para kolega yang seusia dirinya, kebanyakan sudah merasa cukup. Kalau pun masih ada minat, kebanyakan mereka memilih membeli seni klasik, seperti realis.

"Anda tahu apa yang orang tua katakan soal seni kontemporer? Rubbish, gambar acak-acakan...Sementara, orang-orang muda enggak terlalu suka realis. Zaman sudah berkembang," tuturnya.

Ia optimistis harapannya bisa terkabul setelah melihat para tamu yang hadir dalam pembukaan Art Jakarta pada Jumat, 30 Agustus 2019. "Itu sudah mulai," ujarnya.

Di sisi lain, perkembangan seni rupa Indonesia juga tergantung pada kolektor luar negeri. Maka itu, sambung Deddy, pemasaran harus digencarkan. Melihat galeri dari luar negeri, mereka sangat agresif, aktif, dan mengemas karya seni dengan sangat baik.

"Kita harus keluar, bikin exhibition di luar negeri. Ikut art fair," ujarnya.

Sejumlah koleksi di galeri pribadi kolektor seni Deddy Kusuma. (Liputan6.com/Dinny Mutiah)

Deddy menceritakan kembali semua yang pernah dilakukannya untuk mempromosikan karya seni Indonesia. Pada 2010, ia membawa 20 seniman dan 40 karya ke Art Paris hingga menyewa spot khusus untuk memajang karya mereka.

Kemudian yang terbaru adalah Taiwan Art Fair pada Januari 2019. Ia membawa 15 artis ke sana. "Memang kita harus berani bawa ke luar karya-karya lokal. Promosinya harus bagus, kalau kecil-kecil saja, mana dilihat," ujarnya.

Walau usahanya memajukan karya seni rupa Indonesia total, ada satu hal menarik yang dilontarkannya soal nasionalisme dalam seni. Ia menyebut seni itu tidak berbatas, apalagi dengan perkembangan teknologi yang semakin canggih. Maka itu, ia tak setuju bila ada nasionalisme dalam seni.

"Art is no border. Mau luar, dalam, asal bagus, suka, affordable, it's oke. Enggak usah nasionalis lah," ujarnya.

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya