KSPI: Kenaikan Iuran BPJS Kesehatan Wewenang Presiden, Bukan Menkeu

KSPI mengeluhkan kenaikan iuran BPJS Kesehatan yang sebesar 100 persen.

oleh Maulandy Rizky Bayu Kencana diperbarui 02 Sep 2019, 14:08 WIB
Proses administrasi BPJS Kesehatan untuk kategori peserta mandiri membutuhkan banyak waktu karena banyak hal teknis yang harus dilengkapi

Liputan6.com, Jakarta - Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) menolak usulan kenaikan besaran iuran kepesertaan BPJS Kesehatan yang diusulkan Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati. KSPI menilai kenaikan iuran tersebut wewenang Presiden RI Joko Widodo (Jokowi).

"BPJS sekarang wali amanat, bukan BUMN. Jadi aneh kalau BPJS tunduk pada Menteri Keuangan. Ini urusan Presiden, bukan urusan Menteri Keuangan. Jangan main-main tentang iuran BPJS," ungkap Presiden KSPI Said Iqbal saat sesi konferensi pers di LBH Jakarta, Jakarta, Senin (2/9/2019).

Said Iqbal melanjutkan, keluhan pihaknya terhadap rencana kenaikan iuran BPJS Kesehatan ini merupakan cerminan sikap masyarakat secara umum.

"Perlu dicatat dan disampaikan pada Presiden, sikap ini mewakili sikap masyarakat. Jadi Presiden Jokowi harus sungguh-sungguh memperhatikan hal ini," sambungnya.

Selain itu, ia juga menyoroti rencana perubahan iuran jaminan sosial yang dilakukan di negara lain, di mana sebelum mensahkan aturan selalu ada proses public hearing atau sesi dengar pendapat dengan masyarakat sebagai pihak pembayar.

"Jadi pembayar iuran dari penyelenggaran jaminan kesehatan itu ada tiga, pemerintah melalui PBI (Penerima Bantuan Iuran), pengusaha 4 persen, dan penerima upah (yang bekerja di perusahaan atau yang mandiri) 1 persen. Jadi itu harus public hearing, Karena ada 3 pihak itu," jelasnya.

 


Harus Melalui Public Hearing

Suasana pelayanan BPJS Kesehatan di Jakarta, Rabu (28/8/2019). Sedangkan, peserta kelas mandiri III dinaikkan dari iuran awal sebesar Rp 25.500 menjadi Rp 42.000 per bulan. Hal itu dilakukan agar BPJS Kesehatan tidak mengalami defisit hingga 2021. (merdeka.com/Iqbal S. Nugroho)

Dia pun menyatakan bahwa BPJS Kesehatan saat ini adalah milik rakyat. Berdasarkan perintah undang-undang yang membawahinya, ia menambahkan, hal tersebut dilaksanakan konstitusi dan dibayarkan oleh negara, bukan pemerintah.

"Oleh karena itu, setiap kenaikan karena itu bukan milik pemerintah. Maka kewajiban pemerintah dan BPJS kesehatan dia harus public hearing, uji publik, karena pemiliknya rakyat!" tegas dia.

Hal berikutnya yang jadi perhatiannya yakni pihak penyelenggara BPJS Kesehatan tidak pernah melaporkan rincian pendapatan yang diklaim mengalami defisit.

"Pernah enggak BPJS melaporkan pada kita rincial dana yang detail? Enggak ada. Kita kan bayar. Mustinya itu harus dilaporkan, terbuka. Mana yang defisit. Memangnya kita bekerja di bawah kompeni, yang kalau butuh kenaikan pendapatan seluruh pekerja harus bekerja lebih giat lagi?" cibirnya.

 


Nasib 5,2 Juta Peserta BPJS Kesehatan Usai Dinonaktifkan Kemensos

Petugas BPJS Kesehatan melayani warga di kawasan Matraman, Jakarta, Rabu (28/8/2019). Sedangkan, peserta kelas mandiri III dinaikkan dari iuran awal sebesar Rp 25.500 menjadi Rp 42.000 per bulan. Hal itu dilakukan agar BPJS Kesehatan tidak mengalami defisit hingga 2021. (merdeka.com/Iqbal S Nugroho)

Menteri Sosial Agus Gumiwang Kartasasmita mengatakan, pihaknya akan terus melakukan pembersihan terhadap Penerima Bantuan Iuran (PBI) Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan. Pembersihan dilakukan dengan mendata sejumlah keanggotaan pasien dengan kondisi rill di lapangan. Hingga kini sudah ada 5,2 juta peserta yang dinonaktifkan.

"5,2 juta yang di-non-aktifkan itu adalah 5,2 juta yang dibersihkan, jadi dalam UU Penanganan Fakir Miskin itu sudah jelas bahwa seluruh bantuan sosial dan PBI adalah salah satu jenis atau bentuk dari bantuan sosial. Seluruh bantuan sosial itu harus penerimanya di basis data terpadu yang ada di Kemensos," ujarnya di Lapangan Banteng, Jakarta, Jumat (30/8/2019).  

Agus mengatakan, pihaknya masih membuka potensi pengaktifan kembali 5,2 juta peserta BPJS Kesehatan jika penerima manfaat tersebut tergolong miskin. Hal tersebut merupakan salah satu langkah mitigasi resiko.

"Bisa, makanya kami ada yang namanya mitigasi risiko kalau memang di lapangan ditemukan bahwa ada seseorang yang dikeluarkan dari PBI tapi membutuhkan dan terbukti dia memang miskin, nanti akan kami masukkan. Terbukti miskinnya dibuktikan oleh BPJS Kesehatan, itu kami buktikan," jelasnya.

Agus menambahkan, Kementerian Sosial secara berkala terus melakukan pembersihan terhadap penerima manfaat BPJS Kesehatan. Langkah ini dilakukan agar tujuan pemberian BPJS Kesehatan tepat sasaran.

"Sebenarnya pembersihan itu rutin, jadi kalau kita bersihkan 100.000, itu kami masukkan juga lagi 100.000 yang sudah baru yang sudah ada di BDT (Basis Data Terpadu). Artinya kalau kita keluarkan 1 juta dari BDT, mereka yang namanya sudah ada di BDT, by name, by address, kami masukkan," paparnya.

Reporter: Anggun P. Situmorang

Sumber: Merdeka.com  

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya