Ini Pernyataan Menarik 10 Capim KPK Saat Uji Publik

Liputan6.com merangkum pernyataan 10 capim KPK tersebut saat uji publik.

oleh Fachrur Rozie diperbarui 03 Sep 2019, 08:34 WIB
Suasana tes wawancara dan uji publik Calon Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (Capim KPK) periode 2019-2023 di Kementerian Sekretariat Negara, Jakarta, Kamis (29/8/2019). Enam orang capim KPK yang tersisa menjalani uji publik hari ketiga. (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Liputan6.com, Jakarta - Panitia Seleksi Calon Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (Pansel Capim KPK) mengumumkan 10 nama terpilih yang diserahkan ke Presiden Joko Widodo alias Jokowi. Nama itu diumumkan usai pansel melaporkannya ke Jokowi.

"Komposisi profesi satu orang KPK, satu orang polisi, satu jaksa, satu auditor, satu advokat, dua dosen, satu hakim, dua PNS," ucap Ketua Pansel Capim KPK Yenti Garnasih saat jumpa pers di Istana Merdeka, Jakarta Pusat, Senin (2/9/2019).

Yenti mengaku, nama-nama yang keluar tersebut sudah melalui banyak pertimbangan dan masukan masyarakat. Nama yang lulus pun tidak dikoreksi saat bertemu dengan Jokowi.

"Enggak ada istilah koreksi, mungkin sudah sesuai," kata Yenti.

Liputan6.com coba merangkum pernyataan 10 capim KPK tersebut saat uji publik.

1. Alexander Marwata

Nama Alexander Marwata menjadi satu-satunya calon petahana yang bertahan di seleksi capim KPK. Nama Alex masuk ke dalam 10 nama yang diserahkan pansel kepada Presiden Joko Widodo atau Jokowi.

Saat uji publik, Alex ditelisik soal dugaan dirinya sebagai 'orang titipan'. Di hadapan pansel Alex membantah hal tersebut. Dia juga membeberkan apa yang menjadi tugas KPK dan segelintir upaya melemahkan lembaga antirasuah ini.

"Saya bukan titipan siapa pun, saya jarang komunikasi dengan pejabat siapa pun, tidak ada pertemuan pribadi dengan pejabat penyelenggara dan DPR," tegas Alex di Kantor Sekretariat Negara, Jakarta, Selasa (27/8/2019).

Selain itu, terkait pelemahan KPK, Alex Marwata menyinggung soal judicial review beleid KPK di Mahkamah Konstitusi (MK). Namun menurut dia, MK dalam putusannya malah memperkuat kewenangan KPK.

"Putusan MK memperkuat, seperti aturan rekrutmen penyidik yang bisa tidak harus dari unsur Polri atau Kejaksaan," jelas Alex.

2. Irjen Firli Bahuri

Irjen Firli Bahuri membongkar kronologi pertemuan dirinya dengan mantan Gubernur Nusa Tenggara Barat Muhammad Zainul Majdi atau Tuan Guru Bajang (TGB). Pertemuan itu sempat menjadi polemik internal saat Firli menjabat sebagai Direktur Penindakan KPK.

"Saya tidak melakukan (pelanggaran etik) itu, tapi kalau bertemu (TGB) iya. Saya bertemu pada 13 Mei 2018," jelas Firli saat menjawab pertanyaan Tim Pansel Capim KPK di Kantor Sekretariat Negara, Jakarta, Selasa (27/8/2019).

Firli mengaku, tujuannya pergi ke Nusa Tenggara Barat karena ada keperluan serah terima jabatan yang harus dihadiri. Dia pun mengklaim sudah meminta izin ke pimpinan KPK untuk hal itu. Sesampainya di lokasi, Firli diajak bermain tenis bersama petenis nasional bernama Panji. Secara kebetulan, menurut dia, TGB datang menghampiri.

"Saya datang 6.30 (WIT), dan 9.30 (WIT) TGB datang. Saya tidak mengadakan pertemuan tapi bertemu iya, dan masalah ini sudah diklarifikasi ke pimpinan," jelas Firli.

Kemudian, lanjut Firli, pada 20 Oktober 2018, keterangan terkait polemik itu juga sudah dia berikan kepada penitia pengawas KPK. Menurut dia, petinggi KPK juga telah memahami yang sebenarnya dari polemik tersebut.

"Saya klarifikasi, hasilnya tidak ada fakta saya melanggar Undang-Undang 30 Tahun 2002 tentang KPK. TGB juga bukan tersangka dan saya tak melakukan hubungan, dan siapa yang menghubungi TGB itu Danrem dan itu tak ada pelanggaran," ujar dia.

Saksikan video pilihan di bawah ini:


Audit KPK dan Orang Parpol

3. I Nyoman Wara

I Nyoman Wara yang merupakan auditor di Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menyebut jika laporan keuangan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) 2018 yang mendapat predikat wajar dengan pengecualian (WDP) pada tahun 2018 ini lantaran dua alasan.

Di hadapan panitia seleksi calon pimpinan (pansel capim) KPK, I Nyoman membeberkan dua hal tersebut.

"Berdasarkan audit kami, masalah utamanya adalah pengelolaan barang sitaan dan rampasan," ujar Nyoman.

Ia mengatakan, barang sitaan KPK seharusnya diadministrasikan sehingga bisa dicantumkan di laporan keuangan KPK, walaupun belum masuk neraca atau aset KPK.

"Seharusnya itu dilaporkan, tetapi ini belum," kata dia.

Kemudian, untuk barang rampasan yang mempunyai kekuatan hukum tetap, kata dia, seharusnya KPK mencatatnya dalam neraca sebagai aset tetap KPK.

"Tercatat Rp 1,063 triliun di laporan keuangan KPK. Memang sudah mempunyai unit yang mengelola, tapi administrasi belum memadai karena belum ada SOP bagaimana cara mengelola barang rampasan tersebut," kata dia.

4. Johanis Tanak

Johanis Tanak bercerita soal intervensi dari Jaksa Agung M Prasetyo di hadapan pansel capim KPK.

Awalnya, Direktur Tata Usaha Negara pada Jaksa Agung Muda Perdata dan Tata Usaha itu ditanya oleh anggota Pansel Capim KPK Al Araf saat uji publik. Al Araf bertanya apakah selama menjadi jaksa, Johanis pernah menerima intervensi politik.

Johanis menceritakan saat dirinya menjadi Kepala Kejaksaan Tinggi di Sulawesi Tengah, dirinya sempat menangani perkara mantan Gubernur Sulawesi Tengah Mayor Jenderal (Purn) Bandjela Paliudju.

Johanis mengatakan, saat itu Jaksa Agung bertanya kepadanya soal sosok Bandjela. Johanis mengaku mengetahui sosoknya.

"Kamu tahu siapa yang kamu periksa? Saya bilang tahu, dia adalah pelaku dugaan tindak pidana korupsi, Mantan Gubenur Mayor Jenderal Purnawirawan, putera daerah. Selain itu enggak ada lagi," kata dia.

Setelah mengatakan hal itu, Jaksa Agung kemudian mengatakan bahwa Bandjela adalah Ketua Dewan Penasihat Partai NasDem Sulawesi Tengah. Saat itu Johanis mengaku siap menerima arahan dari Jaksa Agung.

Namun, dia menekankan kepada Jaksa Agung soal pro-pemberantasan korupsi.

"Mungkin ini momen yang tepat untuk Bapak buktikan (pro pemberantasan korupsi) karena ini dari partai politik," ujar Johanis.

Pernyataan Johanis itu pun disambut baik oleh Jaksa Agung. "Oh iya benar juga," kata Johanis menirukan pernyataan Jaksa Agung.


Capim Tak Tahu Pasal

5. Lili Pintauli Siregar

Lili Pintauli Siregar yang merupakan Wakil Ketua LPSK dua periode, 2008-2013 dan 2013-2018 bercerita saat lembaganya tak direspons ketika hendak melindungi pegawai lembaga antirasuah.

"Ada salah satu metode yang bisa digunakan (LPSK), jemput bola untuk merespons itu. Tapi sampai hari ini LPSK mencoba jemput bola ke pegawai-pegawai KPK yang alami ancaman tapi tidak terespons," ujar Lili di hadapan Pansel Capim KPK, Sekretariat Negara, Jakarta Pusat, Rabu (28/8/2019).

Menurut dia, saat hendak berupaya memberikan perlindungan kepada pegawai KPK yang diduga menerima ancaman, LPSK mendapatkan kesulitan. Salah satunya harus mendapat izin dari pimpinan.

"Tugas pokok LPSK memang memberikan perlindungan bagi saksi dan korban. Beberapa kasus yang dialami KPK, kami jemput bola tapi tidak direspons. Tidak berkenan, harus izin pimpinan dan sebagainya," kata dia.

Lili berharap nantinya pimpinan KPK tak mempersulit jika pihak LPSK berupaya melindungi pegawainya.

"Kalau dilihat karena sering kali terjadi. Pimpinan yang dikriminalisasi, kekerasan, setidaknya ini catatan bagi pimpinan untuk memulai mengantisipasi apakah perlindungan itu bisa dilihat case by case. Karena tidak bisa dipungkiri kerja di KPK itu sangat perhatian dan sorotan untuk dapatkan ancaman," kata dia.

6. Luthfi Jayadi Kurniawan

Luthfi Jayadi Kurniawan yang berprofesi sebagai dosen tak mengerti Pasal 5 dan 12 UU Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) yang biasa dikenakan kepada mereka yang terjerat kasus suap.

Luthfi yang mengikuti uji publik di Gedung Sekretariat Negara, tak bisa menjawab saat Wakil Ketua Panitia Seleksi (Pansel) Capim KPK Indriyanto Seno Adji bertanya soal perbedaan Pasal 5 dan Pasal 12.

"Saya tidak paham," ujar Luthfi di hadapan Pansel Capim KPK di Gedung Sekretariat Negara, Jakarta Pusat, Rabu (28/8/2019).

Sebelum ditanya soal perbedaan Pasal 5 dan Pasal 12, Luthfi yang merupakan akademisi mengaku sudah menjadi pemerhati isu korupsi sejak 1998. "Sejak 1998," kata dia.

Namun sayang Luthfi malah tak paham perbedaan kedua pasal tersebut. Hal ini membuat Luthfi tampak terdiam. Begitu juga saat ditanya soal perampasan aset, Luthfi tak menjawab.

Hal ini sangat disayangkan oleh Pansel. Sebab, Pasal 5 dan Pasal 12 kerap dipakai lembaga antirasuah saat menggelar ekspose sebelum menentukan status hukum mereka yang diduga terjerat korupsi.

"Kira-kira paham enggak? Karena sebagai pimpinan di saat ekspose terbatas dan ekspose pleno pimpinan harus kasih pendapat Pak. Harus pahami hukum, Kalo enggak amburadul itu lembaga penegak hukum yang dipercaya masyarakat. Kalau bapak ikut ekspos bisa paham?" tanya Indriyanto.

"Saya akan berusaha untuk memahami," kata Luthfi.

Lantaran mengaku tak paham dan tak hafal Pasal yang ada di UU Tipikor, Indriyanto pun tak melanjutkan pertanyaaan.

"Sudah saya enggak usah tanya banyak-banyak Pak. Pimpinan harus tahu semua (Pasal) Pak," kata Indriyanto menegaskan.


Soal Fasilitas Dinas

7. Nawawi Pomolango

Nawawi Pomolango menyatakan bakal menjerat pelaku korupsi dengan Pasal Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU). Nawawi yang berprofesi sebagai Hakim Pengadilan Tinggi Denpasar menyebut bakal membuat pelaku korupsi miskin dengan Pasal TPPU.

"Apa sulitnya menerapkan TPPU ini. Dalam konteks setiap pejabat publik terjerat korupsi, kita cukup (terapkan TPPU), kalau terpilih saya lakukan pertama ke PPATK (Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan)," ujar dia saat uji publik Capim KPK di Sekretariat Negara, Rabu (28/8/2019).

Dia mengaku akan komitmen menerapkan pasal TPPU ke pelaku tindak pidana korupsi. Menurut dia, orang lebih takut jatuh miskin daripada mati.

"Saya komit. Orang lebih takut miskin daripada mati," kata dia.

Selain akan menerapkan pasal TPPU, Nawawi juga akan menguatkan KPK dalam hal praperadilan. Dia menyatakan bakal berupaya sebaik mungkin akan para tersangka tak lepas melalui praperadilan.

"Sampai saat ini, ada kurang lebih lima praperadilan (dari tersangka) KPK yang dikabulkan. Ini sebetulnya tamparan keras diluar keputusan MA soal SAT (Syafruddin Temenggung). Tamparan keras bagi KPK, Mereka tidak hati-hati dalam menetapkan tersangka," kata dia.

8. Nurul Ghufron

Dosen Fakultas Hukum Universitas Jember (Unej) Nurul Ghufron ditanya pansel capim KPK mengenai penggunaan fasilitas dinas saat tes wawancara dan uji publik di Gedung Setneg, Jalan Veteran III, Jakarta Pusat, Rabu (28/8/2019).

"Apakah memang benar pernyataan bahwa Bapak suka menggunakan fasilitas dinas untuk kepentingan pribadi, yang rasanya ini akan terkait dengan kode etik di KPK?" tanya anggota Pansel Diani.

Mendapat pertanyaan tersebut, Ghufron menjawab fasilitas dinas yang diterimanya ialah mobil Kijang, yang dikendarai mulai Senin hingga Sabtu. Pada hari libur, Ghufron menggunakan mobil pribadi.

"Seluruhnya kami menggunakan mobil pribadi, saya sendiri punya mobil pribadi, istri saya punya mobil pribadi karena kami sama-sama dosen," jawab Ghufron.

"Berarti itu tidak benar?" tanya lagi Diani.

"Tidak benar," jawab Ghufron.

Diani pun menanyai Ghufron kebenaran dirinya pernah didemo oleh mahasiswa Universitas Jember berkaitan dengan penggunaan fasilitas dinas. Ghufron pun menegaskan tidak pernah didemo oleh mahasiswanya.

"Sejauh ini belum pernah ada demo berkaitan dengan penggunaan fasilitas dinas yang kami gunakan," jelas Ghufron.


Menolak Mengusut Polri

9. Robi Arya Brata

Roby Arya Brata menyatakan tak akan mengusut kasus dugaan korupsi yang melibatkan institusi Polri dan Kejaksaan jika terpilih menjadi komisioner KPK jilid V periode 2019-2023.

"Kalau saya ke depan, KPK enggak punya lagi kewenangan untuk menyidik korupsi di Kepolisian dan Kejaksaan, tidak lagi," ujar dia saat uji publik Capim KPK di Sekretariat Negara, Jakarta Pusat, Kamis (29/8/2019).

Dia mengatakan, jika KPK memiliki kewenangan mengusut kasus korupsi di Polri dan Kejaksaan maka tak menutup kemungkinan cicak versus buaya akan kembali muncul.

"Kesalahanya karena KPK punya kewenangan untuk menyidik korupsi di Kepolisian dan Kejaksaan. Yang terjadi cicak (vs) buaya satu sampai tiga itu terjadi, karena KPK merangsek masuk ke Polri," kata dia.

Dia menjelaskan, jika KPK tak berusaha mengungkap kasus korupsi di Polri, maka tak akan ada penyerangan air keras yang diterima penyidik senior KPK Novel Baswedan.

"Karena KPK punya kewenangan itu, KPK enggak bisa bekerja. Coba, tidak ada jaminan, kasus Novel Baswedan dan cicak buaya tidak akan terjadi lagi ke depan kalau KPK masih punya kewenangan untuk tangani korupsi di Mabes Polri," kata dia.

Menurut dia, penanganan kasus dugaan korupsi yang terjadi di Polri lebih baik dilimpahkan ke Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas).

"Bukanya menghilangkan (kasus korupsi di Polri), tapi memindahkan kewenangan itu pada Kompolnas, beri Kompolnas kewenangan penyidikan. Ini terjadi di Australia," kata dia.

Setidaknya, menurut Roby, jika KPK tak mengusut kasus korupsi di Polri, maka hubungan antar kedua lembaga penegak hukum itu akan harmonis. Sebab, jika KPK mengusut kasus di Polri, maka akan ada perlawanan balik.

"Kalau KPK tidak punya kewenangan, akan harmonis itu lembaga-lembaga," kata Roby.

10. Sigit Danang Joyo

Sigit Danang Joyo menyatakan ingin menambah personel di Komisi Pemberantasan Korupsi yang khusus mengurusi pencegahan korupsi.

"Hal yang diperlukan adalah pencegahan dioptimalkan, saat ini personel kedeputian penindakan KPK ada 439 orang sedangkan pencegahan 310 orang, sehingga komposisi SDM (Sumber Daya Manusia) sudah tidak imbang," kata Sigit di gedung Sekretariat Negara.

Sigit menyampaikan hal itu saat mengikuti uji publik seleksi capim KPK 2019-2023 pada 27-29 Agustus 2019.

"OTT (Operasi Tangkap Tangan) dan sebagainya sudah bagus sepanjang berdasar alat bukti yang kuat, yang jadi masalah penindakan bagus tapi seolah jadi parade festival OTT, penindakan dilakukan tapi jangan ke wilayah-wilayah yang sifatnya politis karena penindakan dan pencegahan ini seperti dua mata pisau yang kadang bertentangan," tambah Sigit.

Sigit yang menjabat sebagai Kepala Sub Direktorat Bantuan Hukum Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan itu juga mengaku pernah mengalami komposisi SDM timpang saat menyusun program prioritas di kementerian.

"Karena day to day orang itu harus mengikuti program prioritas di kementerian, jadi tidak mungkin jadi koordinator di beberapa kementerian, hasil evaluasi harus disampaikan ke Presiden," ungkap Sigit.

Sigit pun mengaku berpengalaman ikut dalam satuan tugas pemberantasan mafia hukum.

"Kami menghasilkan Inpres 1/2011 tentang percepatan penanganan perkara dan perbaikan sistemnya di Dirjen Pajak. Saya koordinator program penanganan pajak, yang saya pegang termasuk untuk Kepolisian dan Kejaksaan," tambah Sigit.

 

 

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya